"Mie rebus-nya dua mas, pake telor", ujar temanku malam itu kepada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan gerobak tuanya.
Kemudian kami duduk sambil menunggu mie selesai direbus. Malam memang sudah agak larut. Tapi tak ada gemerlap bintang malam ini. Langit semakin kelam saja. Sesekali hujan masih mengguyur bergantian dengan mendung, berulang-ulang sejak siang tadi. Dua buah balok kayu disulap menjadi dua buah bangku panjang yang memang tidak begitu nyaman untuk kami duduki, namun dalam suasana dan keadaan seperti ini tentunya jika memilih berjongkok dipinggir jalan, tentunya ini jauh lebih baik.
Sampai hari ini musim penghujan belum juga usai. Bahkan yang lebih gak jelas, kini cuaca sudah benar-benar sulit untuk diprediksi, sebentar hujan sebentar panas. Dan ternyata memang benar, sesaat kemudian hujan gerimis kembali mengguyur salah satu pojok di kota metropolitan ini.
Dari kejauhan seorang wanita menggendong anaknya setengah berlari menuju ke arah kami. Bajunya sudah agak basah, tangan kirinya bersusah payah menggendong anaknya, semetara tangan kanannya menjinjing sebuah kantong plastik berwarna hitam. Hingga akhirnya iapun sampai dan bernaung di bawah tenda yang sebagian tendanya sudah tidak lagi utuh sempurna, tenda yang kini kamipun berada dibawahnya.
"Tadi ada baju bagus mas, warnanya merah ati, ada bunga-bunga dibagian pinggangnya. Cocok banget buat anak kita, …", ujarnya sumringah pada lelaki tadi yang ternyata suaminya itu, namun sesaat kemudian ia terhenti tak melanjutkan ceritanya.
Mendengar itu suaminya hanya tersenyum. Seakan menenangkan hati isterinya untuk bersabar. Dalam kondisi seperti ini memang bukan hal gampang mengais rezeki bagi mereka yang menggantungkan usahanya dijalanan seperti mereka. Bukan yang berada di dalam sebuah gedung bertingkat yang lengkap dengan kursi nyaman, seperangkat komputer serta pendingin ruangan. Mereka yang berada di jalanan harus bersaing dengan panas dan hujan yang tidak pernah disangka-sanngka kedatangannya. Kadang mereka harus gulung tikar menyelamatkan dagangannya ketika hujan sudah begitu amat derasnya.
Sesaat aku menoleh ke arah mereka. Kulit-kulit keriput menghiasi wajah mereka. Kilatan cahaya lampu petromax tergambar jelas di antara keringat yang menjulur di sekitar kulit lengannya. Lekukan-lekukan tulang begitu sempurna meliuk hampir pada setiap sisi tubuhnya. Baju yang lusuh masih melekat ditubuhnya yang kini menggigil dalam kedinginan dan guyuran air hujan.
Namun, yang membuat aku kagum dari mereka adalah meskipun dalam kondisi demikian, selalu hadir adanya rasa ingin memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Seperti yang baru saja diutarakan wanita itu pada suaminya. Mungkin andaikan ada rezeki, jatah untuk diri mereka sendiri akan jauh berada di urutan kesekian puluh daripadanya. Yang mereka utamakan tentunya untuk mereka buah hatinya. Subhanalloh…
Mereka sudah tidak lagi memperhatikan bagaimana kesehatan mereka, bagaimana kondisi tubuh mereka, apalagi bagaimana dengan penampilan mereka. Yang terpenting bagi mereka hanyalah satu, yaitu bagaimana anak-anaknya mampu tumbuh dan menjadi seorang yang akan mampu ia banggakan satu saat nanti di kemudian hari.
Jika itu telah tercapai, maka seluruh perjuangan dan penderitaannya seakan luluh lantah berganti sejuta nuansa bangga dan bahagia. Meskipun ternyata dalam perjalanannya tidak semuanya semulus demikian, tidak sedikit yang membuat kita miris, ketika banyaknya mereka anak-anak yang justru tidak menyadari akan hal ini, hingga akhirnya mereka yang dulu dimanjakan dengan sejuta kasih sayang dari orang tuanya, namun justru ketika dewasa mereka seakan melupakan segala jasa dari mereka orang tuanya. Na’udzubillah
Hari berselang, waktu sudah berlalu…
Hari ini, aku menemukan kembali wanita itu. Kondisinya memang sudah berbeda. Kini panas matahari sudah kembali memanggang suasana kota, bukan lagi hujan yang mengguyur di tengah petala. Sebuah gerobak tua masih setia menemani perjalanan panjang kisah kehidupan mereka. Dekat di samping kanannya seorang gadis kecil berlari-lari, alhamdulillah baju merah ati dengan bunga-bunga dipinggangnya kini sudah melekat ditubuh kecilnya itu. Ia sang buah hati kini melompat-lompat dan tertawa riang di samping wanita itu. Sementara wanita itu hanya berdiri dan tersenyum memandang puas disebelah suaminya, menikmati kebahagian anak tercintanya.
Cantik, gadis kecil itu begitu cantik dengan baju barunya itu. Ia memang jauh lebih baik dengan kondisi ketika pertama kali kami melihatnya pada malam itu. Ia telah berubah. Hanya mereka yang tidak berubah, mereka yang kini berdiri memandang keceriaan suasana, mereka yang cukup ikhlas serta penuh kesabaran dengan kondisi seperti sekarang ini, mengenakan baju yang pas-pasan, penampilan yang mengenaskan, serta keringat-keringat yang bercucuran. Namun, jauh di dalam palung hati mereka, aku yakin, selalu ada seikat do’a dari mereka, sebuncah harapan untuk putra-putrinya, sebersit bahagia akan kehadiran sukses ia buah hatinya di hari kemudian.
Wallahu’alam bish-shawab.