Sebagian banyak dari kita mungkin pernah atau bahkan cukup sering menyaksikan pemandangan margasatwa dengan beragam tingkah laku dan kegiatan mereka di alam liar. Sebut saja misalnya kegiatan perburuan yang dilakukan oleh singa terhadap rusa; mungkin, sebagian dari kita akan menilai bahwa pemandangan semacam itu adalah peristiwa alam yang normal dan tak ada yang perlu diherankan. Tiada yang begitu istimewa dari pemandangan rusa yang merasa kesakitan ketika digigit oleh makhluq bergigi tajam itu. Karena memang sebuah fenomena atau peristiwa yang jika telah cukup sering disaksikan, biasanya akan menjadi sebuah hal yang wajar dan biasa-biasa saja. Atau mungkin akan ada di antara kita yang merasa kasihan dengan nasib rusa yang dimangsa oleh singa tersebut. Tapi biasanya rasa iba semacam itu pun juga hanya akan bertahan beberapa waktu saja hingga pemandangan yang kita saksikan itu berlalu.
Namun, seandainya kita benar-benar bertanya mengapa harus ada peristiwa alam semacam itu, atau membayangkan dampak apa yang mungkin terjadi jika peristiwa tersebut tidak pernah ada, maka mungkin kita justru akan menyadari bahwa sebenarnya peristiwa alam yang tampak biasa saja tersebut ternyata adalah sebuah rancangan canggih yang luar biasa. Bahkan jika misalnya rasa kasihan kita terhadap nasib rusa menjadikan kita mampu untuk mencegah segala perburuan yang dilakukan oleh kelompok singa, maka kita pun akan mendapati akibat yang justru lebih menyedihkan dari rasa kasihan itu sendiri.
Jika saja segala perburuan yang biasa dilakukan oleh kelompok singa di alam liar benar-benar dapat kita hentikan, maka kita akan mungkin melihat pemandangan singa-singa yang kelaparan. Secara perlahan tubuh mereka akan menjadi kurus, kemudian semakin mengurus dan lebih kurus lagi, hingga mereka pun jatuh sakit, lalu kemudian mati satu-persatu, dan kepunahan hewan tersebut pun menjadi tak bisa dihindari. Dan tentunya itu akan lebih menyedihkan dari apa yang mungkin kita perkirakan sebelumnya. Ataupun jika tidak demikian, bisa jadi kita akan terpaksa membayangkan keanehan yang akan mungkin mereka lakukan, misalnya ketika mereka terpaksa memakan rumput, atau membayangkan mereka memanjat pohon untuk mengambil buah atau biji-bijian, bahkan sampai membayangkan mereka berburu katak atau ikan di sungai, hanya karena kita merasa kasihan melihat rusa dan hewan-hewan lainnya yang selalu menjadi mangsa mereka. Dan tentu saja kemungkinan-kemungkinan seperti itu pun akan sulit kita bayangkan.
Selain dampak yang demikian itu, kita mungkin juga akan menyaksikan populasi hewan-hewan yang biasa dimangsa oleh singa-singa tersebut semakin bertambah dan tak terbendung peningkatan jumlahnya. Rusa semakin beranak-pinak dan bertambah banyak, bersaing dengan kuda, kerbau, zebra, banteng, jerapah dan seterusnya, tanpa bisa dikurangi kecuali dengan cara menunggu kematian alami mereka. Dan setelah itu, entah apa yang mungkin terjadi jika populasi mereka benar-benar semakin tak terkendali. Mungkin saja itu akan bisa berpengaruh terhadap kesesuaian jumlah porsi dari ketersediaan tumbuhan yang sama-sama menjadi makanan mereka. Namun bagaimanapun, kita juga tidak tahu persis apa akibatnya jika populasi hewan-hewan tersebut benar-benar tak diimbangi dengan adanya kelompok pemangsa bagi mereka. Dan kita juga tidak tahu persis apa akibatnya jika saja jumlah hewan pemangsa ternyata lebih banyak daripada hewan yang dimangsa. Ternyata, semua jumlah mereka pun tampaknya telah terukur sedemikian tepat.
Maka dari sinilah, kita pun akan dapat mengakui bahwa sebenarnya fenomena alam liar yang tampak biasa-biasa saja tersebut ternyata memiliki kecanggihan yang tak wajar, yang bahkan lebih menakjubkan dari yang kita sadari. Sepertinya semuanya akan selalu berkaitan dengan sebuah tarik-ulur, keseimbangan dan keutuhan. Semua fenomena tersebut seperti ingin lebih menjelaskan tentang wujud ekosistem yang begitu canggih. Dan kecanggihan itu tentunya tidak dirancang oleh singa sang pemangsa, bukan pula oleh rusa atau hewan lainnya yang menjadi mangsa. Karena singa itu sendiri pun tidak pernah mengerti apa yang menjadikan dirinya begitu berselera memakan daging hewan-hewan tersebut, dan mengapa bukan rumput atau dedaunan saja. Demikian pula dengan rusa dan hewan-hewan semacamnya, yang tak mengerti sama sekali mengapa mereka begitu berselera memakan tumbuhan, dan mengapa bukan ikan, katak atau lainnya. Mereka semua tak pernah mengerti dari mana selera masing-masing berasal. Lagipula, mereka semua juga memang tak diharuskan mengetahui alasan mengapa mereka ada di dunia ini, karena memang mereka tidak dilengkapi dengan alat berfikir layaknya manusia. Mereka tidak pernah tahu mengapa dan untuk apa mereka hidup, melainkan hanya tunduk terhadap ketentuan yang telah digariskan oleh Kekuatan yang tak terlihat, yang mengatur dan merancang segala urusan di antara mereka.
Di sinilah isyarat yang menjelaskan bahwa sebenarnya keberadaan hewan-hewan tersebut di dunia ini, tak lain adalah sebagai anugerah untuk kita manusia, makhluq yang telah dilengkapi dengan perangkat khusus berupa akal. Semua fenomena alam yang pernah kita saksikan sebenarnya tak lain adalah sebagai tanda-tanda penciptaan agar dapat mendorong kita untuk mencari dan menemukan alasan mengapa kita dilahirkan ke dunia ini. Tentunya tidak akan sama beban kehidupan yang ditanggung oleh makhluq yang tidak dianugerahi perangkat khusus tersebut dengan kita yang dianugerahi perangkat khusus tersebut. Dan di sinilah keistimewaan manusia di antara makhluq-makhluq lainnya.
Dan dari fenomena antara singa dengan hewan-hewan mangsanya tersebut, kita pun akan kemudian mengerti mengapa di dunia ini harus ada nyamuk, lalat, semut, laba-laba dan seterusnya. Padahal tentunya kita akan lebih nyaman jika tidak ada nyamuk yang menggigit tubuh kita, lalat yang hinggap pada makanan yang akan kita santap, semut yang tampak mengganggu kebersihan ruangan, laba-laba yang mengotori sudut-sudut rumah dengan sarangnya, dan seterusnya. Namun, memang demikianlah Allah telah berkehendak menciptakan itu semua, yaitu tak lain adalah sebagai tanda-tanda untuk mengingatkan agar kita senantiasa mengakui kekuasaan-Nya. Semua ciptaan yang ada di dunia ini adalah pertanda yang pasti menyimpan pelajaran dan hikmah.
Dan salah satu hikmah dari segala fenomena yang tampak mengganggu kenyamanan adalah agar kita bersabar dalam meyakini adanya kehendak Allah, yang mana ketika Dia telah berkehendak untuk mendatangkan sesuatu, baik manfaat maupun marabahaya, maka tiada seorang pun selain-Nya yang dapat menolak ataupun mencegahnya, dan demikian pula sebaliknya, ketika Dia telah berkehendak untuk menolak dan mencegah sebuah rencana baik maupun rencana buruk, maka tiada seorang pun selain-Nya yang akan dapat mewujudkannya. Semua yang terjadi di dunia ini pastilah melalui izin-Nya, dan sesungguhnya semua itu telah dirancang dengan begitu matang, hingga sebenarnya tiada satu makhluq pun yang akan tertukar nasibnya dengan makhluq lainnya. Dan kebahagiaan serta kesusahan kita pun pada dasarnya tak akan pernah diambil alih oleh orang lain. Allah berfirman di dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kalian ditimpa oleh marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah kalian meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)
Dan dengan meyakini hal itu, maka kita pun akan selalu dapat berprasangka baik kepada Allah, dan tak sampai mengeluh atau hingga memohon agar dapat bertukar nasib dengan orang lain, namun justru menyadari bahwa segala yang ada pada diri kita pastilah yang terbaik untuk diri kita sendiri. Allah selamanya tidak pernah membebani kita dengan sesuatu yang tak mungkin sanggup kita pikul. Dan dengan keyakinan ini pula, kita pun akan merasa tak pantas untuk terlalu membanggakan apapun yang sebenarnya bukanlah milik kita sendiri, melainkan hanya pemberian dan titipan, yang jika memang Dia berkehendak, maka bisa saja Dia mencabutnya kapan saja. Harta, ilmu, bahkan hidayah iman sekalipun, semuanya hanyalah dari dan milik Allah. Dan yang sebenarnya diperintahkan oleh Allah atas kita adalah agar kita bersabar dalam mencari kebenaran dan kebaikan serta mengamalkannya sesuai kemampuan dan keterbatasan kita.
Dengan demikian, ketika misalnya kita sebagai murid telah berusaha dan belajar sekuat tenaga namun ternyata pengumuman hasil ujian menetapkan kita sebagai murid yang tidak naik kelas, bahkan hingga berulang kali, maka dalam menghadapi kenyataan itu pun kita tidak perlu terlalu kecewa ataupun berlebihan dalam bersedih, karena memang mungkin ketentuan yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita hanyalah sebatas itu. Namun, tentunya kita harus yakin dan menyadari bahwa Allah pasti menganugerahi kita sisi kebaikan dalam hal yang lain. Karena pada hakikatnya, makna keberhasilan sesungguhnya yang dikehendaki oleh Allah bukanlah selalu berarti kelulusan dalam ujian yang diadakan oleh manusia, melainkan kelulusan dalam ujian yang diadakan oleh-Nya, yaitu ujian agar kita belajar bersabar dan bersyukur dalam menerima segala macam keadaan. Dan Allah telah menyatakan bahwa Dia akan menilai dari sisi usaha kita, dan bukan dari hasilnya. Sehingga pada dasarnya usaha kita dalam belajar pun sungguh tidak pernah sia-sia meskipun kita tidak naik kelas, karena yang sebenarnya dimaksudkan dalam sebuah ujian adalah agar kita belajar, dan bukan kita belajar hanya ketika akan ujian saja. Dengan demikian, kita pun akan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu, tak peduli peringkat apapun yang akan kita capai, karena peringkat pun sebenarnya hanyalah dampak, dan bukan tujuan. Dan tujuan yang sebenarnya dalam menuntut ilmu adalah agar hidup kita tertuntun dengan ilmu tersebut.
Kita mungkin bisa mengingat kembali sosok sahabat Nabi yang sepertinya tak sebanding jika tingkat keilmuannya harus disejajarkan dengan seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi ternama di dunia saat ini misalnya; dialah Bilal, sosok kulit hitam yang hanyalah seorang budak dan hanya belajar di sekolah Nabi, yang mungkin tak pernah mengenal apa itu teknologi dan apa itu kemajuan zaman. Jika misalnya sosok profesor tersebut telah beriman sekalipun, mungkin beliau pun akan justru merasa tak sebanding jika disejajarkan dengan sosok Bilal tersebut. Apalagi jika profesor tersebut belum beriman, yang mana tentunya kita pasti akan lebih cenderung memilih sosok Bilal daripada sosok profesor yang berilmu tinggi itu. Dan ini bisa berarti bahwa sesungguhnya kebaikan yang diinginkan oleh Allah ternyata bukanlah semata kebaikan sebagaimana yang dimiliki oleh profesor tersebut, melainkan segala bentuk hal yang dapat lebih mendekatkan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Jadi, ilmu yang bermanfaat adalah yang mungkin meskipun sedikit namun justru dapat menuntun seseorang kepada kebaikan dan taqwa kepada-Nya.
Dan ketika kita memaknai hakikat kebaikan sebagaimana yang demikian itu, maka kita pun tak akan terlalu berlebihan dalam kesedihan ataupun kegembiraan. Ternyata semuanya bukanlah milik kita. Kita hanya diperintahkan untuk berbuat dan berbuat sesuai keterbatasan yang kita miliki. Sehingga, mereka yang guru pun tak akan menyalahkan apapun atau siapapun ketika harus ada di antara anak didiknya yang tampak terlalu lemah dalam sisi kecerdasan, namun justru berusaha memunculkan sisi kebaikan lain yang ada pada diri anak didik tersebut. Dan mereka yang petani tak akan perlu mengeluh atau menyesal secara berlebihan ketika jerih payahnya belum menghasilkan panen yang baik karena terganggu hama. Mereka yang nelayan tak perlu terlalu bersedih ketika tangkapan ikannya tampak lebih sedikit dari biasanya. Dan demikianlah seterusnya. Semuanya hanyalah dinilai dari usaha kita dalam menempuh kebaikan yang kita cenderungi di samping keterbatasan yang ada. Dan seandainya pun suatu jalan kebaikan tampak tertutup bagi kita, itu berarti Allah akan menganugerahkan kebaikan melalui jalan yang lain, yang bahkan mungkin tak pernah disangka-sangka. Pemberian Allah akan selalu baik sesuai kebaikan prasangka kita sendiri.
Dan akhirnya, ternyata kita pun hanyalah sekedar makhluq yang hanya diberi dan selalu diberi. Dan sesungguhnya segala bentuk kelapangan, kesehatan, kenyamanan, bahkan hingga kemampuan, ilmu, dan hidayah iman sekalipun, semuanya hanyalah anugerah dari Allah, yang mana agar dapat menuntun kita untuk senantiasa bersyukur, dengan cara berbuat baik sesuai kecenderungan dan kenyamanan hati masing-masing, dan agar kita senantiasa kembali mengingat-Nya. Dan hanya milik Allah sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
Wallaahu a’lam.
Ibnu Anwar