Memang aneh menjalani fase kehidupan ini. Ada banyak bumbu. Terkadang terasa manis, asin, asem, bahkan pahit. Ini memang sudah menjadi sunnah-Nya bahwa kehidupan di dunia akan senantiasa bergulir.
Fase aktivitas da’wah kampus telah saya lalui. Banyak hikmah di dalamnya. Kini saya harus menapaki fase selanjutnya, yaitu fase dunia kerja (ma’isyah). Seorang kader da’wah memang tidak memiliki pilihan. Selain dia juga harus berda’wah diapun harus berpenghasilan. Di antara karakteristik kader da’wah memang harus mampu untuk berpenghasilan. Tapi justeru menyeimbangkan antara dunia kerja dan da’wah menjadi tantangan tersendiri yang harus dipecahkan para da’i.
Sangat lucu memang. Ketika masa da’wah kampus, saya ikut dalam tim pembuat kebijakan da’wah kampus. Tidak hanya itu, saya pun menjadi mas’ul (ketua) beberapa agenda kampus. Namun semuanya tidak terjadi ketika saya kemudian memasuki dunia kerja. Ketika masa da’wah kampus saya biasa ‘menyuruh’, tapi di dunia kerja saya selalu di suruh. Di dunia da’wah kampus saya ‘memarahi’ orang, tapi di dunia kerja saya selalu di ‘semprot’ atasan. Tidak hanya itu, di dunia kerja jaga pandangan semakin di uji. Masya Allah&hellip.Fisik lelah, otak terkuras, hatipun tidak karuan. Tapi saya menikmati semuanya. Bukankah kita hidup harus siap memimpin dan dipimpin? saya justeru sedih bila hidup terus memimpin dan sebaliknya.
Rasa memang beda tapi pengaruh tetap sama. Ini menjadi pengalaman yang mengherankan bagi saya. Di tempat saya kerja (warnet) ada 4 orang karyawan dengan 3 manajer. 4 orang karyawan di bagi dalam dua shift. Saya berdua shift pagi sedang dua yang lain shift malam (sampai pukul 02.00 wib). Yang mengherankan saya adalah dua karyawan shift malam ternyata jarang menunaikan sholat! nauzubillah ternyata di sebuah perusahaan (yang salah seorang manajernya kader da’wah juga) masih ada yang tega melalaikan sholat? begitulah jerit hati ini walaupun tidak pernah saya ungkapkan kepada dua teman karyawan shift malam ini.
Kenyataan tidak harus menjadikan kita membatasi pergaulan. Maka saya tetap berhubungan dengan baik dengan seluruh karyawan. Memang sudah menjadi pembawaan saya untuk menghidupkan suasana dalam keadaan humoris. Dunia kerja yang sangat kaku dan menegangkan membuat saya harus tetap humoris. Selain itu, saya pun tetap berusaha sholat tepat waktu dan membaca al-Quran. Saya sapa semua orang, terkadang mencoba bersimpati ketika ada yang berbicara, dan menyelingi obrolan dengan sedikit humor. Terkadang menggelitik tapi tidak jarang juga yang tidak membuat orang tertawa. Saya senang untuk mengenal orang lebih dekat. Di waktu senggang saya bertanya kepada semua teman karyawan tentang keluarganya, jumlah anak, orang tua dan lainnya. Semuanya membuat hubungan kerja semakin cair walau di jam-jam tertentu ketegangan tetap terjadi.
Hingga suatu hari. Salah seorang karyawan shift malam meminta waktu untuk ngobrol kepada saya. Ada apa dengan dia? begitu Tanya saya dalam hati. Saya baru bekerja tiga minggu tapi dia ingin ngobrol khusus dengan saya, bukankah ada kader lain yang telah bertahun-tahun bekerja dengan dia. Begitulah terus menerus sang karyawan meminta waktu kepada saya. Karena heran saya bertanya tentang apa yang akan dia obrolkan. Tertutup. Dia hanya ingin curhat kepada saya. Khusus empat mata. Saya semakin cemas karena bisa jadi ini terkait kelakuan saya yang tidak berkenan di hatinya. Tapi bukan itu masalahnya, bahkan dia memberikan nilai positif kepada kebiasaan saya (humor).
Hari-hari pun berlalu. Ini sudah menjadi takdir-Nya keinginan sang karyawan malam tidak pernah terlaksana. Kami tidak memiliki waktu khusus untuk ngobrol empat mata karena padatnya jam kerja. Dan di setiap hari yang terlalui sang karyawan bahkan dengan seorang teman lainnya selalu meminta. Tapi mau bagaimana, sayapun tidak memiliki waktu lagi. Pengalaman lainnya, setiap saya pergi bekerja maka dua karyawan shift malam ini ‘mencegat’ dan ‘menyandera’ saya beberapa menit dengan memaksa makan gorengan serta minum secangkir teh secara gratis sambil ngobrol warung kopi! subhanallah.
Pagi itu saya heran karena sang karyawan yang ingin curhat masih ada di tempat kerja. Saya mengingatkan dia untuk tidur dan beristirahat. Manusia membutuhkan itu sepadat apapun kerja yang ada. Tapi dia malah tersenyum dan mengikuti saya (rumahnya berdekatan dengan tampat kerja). Di saat itulah kemudian dia mengutarakan niatnya. Ternyata dia ingin mengaji. Seorang teman lainnya datang dan mengutarakan hal yang sama. Mereka berdua ternyata merasa gersang dengan kehidupan yang ada dan mereka ingin mengaji. Mereka meminta kesanggupan saya untuk membimbing mereka mengaji. Saya katakan kapapun itu saya siap! setelah mendengar itu mereka berdua meminta untuk bermusyawarah menyepakati waktunya dan kemudian kembali beristirahat.
Subhanalloh! semuanya terjadi dengan izin-Nya. Siapapun orangnya tidak akan pernah bisa memberikan hidayah kepada orang yang sangat dicintainya sekalipun. Sebetulnya selama saya bekerja (lebih kurang satu bulan) saya tidak pernah mengajak sekalipun kepada dua karyawan shift malam ini untuk mengaji. Semuanya bermula dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Keinginan dua karyawan untuk mengaji adalah kesadaran yang tumbuh dengan izin-Nya dan kemudian dengan keikhlasan ketika mengaji itu dilaksanakan maka pahalanya akan berbuah rahmat-Nya.
Kepada dua karyawan shift malam …saya ucapkan selamat mengaji.