Mobil kami semakin melambat.
“Mampir sebentar ya, mau menyapa teman. ”
Bhe langsung merapatkan mobil ke bibir jalan di depan Rumah Sakit Sragen.
Tak lama beberapa suara langsung protes. Bagaimana tidak, seharian tadi kami berkeliling Taman Wisata Tawang Mangu (sekitar 30 km dari kota Solo) untuk mencari tempat yang tepat buat out door training. Merasa tidak puas, perjalanan berlanjut ke atas, melewati bukit-bukit hutan Cemoro Sewu yang segar. Kelokan yang tak terhitung hingga tanjakan 34% sepanjang 5 km yang membuat kampas mobil terbakar dan kami berhenti untuk mendinginkan mesin.
Lalu sampailah kami ke Telaga Sarangan. Telaga ini juga disebut Telaga Pasir, berada di kaki Gunung Lawu, berjarak sekitar 16 km (arah barat) dari Kota Magetan, Jawa Timur. Luasnya sekitar 30 hektar dengan kedalaman 28 meter, udaranya sejuk dengan suhu 18-25 derajat celcius.
Mengingat rem kendaraan telah gosong, kami memutuskan menggunakan jalur perjalanan memutar menelusur kota-kota di Jawa Timur. Perlu sekitar lima jam lagi untuk sampai ke Yogya. Dan saat itu sudah pukul delapan malam.
Semua muka terlipat, antara protes dan pasrah. Bhe satu-satunya yang bisa nyetir. Dia melanggang tanpa melirik ekspresi isi mobil, “Maksimal sepuluh menit. ” Katanya sambil menutup pintu mobil. Lalu saya berlari mengejar, “Ikut, Bhe!”
Ah, easy. Bhe selalu menepati kata-katanya. Sepuluh menit tidak terlalu signifikan untuk mengejar malam. Saya tidak boleh melewatkan ini. Saya kenal Bhe. Setengah berlari –tentu saja untuk merealisasikan janji sepuluh menit itu– Bhe menjelaskan siapa yang akan dia temui.
“Beliau seorang dokter. Waktu saya kecelakaan di kota ini, saya sempat jadi tahanan polisi, menikmati jeruji besi gitu. Bu dokter itu yang membantu meluruskan persoalan. Alhamdulillah, di kota ini masih ada orang bijaksana. Makanya saya ingin bertemu, sekedar say hello. ”
Dan ketika kami bertemu dengan Bu Dokter. Bhe benar-benar hanya bertanya kabar dan sedikit bercerita tentang perjalanan kami seharian. Lalu kamipun pamitan.
“Udah?” tanya teman-teman kaget, “Kok cepet amat, ngapain sih?”
Saat itu rasanya saya sangat bahagia. Saya melihat Bhe yang berbinar. Kami senyum-senyum saja. Teman-teman sepertinya jadi penasaran.
Kali lain, masih dalam edisi perjalanan dengan Bhe dan kijangnya. Waktu itu kami ke Jakarta, hendak ikut pameran di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Sudah saya siapkan uang untuk biaya penginapan kami bertujuh. Bhe malah mengusulkan untuk menginap di rumah Teteh Pipit Senja, seorang penulis kenalan kami yang tinggal di Depok, tak jauh darikampus UI.
“Masak udah jauh-jauh ke sini kita nggak mampir. Nginep sana aja. Biar saja merepotkan. Yang penting kita semua bisa silaturahim. Pasti lebih banyak manfaatnya. Uang penginapan buat beli oleh-oleh aja. ”
Betul. Sepulang dari rumah Teh Pipit yang mendadak menjadi sempit karena kedatangan kami, justru hati kami terasa semakin lapang. Satu pengalaman hidup telah kami kantongi, menguatkan kecintaan di antara kami. Meluaskan wawasan dan cakrawala berfikir kami. Tentu ini tak kan kami dapatkan dari penginapan. Semalaman kami menekuri kisah manis keluarga penulis ini. Subhanallah. Bahkan uang yang sedianya untuk oleh-oleh itu juga masih utuh. Kami tak bisa menolak ketika teman-teman yang tinggal di Jakarta mengirimkan berbagaitanda cinta.
Sepanjang perjalanan menuju UI Depok hari berikutnya semua seperti sepakat, diam merenungi apa-apa yang telah kami maknai sepanjang malam hari. Tak henti-hentinya kami bertasbih, sambil masing-masing teman mengaku tanpa malu, atas semua hikmah yang diraihnya hari itu. Silaturrahim memang mengalirkan rizqi.
Pada kesempatan lain, inilah sebenarnya saat pertama saya belajar sesuatu yang bermakna dari Bhe. Waktu itu saya selesai prosesi wisuda. Beberapa teman yang menunggu saya, berkumpul di pelataran Perpustakaan Pusat UGM, reriungan bersama keluarga saya. Saat itulah Bhe berbincang dengan bapak saya. Dan tahulah kami bahwa Bhe ini cucu dari kakek kami yang selama ini hanya saya kenal nama dan tempat tinggalnya tanpa pernah sekalipun saya berkunjung ke sana.
Malulah saya saat itu karena saya ternyata tak pintar menjaga ikatan silaturahim keluarga besar. Ya, silaturrahim. Rupanya Bhe sangat paham bagaimana mendapatkan barakah Allah dari aktivitas sederhana ini. Ketika Bhe jalan-jalan bersama teman-temannya ke pantai dekat rumah saya, dia sering menitipkan mobilnya atau sekedar mampir menyapa orang tua saya, meski saat itu saya tidak di rumah.
“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diperbanyak rezekinya, hendaklah dia berbuat baik kepada kedua orang tuanya dan bersilaturahmi (menyambung tali persaudaraan). ” HR Ahmad.
Yogyakarta, 7 Juni 2007 “Bhe & Indah, selamat menimang buah hati, semoga menjadi keluargayang shalih. ”