“Bang, besok ada donor darah lho di PPMI”, kata Elman, kawan sekamarku. Katanya, itu dalam rangka aksi solidaritas Palestina. Langsung pikiranku terbayang, teror brutal yang digencarkan oleh Israel tak berperikemanusiaan itu. Korban terakhir waktu itu yang kulihat lebih dari dua ratusan rakyat palestina di jalur gaza tewas. Mayat anak-anak kecil terhampar menjadi saksi bisu atas kejahatan perang. Dentuman bom, deru misil, dan kebisingan burung besi menari-nari di langit sambil membuang kotoran amunisinya tak tentu arah. Prinsipnya, bagi mereka semakin banyak yang tewas, semakin dekatlah kemenangan mereka.
Ajakan Elman tersebut langsung mengingatkan saya ayat tentang persaudaraan. Allah menyebutkan bahwa setiap orang beriman itu hakikatnya bersaudara. Apa yang terbayang ketika kata saudara disebutkan. Antara kita dan mereka laksana satu jiwa. Kesamaan rasa inilah yang sering dirasakan kalau salah satu anggota keluarga kita dihina, kita juga terhina dan harus membelanya. Bahkan ikatan darah yang paling dekat seperti halnya ibu dan anak, karena begitu dekatnya, sering sang ibu bisa merasakan apa-apa yang berlaku pada si anak.
Dalam hadis juga disebutkan, Rasulullah saw mengumpamakan antara satu muslim dengan lainnya itu bagai satu tubuh. Kalau satu anggota tubuh ada yang sakit, maka anggota yang lain juga akan merasakannya. Jangan bilang kalau kita sakit gigi, lantas yang sakit cuma gigi atau mulut saja. Pasti semua anggota tubuh kita merasakannya juga. Bisa bisa kalau imunitas tubuh kita kurang, yang terjadi malah sakit gigi itu dibarengi dengan demam.
Andai saja tidak ada yang menghalangi, saya yakin keserakahan Israel untuk merebut tanah Palestina itu akan berhenti. Kalaulah bukan politik dunia, tak akan pemimpin-pemimpin arab dan negara Islam lainnya bagai kerbau dicucuk hidungnya. Diam, tak bergeming sedikitpun karena tidak punya wibawa di mata Negara adidaya dan konco-konconya. Kalau pun ada satu atau dua negara islam yang diperhitungkan, tapi mereka tak ubah seperti macan dalam kandang.
Tapi itulah realitanya. Siapa yang tak sedih melihat saudaranya hidup dalam penderitaan. Mereka yang bukan beragama islam saja perih melihat tragedi kemanusian itu. Apatah lagi kita yang masih terikat tali persaudaraan Islam. Saya yakin niat tulus kelompok Islam yang hendak berangkat jihad ke Palestina adalah salah satu bukti ukhuwah. Hanya saja, dalam kondisi serba terjepit saat ini, kita sangat sulit melakukan jihad dengan senjata tersebut.
Walaupun jihad dengan senjata tidak bisa dilakukan, cara lain tetap harus dilakukan. Dan dalam hal ini, meski nyawa tidak bisa digadaikan dengan terjun ke medan perang, maka masih ada harta yang bisa diberikan. Dan bagi saya ketika itu, harta yang paling berharga sekaligus bermanfaat untuk mereka di Palestina adalah darah.
Saya tidak mampu mengangkat senjata menyelamatkan nyawa agar saudara-saudara saya di sana tidak tertembak, tapi saya yakin dengan tetesan darah yang terkumpul bisa menyelamatkan mereka yang terluka. Walau saat proses pengambilan darah itu ada yang pingsan tak sadarkan diri sementara, tapi itu tidaklah berarti jika di sana ada orang yang menjadi tak sadarkan diri selamanya karena butuh tambahan darah.
Justru memberi sekantong darah walau cuma berisi lima ratus mili liter itu, sama halnya memberi satu kehidupan. Artinya kita telah menghidupkan seluruh orang yang ada di dunia. Bukankan darah sangat berharga bagi seseorang. Yang berharga biasanya lebih dicintai. Dan sebaik-baik sumbangan adalah menyumbangkan harta yang kita cintai. Dengan begitu akan tercapailah apa yang disebut kebajikan.
Allah swt berfirman: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. 3:92)
18 Muharam 1430 H