Ketika umur anak saya masih di bawah satu tahun, saya sangat merasakan, betapa banyaknya penyakit yang ia derita. Demam, mencret, masuk angin, sariawan, gatal-gatal, batuk dan banyak lagi penyakit yang terkadang saya susah menyebutnya satu persatu.
Penyakit-penyakit tersebut silih berganti seolah seperti rotasi bumi yang tiada henti. Orang-orang tua di daerah saya sering menghibur, kalau anak saya menderita salah satu penyakit tersebut. “Wajar saja, anak kecil memang begitu. Apalagi pada umur di bawah satu tahun. Itu dialami siapa saja.”
Kalimat itu memang mujarab bagi saya. Sehingga setiap kali ada penyakit yang bersarang, saya agak terhibur. Minimal mengingatkan kepada saya, bahwa penyakit tidak hanya menyerang anak saya, tapi anak siapa saja di muka bumi ini. Termasuk anak dokter spesialis anak sekalipun.
Namun, suatu saat, ketika umur anak saya menginjak sembilan bulan, saya dan isteri saya sempat dibuat panik. Waktu itu saya mengira bahwa ia hanya terserang sariawan biasa. Yang satu atau dua hari bisa sembuh. Tapi ternyata tidak. Sariawan itu terus berkembang di mulut buah hati saya sampai ia tidak bisa menyusu tetek mamanya.
Saya berusaha mencari obat. Seperti biasa, saya upayakan obat-obat dengan resep tradisional dulu. Maklum orang kampung, jadi saya tidak bisa melepaskan resep-resep dari orang tua. Tapi belum juga sembuh. Saya bawa ke bidan desa, dikasih beberapa obat, masih tetap juga. Saya juga hubungi orang-orang shaleh, yang saya anggap doanya makbul, juga belum ada perubahan berarti. Ke rumah sakit? Wah, saya selalu terbentur dengan bayang-bayang biaya yang begitu besar. Sehingga tidak sampai saya bawa ke rumah sakit.
Masya Allah, sudah satu hari ia selalu menangis. Malamnya juga begitu. Ia lapar dan mau menyusu, tapi setiap kali bibirnya menyentuh tetek ibunya, ia menangis karena sakit.
Saya bingung. Isteri saya juga bingung. Dalam kebingungan itu saya ingat guru agama saya. Beliau ini terkenal dengan kepandaian menghentikan anak dari tangis. Saya segera berlari ke sebuah sekolah tempat ia sedang mengajar. Ia saya paksa untuk datang ke rumah orang tua saya.
Dengan beberapa sendok air putih dan doa-doa khusus, ia mulai berusaha menghentikan tangis anak saya. Syukur Alhamdulillah, Allah mengabulkan permintaan kami. Si buah hati berhenti menangis, walaupun mungkin masih ada rasa sakit ketika menysu pada ibunya.
Saya berterima kasih kepada guru saya dan bersyukur pada Allah. Sebab beberapa jam setelah itu, anak saya bisa menyusu kembali. Ia sudah bisa mulai tersenyum, sesuatu yang sangat berat untuk dia lakukan sejak dua hari terahir. Saya ikut tersenyum dan isteripun ikut senyum. Kami menikmati senyum yang luar biasa waktu itu. Seandainya ada orang yang mau membeli satu juta atas senyum kami, tidak mungkin akan kami berikan.
Ya Allah, betapa nikmatnya senyum kami waktu itu. Saya merayakannya bersama anak dan isteri. Kami merasakan betapa nikmat senyum yang diberikan Allah, setelah kehilangan beberapa hari.
Itu hanya sariawan yang dialami anak saya. Namun hampir-hampir kami kehilangan nikmat Allah yang tak ternilai harganya. Maka dengan itu semua, saya dan isteri saya diberi pelajaran lagi oleh Allah, pelajaran tentang kesyukuran atas apa-apa yang diberikan kepada kami semua. Termasuk nikmat senyum. Sebab ternyata betapa sakitnya orang yang tidak bisa tersenyum.
Purwokerto, Juni 06 <[email protected]>