Selalu Terselip Amanah

Tepat pukul 3 pagi, aku terbangun, tak menyangka aku tertidur di kamar teman kostku, Maria. Mataku terbelak dan jantungku berdegup kencang saat aku kembali ke kamar dan membuka pintu kamarku sendiri. ”astagfirullah.., ” Istighfar yang cukup menyayat hati. Aku terkesima begitu melihat kasurku berantakan dengan seluruh isi tas kuliah tercecer tak beraturan. Pun dengan seluruh kartu identitas dan kartu ATM yang keluar begitu saja dari dompetku. Jantungku makin berdegup kencang, iramanya tak seimbang kala aku menyadari jendela kamarku masih terbuka. Tak sengaja tertidur di kamar Maria, membuatku lupa mengkondisikan kamarku tak berpenghuni. Jadi, jendela berteralis itu terbuka dan dengan lampu kamar yang menyala, seolah-olah masih ada penghuninya.

Aku heran, ini tak biasanya. Seingatku, aku tak punya kebiasaan membongkar barang pribadi dan meletakkannya tak beraturan. Pff, pikirku melayang, prasangkapun mengembang. Seketika itu juga aku membereskan barang-barang yang tercecer di kasur, berharap tak satupun yang hilang. Dan…

”Astaghfirullah..” Istighfarku yang kedua. Mana uang-uangku? Di mana juga digital translaterku? Hatiku miris melihat fakta yang kusaksikan sendiri. ”Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun…Rabb, adakah orang yang masuk tanpa sepengetahuanku?”

Dengan hati tak menentu, aku berusaha mengingat-ngingat kejadian sebelum aku meninggalkan kamar dan tertidur di kamar Maria. Kuingat-ingat kembali sembari membongkar isi kamar, berharap barang-barang itu masih terselip di sudut-sudut ruangan. Tidak, hasilnya nihil. Barang-barang itu positif tak ada di kamarku setelah kurang lebih 45 menit aku mencarinya.

”Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah..” Istighfar yang kesekian ini mengiringi ingatanku kala kutersadar bahwa sejumlah uang dan digital translaterku adalah barang ke-3 dan ke-4 setelah sebelumnya aku kehilangan MP4 dan arloji, semenjak 3 bulan terakhir ini.

***

Teguran yang indah. Terkemas cantik dengan keteraturan skenarioNya. Wajah ini tersegarkan oleh wudhu yang menyejukkan. Hati ini tenang oleh adzan Magrib yang bersahutan. Rindu sujud. Rindu memasrahkan diri. Rindu bermesra dengan Allah Azza Wa Jalla. Muhasabahku senja itu…

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Aku masih teringat kala mama memilihkan tempat kost ini sebagai rumahku di Malang. Begitu riang saat aku pertama kali menginjakkan kaki di kosan ini. Kenapa? Karena, tepat di depan pagar rumah kost, aku hanya butuh kira-kira 25 langkah kaki ke arah barat kala ku ingin mampir ke masjid terdekat. Pun aku hanya butuh kurang lebih 35 langkah kaki ke arah timur kala ku ingin bersilaturrahim ke anak yatim piatu di panti asuhan terdekat. Sungguh, karunia yang sempurna, kenikmatan yang manis terasa. ”Hmm, tempat kost yang cukup strategis”, pikirku.

Sudah 1 tahun lebih aku tinggal di kosan ini. Hatiku tertunduk malu, sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kakiku masih cukup untuk menghitung jika Allah bertanya telah berapa kali aku melangkahkan kaki menuju masjid terdekatku. Pun satu jari tanganku belum habis terpakai untuk menghitung jika Allah bertanya telah berapa kali kaki, tangan dan hatiku ini terintegrasi untuk menyambung silaturrahim dengan anak yatim piatu di panti asuhan dekat kosanku.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Tentu bukan tanpa maksud Allah menambatkan hatiku untuk merasa nyaman tinggal dikosan ini. Pasti, pasti terselip amanah. Aku tergugah, aku tersadar dan sesal ini baru kentara. Ada amanah yang Allah titipkan. Dan Allah menyapaku dengan ujian itu.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Hatiku miris kala teringat bahwa Allah karuniakanku kelapangan rejeki, namun seribu rupiah perhari saja belum tentu rutin terinfaQ-kan di masjid dekat kosan, padahal harga kosanku 350 kalinya. Allah karuniakanku rasa kenyang dan kenyamanan tidur dikamar, padahal di ujung gang kosanku masih ada nenek tidur beralaskan trotoar berselimut dingin merintih lapar, hanya terhibur oleh kelucuan tingkah kucing kesayangan. Allah karuniakanku ayah bunda yang diberi sehat dan usia, namun aku sadar, belum totalitas aku memuliakan mereka selama Allah izinkanku merasakan luapan kasih sayang mereka. Padahal, di timur kosanku, ada anak-anak yatim piatu yang rindu melihat wajah ayah bundanya, yang rindu untuk bisa memuliakan orang tua mereka, yang rindu sungkem pada ibu yang melahirkan mereka, yang rindu bercanda berdua dengan ayah mereka.

Dalam setiap karunia Allah terselip amanah. Allah karuniakanku penglihatan, namun mata ini terlampau sering melihat apa yang tidak halal untuk aku memandangnya. Mataku menangis karena lelah tertawa, tapi diseberang sana, ada anak kecil yang menangis karena pedih menahan lapar. Mata hatiku terancam kusam manakala penglihatan ini silau akan gemerlap pesona dunia. Allah karuniakanku lisan, namun ada jiwa-jiwa yang merasa tak aman olehnya. Begitu lihai lidah bergerak, begitu mudah bibir berkata, namun ia tajam mengiris hati terdalam. Padahal diseberang sana ada lisan yang istiQomah menyampaikan kebenaran dan mengajak pada kebaikan. Allah karuniakanku teman, sahabat dan kerabat. Namun Qalbu ini luka oleh sayatan pergaulan yang merusak aQidah.

Jujur, aku tak sanggup menghitung telah berapa kali Allah menolongku. Telah sesering apa Allah melapangkan rejeki bagiku. Telah sebanyak apa Allah mudahkan urusanku. Telah serutin apa Allah sehatkan tubuhku, pengendali nafas saat ku bernafas. Ya, sebanyak apa nikmat Allah yang sempat terdustakan walau sesaat adalah tak sebanding dengan selama apa hatiku telah bersujud mensyukuri kebesaranNya. Bagiku, kehilangan barang belum seberapa dibanding aku kehilangan kesempatan untuk menunaikan amanah dariNya.

Dalam kesendirian seorang hamba bermaksiat, maka yang melihat adalah yang menjatuhkan hukuman. Pasti akan datang hari yang berat untuk mempertanggungjawabkan semua. Dengan hisab yang seadil-adilnya. Pasti akan datang hari ditampakkan semua kesalahan, semua kelalaian dan semua kedustaan. Satu yang baik untuk kurenungi: menunaikan amanah yang terselip dalam tiap karunia-karuniaNya adalah bahasa syukur hamba pada Illahnya.

Maha besar Allah…

moslemalda@yahoo. Com