Namanya, sebut saja pak P. Saya mengenal lebih jauh tentang dia, ketika kami sama-sama menjadi pengurus RT. Dia menjadi sekretaris, saya menjadi bendahara. Umurnya selisih sekitar 10 tahun lebih tua dari saya.
Sebelumnya, saya hanya sebatas kenal saja, dan belum familiar, walaupun sudah lama tinggal satu RT. Lagi pula saya selalu canggung jika tanpa ada kepentingan apa-apa mengetuk pintu rumahnya. Maklum, di lingkungan kami, ia termasuk ke luarga orang-orang kaya dan terpengaruh.
Sejak bernaung satu atap dalam organisasi ke-RT-an, ahirnya saya lebih tahu bahwa ia ternyata ikut berbagai macam organisasi. Dari kepemudaan, sosial, ekonomi bahkan ia juga mengurusi organisasi kematian.
Saya banyak belajar kepada dia tentang menejemen, karena ia memang pernah lama bekerja di sebuah bank swasta. Saya juga banyak belajar tentang kesehatan dan pengobatan altenatif padanya, karena dia cukup menguasai di kedua bidang itu.
Beberapa waktu lalu, ia mengumumkan dirinya mengikuti bursa calon kepala desa. Secara pribadi saya senang sekali. Sebab desa saya butuh pemimpin yang muda, energik, punya pandangan ke depan yang baik, akses untuk ke luar daerah lebih menguasai, dan tentu saja berwawasan cukup luas.
Suatu siang, saya bersilaturrahmi kepadanya. Selama hampir setengah jam saya ngobrol dengan dia. Banyak yang kami bicarakan. Saya dengan semangat mendengarkan pandangan-pandangan brilian dia.
Dari begitu banyak yang kami obrolkan, ada satu kalimat yang selalu terngiang di telinga saya: “Saya tak punya modal materi berjuta-juta untuk mencoba jadi kades ini, Mas. Modal saya hanya sejuta saja.”
Pikiran saya langsung terbang jauh ke mana-mana. Sejuta? Wah, secara otomatis yang tergambar dalam pikiran saya adalah materi, yang tak ada lain adalah uang. Pengalaman yang lalu, menurut informasi yang saya dengar, untuk menjadi kades saat ini paling tidak harus mempunyai uang lima puluh juta, bahkan ada yang lebih.
Lantas bagaimana dengan teman saya itu? Saat saya masih terbengong-bengong, dia menerangkan bahwa sejuta itu bermakna: Senyum, serius, jujur dan takwa.
Senyum bermakna jika kalah, ia siap mengakui kenyataan dan ‘legawa’ alias ikhlas, tak akan ada niat untuk dendam dengan siapapun. Ia tetap akan menebar silaturrahmi dan menjalin kebersamaan. Serius, dia akan mengupayakan sebaik mungkin potensi yang ada pada dirinya demi kepentingan rakyat bersama. Jujur, ia akan bertindak dengan hati nurani dan tak akan membohongi diri sendiri apalagi sesama, termasuk memanipulasi suara. Takwa, tentu ia akan bertindak sesuai dengan koridor syariat-Nya.
Saya hanya bisa senyum. Terbersit dalam hati, mudah-mudahan ia bisa mewujudkan modal itu dan kelak jika ia terpilih jadi kades, bisa menjadi pemimpin yang amanah. Bukan pemimpin yang sibuk mengembalikan modal, karena sudah terlalu banyak rupiah yang disebarkan secara illegal kepada warga saat perolehan suara.
Terus terang saja, kami orang kecil ini sedang menunggu datangnya pemimpin yang amanah. Yang karena berkah amanahnya itu bisa menjadi terbentuknya sebuah tempat, negri yang ‘baldah thayyibah’, yang penuh ampunan dari Allah. Sehingga sedikit demi sedikit kita bisa menemukan apa itu kesejahteraan. Semoga teman saya itu bisa memulainya.
***
Purwokerto, Feb 07 <[email protected]>