Sahabat, tiba-tiba saja saya teringat tayangan televisi malam beberapa hari yang lalu. Yakni di acara "dewasa" sebuah stasiun tv dalam program keluarga, bertajuk “masihkah kau mencintaiku”. Barangkali diantara sahabat ada juga yang menyaksikannya.
Saya hanya ingin berbagi, terlepas dari bagaimana proses pembuatan acara tersebut. Apakah didramatisir atau tidak, seperti halnya dramatisasi dalam acara-acara reality show (pada umumnya) dan cerita-cerita fiksi juga novel roman ataupun misteri, yang biasanya mampu mengaduk-aduk emosi para penonton dan pembacanya. Wallahu a’lam. Yang jelas, saya hanya ingin ber-opini tentang sebuah "cinta yang aneh". Semoga saja bisa dijadikan ibrah, agar tidak terjadi di keluarga kita.
Kasusnya, setelah 24 tahun berrumah tangga, sepasang suami istri -yang dihadirkan pada saat itu- memutuskan untuk saling bercerai. Padahal dari keduanya sudah dianugerahi dua orang anak, putra-putri yang baik, cantik dan tampan. Sehingga keputusan tersebut benar-benar membuat terkejut kedua anaknya. Karena setahu mereka, antara kedua orangtuanya tidak memiliki masalah yang serius dalam hubungannya. Sungguh, ini menyakitkan hati mereka.
Alasan kedua orangtua mereka sederhana, selama 10 tahun terakhir cinta mereka memudar. Bahkan mereka mengaku sudah tidak saling mencintai, sama sekali. Pertanyaannya, justru terletak pada apa sesungguhnya definisi ‘cinta’ menurut pasangan suami isteri yang "aneh" tersebut.
Karena mereka sama sekali mengabaikan perasaan kedua buah hati yang -katanya- juga amat mereka cintai. Kedua buah hatinya dengan sangat memohon-mohon agar kedua orangtuanya menarik ucapan mereka, sehingga tidak jadi bercerai.
Memang, efek dari hubungan “aneh” sepasang suami isteri itu adalah munculnya "orang ketiga", yakni mantan kekasih si ibu (istri) ketika masih muda dulu. Akhirnya yang terjadi adalah, “clbk”, cinta lama bersemi kembali.
Rencana sang istri, setelah bercerai dari suaminya ia akan segera menikah dengan mantan kekasihnya itu. Dan kemudian ini mendorong si ibu (istri) mengingat kembali pada proses pernikahannya dengan suaminya. Mereka ternyata “dijodohkan” oleh kedua orangtua masing-masing. Lalu, apa yang salah dari perjodohan?
Padahal meski dimulai dari cara apapun (ketika masih dalam kerangka syar’i), seharusnya cinta bisa diproses, dibangun, kemudian dimekarkan jadi bunga. Sebagaimana Allah firmankan,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Ruum:21)
Pernikahan adalah beribadah kepada Allah. Ia adalah ikatan yang sakral, di dalamnya terdapat "mitsaqan ghalidza" (perkataan/janji yang berat). Di awal pernikahan Allah kurniakan rasa tentram (sakinah) diantara keduanya.
Kemudian dengan anugerah hati dan akal, kita tumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam rangka cinta kita kepada-Nya. Dan dengan ijin serta pertolongan Allah, maka sepasang suami istri akan merasakan ketentraman, cinta dan penuh kasih sayang; sakinah mawaddah wa rahmah.
Tugas kita selanjutnya adalah merawat dan memeliharanya, agar cinta tumbuh semakin indah. Ya, cinta memang harus selalu diupayakan..
Tetapi, saya melihat mereka tidak berusaha demikian (Wallahu a’lam!). Mereka tetap menyimpan egoisnya, juga menyimpan ke-tidakridha-annya atas proses perjodohan itu, selama 24 tahun, meski telah lahir dua buah hati yang kini usianya sekitar 22 tahun dan 19 tahun. Saat mengingat peristiwa "perjodohan" di masa lalu ini akhirnya semakin menambah daftar alasan dalam mereka mengambil keputusan untuk segera bercerai, dengan -sekali lagi- mengabaikan perasaan kedua buah hatinya.
Dari kasus ini, sahabat.. Anehnya, si ayah (suami) bukannya “nggondeli” istrinya demi keutuhan keluarganya dan kebahagiaan anak-anaknya, tapi justeru melepasnya dengan ringan. Benar-benar pria yang aneh! Sepasang suami isteri yang sangat egois.
Seorang ibu yang hanya memikirkan pemenuhan cinta “syahwati”-nya pribadi, dengan mengorbankan perasaan kedua buah hatinya yang benar-benar sedang terluka. Dan seorang ayah yang mudah sekali putus asa untuk membangun dan menumbuhkan cinta terhadap istrinya.
Bagaimana mungkin setelah sekian puluh tahun berumah tangga egoisnya tidak berusaha dikikisnya, bahkan demi kebaikan putra putrinya. Dimana letak kedewasaan mereka? Tidakkah mereka malu terhadap anak-anak mereka, juga terhadap diri mereka sendiri? Na’udzubillahi min dzalik..
Dan saya hanya bisa berdoa untuk kebaikan keluarga mereka. Semoga cinta dalam keluarganya yang sempat retak, akan menyatu kembali. Kedua orangtua diberikan petunjuk oleh-Nya, supaya lebih bijak menyikapi masalah “hasrat” di dalam hatinya (perasaan cinta syahwatinya), serta agar lebih dewasa mendefinisikan makna cinta.
Sehingga untuk pemenuhan “hasrat” itu, tidak harus dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain (para buah hatinya), bahkan cinta seharusnya malah mampu mengorbankan dirinya (hasrat dalam hati mereka), untuk kebahagiaan orang-orang yang mereka cintai. Dan bagi anak-anak mereka, semoga dilimpahi kesabaran dalam menghadapi ujian di keluarganya.
Cobaan itu semoga saja tidak melemahkan dan menghancurkan hidup mereka, tetapi justru semakin menguatkan dan menjadikan mereka menjadi lebih bijaksana menyikapi hidup. Karena ujian/cobaan seringkali menjadi sarana datangnya hidayah Allah..
Saya jadi tertegun dan kemudian bercermin, melihat ke dalam diri saya dan keluarga. Yang mana, awal jumpa kamipun tak jauh beda, yakni dengan "perjodohan".
Tetapi kami berkomitmen untuk belajar dan akan terus belajar sepanjang hidup, demi menterjemahkan cinta dalam kerangka ibadah kepada-Nya. Dengan harapan, takkan pernah ada kebahagiaan seorangpun yang dikorbankan demi kepentingan pribadi semata.
Melainkan cinta seharusnya menjadi sumber cahaya, yang menerangi hati dan semesta. Rasulullah pernah berpesan, "Maka nikahkanlah orang-orang yang yang masih sendirian di antara kalian. Sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rizki mereka, dan meningkatkan derajat mereka."
Jadi menurut saya, cinta bukanlah jelmaan bunga yang begitu saja tercipta. Tetapi ia ditakdirkan untuk senantiasa di jalur “proses”. Dari tiada berusaha ditumbuhkan, hingga menjadi sekuncup kecil. Kemudian dipupuk dan disiram, untuk dimekarkan jadi bunga.
Lalu dirawat dan dipelihara sedemikian rupa, agar mekarnya indah dan harumnya membahana. Diberikan sarana yang penuh kesejukan serta cukup pencahayaan, agar tak layu serta warnapun tak memudar. Sehingga ia tetap indah dan meng-abadi sampai ke taman surga-Nya.
Wallahu a’lam..
:::
Ini hanya opini pribadi, yang saya tulis sebagai bahan renungan dan introspeksi, saat menginjak tahun ke-6 pernikahan kami.
“Ya Allah, semoga rumahku benar-benar menjadi surgaku di dunia ini, wasilah untuk menggapai istana surga-Mu yang hakiki..”