Betapa sulit mencari kerja sekarang. Sempitnya lapangan kerja menambah deret angka pengangguran. Apalagi, tingkat persaingan semakin tinggi dengan bertambahnya lulusan sekolah menengah atas ataupun perguruan tinggi yang mencari kerja.
Itu masih ditambah dengan belum stabilnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tak heran banyak pengangguran intelektual (sarjana) di negeri ini. Jika sarjana di negeri ini masih banyak yang menganggur, bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah?
Kadang, tak jarang kita jumpai bahwa banyak warga Indonesia yang terpaksa merantau ke negeri orang untuk mencari sesuap nasi. Mereka bekerja sebagai pembantu ataupun buruh di negara tetangga karena merasa sudah mentok mencari kerja di negeri sendiri. Para pahlawan devisa itu tak jarang pula mendapatkan aniaya dari majikan yang kadang bisa saja merengut nyawa mereka. Meski, tak sedikit di antara mereka yang sukses membawa hasil keringat saat pulang ke tanah air.
Di saat lapangan kerja semakin sulit didapat, tak jarang ketika sudah bekerja pun hak-hak pekerja atau karyawan kurang diperhatikan karena terbentur birokrasi perusahaan. Pernah, saat kebetulan melintas di suatu kawasan industri di Sidoarjo, saya melihat sekelompok buruh berdemo. Pemandangan seperti itu sering saya lihat, baik di televisi ataupun melihat secara langsung.
Para buruh pabrik tersebut tidak hendak mengancam perusahaan atau sengaja membuat macet jalan. Mereka hanya memperjuangkan hak-hak mereka ketika perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Sekarang ini, di setiap perusahaan banyak menerapkan sistem kontrak kerja kepada para karyawannya. Ada karyawan yang dikontrak cuma setahun, ada pula yang dikontrak selama dua tahun. Ada juga buruh yang hanya dikontrak selama enam bulan.
Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang menerima karyawan lewat perusahaan outsourch. Bisa dipahami jika banyak sekali buruh yang merasa waswas, bekerja tidak tenang, dan bingung ketika menjelang kontrak kerjanya habis. Pernah, saya terenyuh mendengar kisah tetangga saya.
Dia mendatangi saya dan menceritakan bahwa dia baru saja mengalami pemutusan kontrak kerja. Sebagai buruh pabrik yang berpendapatan kurang dari Rp 800 ribu, dia merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, dia harus menghidupi isteri dan seorang anaknya.
Dalam keadaan bingung dan kalut, dia meminta tolong kepada saya untuk membantu mencarikan lowongan kerja. ”Kerjo opo ae aku gelem Mas (Kerja apa saja saya mau Mas), ” tuturnya. Saya sempat terdiam dan tak tahu harus menjawab apa kepada tetangga saya tersebut. Saya termenung sejenak karena berpikir bahwa wong saya ini juga buruh.
”Insya Allah Pak. Saya usahakan membantu mencarikan info kerja. Tapi, saya ndak janji bisa mendapatkan secepatnya buat sampeyan, ” jawab saya. Mungkin, tidak sedikit orang yang mengalami hal seperti tetangga saya tadi. Saya semakin prihatin manakala membaca berita ada seorang buruh pabrik wanita yang menangis karena dikeluarkan.
Bahkan, dia mengatakan telah memberi uang kepada salah seorang staf agar tidak dikeluarkan dari perusahaan itu. Dia mengaku berbuat demikian demi bisa diperpanjang kontraknya. Ketika uang sudah diserahkan, janji untuk diperpanjang tak terealisasi. Rasa sedih, kecewa, dan kalut bercampur jadi satu di hati wanita tersebut.
Masya Allah. Betapa susahnya mencari sesuap nasi hingga persaingan pun menimbulkan iklim tidak sehat di dunia kerja. Seolah-olah, rezeki dan nasib seseorang itu bisa ditentukan oleh selembar kertas kontrak kerja. Astaghfirullah. Bekerja adalah ibadah. Namun, banyak orang yang memaknai esensi kerja hanya untuk kebutuhan dapur dan perut belaka. Sehingga, banyak dijumpai orang yang putus asa karena masalah kerja.
Padahal, masih banyak jalan jikalau kita mau berusaha. Masih banyak cara untuk mencari rezeki di bumi ini. Allah berfirman: ”Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi, sedikit sekali kamu berterima kasih.” (QS Al-A’raf: 10). ”Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah.” (QS Al-Jum’ah: 10).
Keterpurukan ekonomi negeri ini disebabkan oleh semakin merajalelanya para koruptor. Utang negara semakin menumpuk, ditambah semakin lunturnya moralitas sebagian pemimpin. Negeri yang kaya sumber daya alam ini ternyata tak mampu menghidupi penduduknya karena dirusak dan dikeruk habis-habisan tanpa usaha diperbarui.
Tak salah bila kelaparan dan kemiskinan di negara ini semakin menjadi-jadi. Pembenahan moral bangsa dan etos kerja yang baik harus segera dilakukan agar negeri ini tidak dijajah oleh pemimpin korup. Jangan lagi menambah rakyat kita menderita karena sulitnya mencari sesuap nasi. Di luar sana, banyak wajah muram para buruh dan pencari kerja. Mereka tak berharap apa-apa, kecuali merindukan hidup di negeri yang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Surabaya, Juli 2008 [email protected]