Semangat itu…

Hari itu adalah hari sabtu. Hari libur kantor. Sabtu malam, dengan melalui sms, seorang teman mengajak saya untuk datang di acara Anugerah Sahabat, sebuah acara yang diperuntukkan untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus (difable). Mereka adalah anak-anak tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, dan tuna daksa. Tidak layak rasanya menyebut mereka (baca: orang-orang yang menderita tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, dan tuna daksa) sebagai orang cacat. Saya lebih senang dengan istilah “orang-orang yang mempunyai kebutuhan khusus” ketika menyebut mereka.

Yah, mereka memang mempunyai kebutuhan khusus terhadap indera penglihatan, indera pendengaran, indera untuk berbicara serta kedua tangan dan kaki mereka. Bersama dengan teman yang meng-sms saya Sabtu malam itu, jadilah saya berada di taman yang terletak di pelataran sebuah PTN di kota Bandung hari Sabtu siang itu.

Sabtu siang itu, cuaca cerah. Matahari bersinar dengan hangat. Sama hangatnya dengan suasana di taman itu saat itu. Keramaian yang ditingkahi dengan wajah polos anak-anak yang berusia sekitar usia anak Sekolah Dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SLTP) menjadi kehangatan tersendiri bagi suasana taman saat itu. Sama seperti halnya anak-anak usia mereka, mereka bermain dengan gaya khas anak-anak. Kepolosan tergambar indah dalam wajah-wajah mereka. Ada ceria di wajah mereka. Ada gembira di wajah mereka.

Sekilas tidak ada yang berbeda dengan sebagian besar anak-anak yang berada di taman itu siang hari itu. Mereka sedang bermain. Mereka sedang bergembira. Ketika saya dan teman saya mendekat dan melihat permainan mereka, barulah saya merasakan dan melihat ada yang berbeda dengan sebagian besar anak-anak itu. Mereka ada yang dipandu berjalan sehingga mereka dapat mengerti seberapa luas area permainan mereka saat itu. Mereka ada yang membaca bahasa bibir kakak pemandu atau gurunya dengan seksama ketika kakak pemandu atau guru mereka menjelaskan bagaimana permainan mereka saat itu harus dijalankan. Mereka ada yang harus dibantu untuk menjalankan kursi roda mereka.

Ternyata, keterbatasan tidak mempengaruhi mereka untuk tetap bersemangat dan merasakan keterlibatan dalam permainan siang itu. Saya mendengarkan dengan seksama ketika seorang wanita yang saat itu menjadi pembicara dalam talk show di acara itu bercerita dengan terbata-bata tentang kisahnya yang sukses menyelesaikan S2-nya di sebuah PTN di negeri ini di tengah-tengah keterbatasan pendengarannya. Saya terharu ketika dia berbicara “sekarang saya sudah menjadi dosen di universitas almamater saya”. Ada semangat dalam setiap patah ucap katanya. Ada keoptimisan dalam rangkaian cerita kehidupannya.

Saya tercenung ketika melihat dua orang anak kembar dengan suaranya yang merdu menyanyikan lagu sebuah band di negeri ini, Surga-Mu. Sungguh keduanya sangat menghayati lagu itu. Penghayatan itu tampak dari cara keduanya menyanyikan lagu itu. Ekspresi wajah keduanya. Tinggi rendah suara keduanya. Ehmm, saya benar-benar terkesima dengan keduanya. Ketika keduanya selesai menyanyikan lagu itu, saya menyempatkan untuk menghampiri keluarganya. Keduanya memang suka menyanyi, begitulah jawab sang bunda keduanya ketika saya menyampaikan apresiasi saya terhadap kedua bocah cilik itu. Ada semangat dalam setiap untaian lagu Surga-Mu yang dilantunkan oleh keduanya. Ada keoptimisan dalam rangkaian nyanyian lagu Surga-Mu itu.

Saya menikmati ketika sebuah grup band yang semua anggotanya adalah para pemuda tuna netra menyanyikan lagu-lagu lawas. Keterbatasan penglihatan mereka tidak membatasi mereka untuk tetap bisa berekspresi. Rasanya, mereka juga layak bersanding dengan grup-grup band lainnya yang ada di Indonesia. Ada semangat dalam setiap lagu yang mereka nyanyikan. Ada keoptimisan yang terpancar dari wajah-wajah seluruh personil band itu. Saya terdiam ketika mendengarkan puisinya Chairil Anwar, Aku, dibacakan oleh seorang gadis yang untuk berjalan menuju panggungpun dia harus dituntun. Tapi, suaranya lantang. Tidak memancarkan kepesimisan. Tetap ada rasa percaya diri dalam dirinya ketika membacakan puisi itu. Ada semangat dan keoptimisan. Begitulah, saya menangkapnya.

Saya terkesima ketika sekelompok anak-anak tuna rungu yang ada di hadapan saya bercanda dalam bahasa mereka. Mereka tertawa gembira. Lepas. Seakan tidak ada beban dalam hidup mereka. Dan sayapun iri ketika saat itu saya tidak mengerti mereka sedang memperbincangkan dan menertawakan tentang apa. Tetap saja saya menemukan semangat dan keoptimisan dalam candaan anak-anak itu.

Saya menatap lekat pada seorang anak yang sedang dipandu oleh seorang laki-laki muda yang menjelaskan tentang sebuah kamera yang sedang dipegang oleh anak tersebut. Mungkin, sang anak teramat ingin menatap dan menyaksikan kamera yang saat itu sedang ada dalam genggamannya. Tapi, saya yakin, saat itu, cukup baginya meraba dan mendengar sang kakak pemandu menjelaskan dalam bahasa lisannya. Raut wajahnya mengungkapkan kepada saya tentang semangat dan keoptimisan.

***

Alhamdulillah, kita, saya dan Insya Allah Anda, dikaruniai fisik yang utuh. Tidak kurang sesuatu apapun. Kita tidak membutuhkan orang lain untuk berjalan ke suatu tempat atau untuk memegang sesuatu. Kita bisa menggunakan kaki atau tangan kita sendiri. Kita tidak memerlukan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kita bisa menatap dan menyaksikan seluruh pemandangan indah hasil ciptaan Sang Khalik. Paras cantik dan ganteng orang-orang yang kita cintai. Birunya pantai. Hijaunya kaki gunung. Putihnya awan. Kuning emasnya cahaya matahari kala senja. Kita bisa mendengar suara apapun tanpa harus menggunakan alat bantu dengar. Apapun itu. Panggilan adzan di setiap lima waktu shalat wajib. Deburan ombak. Desiran angin. Panggilan sayang saudara-saudara kita.

Namun, entah mengapa, di tengah keutuhan dan kesempurnaan fisik kita, masih teramat sering kita mengeluh pada kehidupan. Pada kesulitan. Pada kesempitan. Pada keterbatasan. Rasanya kita, saya dan Anda, harus belajar banyak pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Pada semangat dan keoptimisan mereka. “.Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap” (QS Al-Inshira: 5-8). Sepertinya kita kembali harus merenung lebih dalam tentang arti surat Al-Inshira di atas. Kita, teman. Saya dan Anda.

Bandung, November 2006