Beberapa waktu silam, seorang teman berkunjung ke rumahku untuk silaturrahim. Diantara sekian banyak obrolan terselip curhatannya kepadaku tentang anaknya. Hatinya gundah akan kata-kata yang dilontarkan anaknya.
Ceritanya, pada suatu hari anaknya tidak kunjung pulang menjelang senja, padahal waktu itu sedang hujan deras. Cemas. Tentu saja, ibu mana yang tidak cemas. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya, pulanglah si anak dengan baju yang basah dan juga kotor penuh tanah. Sang ibu marah kepada anaknya. Mungkin sang ibu marah dengan “dahsyatnya”, sehingga begitu takutnya si anak pada ibunya, maka ketika sang ibu menjulurkan tangannya untuk membantu melepaskan bajunya yang kuyup, si anak serta merta mengangkat tangan melindungi tubuhnya, mengira akan dipukul. Untuk moment ini sang ibu juga terkejut.
Bergegas sang ibu menyiapkan air hangat untuk mandi si buah hati. Dan selanjutnya melakukan aksi tutup mulut untuk memperlihatkan bahwa ia masih marah. Rupanya si anak tidak tahan dengan aksi bisu sang ibu.
Si anak bertanya, ”Ummi masih marah?”
Dijawablah pertanyaan si anak dengan deheman. “HMMM!”
Si anak melanjutkan, ”Begitu aja marah, makannya kalau belum siap pakai jilbab, ga usah pake, mending belajar dulu.” (Alhamdulillah belum lama, atas hidayah-Nya, sang ibu dapat menutup auratnya secara sempurna)
Sang ibu terkejut dengan kata-kata anaknya. Pikirannya campur aduk. Dia tidak bisa marah atas “kelancangan” anaknya. Bisa jadi anaknya benar, pikirnya di satu sisi. Tapi, mentang-mentang pake jilbab, emang nggak boleh marah, pikirnya di sisi lain. Berlalulah malam itu dengan hati sang ibu yang dipenuhi kegelisahan. Tetapi kata-kata anaknya itu, cukup membuatnya merenung.
***
Mendengar ceritanya, aku tersenyum. Kemudian kutanyakan, ”Memang, kenapa ummi Daffa waktu itu sampai marah sama Daffa?”
“Ya, iyalah marah. Kitanya di rumah cemas nungguin, ga tahunya main bola. Trus pulang senyum-senyum kaya ga ada apa-apa. Diakan udah besar, udah 10 tahun, mustinya ngerti, udah dibilangin berulang kali jangan main hujan-hujanan, nanti sakit. Tetep nekad main hujan-hujanan.” Jawabnya.
“Memangnya, kalau mandi hujan pasti sakit?” tanyaku.
“Ya, enggak juga, tapi kalo beneran sakit, yang repotkan aku-aku juga.” Jawabnya lagi.
***
Mulanya hanya ada rasa cemas di hati sang ibu, kemudian berubah menjadi kekesalan karena anaknya pulang senyum-senyum seperti tidak ada apa-apa, sementara sang ibu sudah bercemas ria. Maka berakhirlah dengan kemarahan sang ibu karena membayangkan anaknya akan sakit yang kemudian membuat sang ibu jadi repot.
Sementara si anak kaget ibunya marah, tidak menyangka, mengapa ibunya marah padahal dia merasa bahagia?
Main bola di saat hujan sangat mengasyikkan bagi si anak (jangankan anak-anak, orang dewasapun merasakan keasyikan yang sama), dan itu membuatnya merasa bahagia. Tidakkah kita ingin berbagi kebahagiaan dengan anak-anak kita?
Kisah diatas merupakan contoh kecil dari begitu banyak peristiwa yang terjadi dalam interaksi antara kita dan anak-anak kita tiap harinya. Kemarahan kita memuncak hanya karena hal-hal yang sepele,…anak memecahkan piring atau mengotori baju baru yang kita belikan dll.
Memang sebagai seorang ibu kita dituntut memiliki kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi anak-anak kita,… Inilah pentingnya menarik nafas panjang ketika kemarahan memuncak, agar kita dapat berpikir ulang, perlukah kemarahan ini? Tepatkah? Adakah cara yang lebih bijak agar kita dapat melampiaskan kekesalan kita tanpa merusak kebahagiaan anak-anak kita?
Tentu saja ini bukan hal yang mudah, perlu latihan yang kontinyu. Kemudian kepada Si Ibu tersebut saya menganjurkan agar dia membuat program harian, diantaranya adalah mencanangkan hari tidak marah. Maka, pada hari yang telah dipilihnya, dia tidak boleh marah sama sekali pada hari itu, dia harus sekuat tenaga berusaha menahan diri untuk tidak marah (kecuali pada hal-hal yang melanggar batas-batas keharaman yang telah disyariatkan Allah tentunya).
Mulanya 1 kali seminggu, ditingkatkan per dua hari sekali, lama-lama menjadi tiap hari,…maka pada akhirnya, sekiranya kita istiqomah dengan latihan ini, kita akan lebih dapat mengendalikan amarah kita,…dan insya Allah dengan kesungguhan hati, kita dapat menjadi lebih sabar dalam menyikapi segala hal.
Berdasarkan testimony dari si Ibu tersebut, dia mengatakan, pada hari pertama dia mencobanya,…masya Allah, rasanya ada saja ha-hal yang membuatnya marah, dia gagal di siang harinya,…kemudian dia coba lagi dan coba lagi,…dan saat ini masih terus mencoba. (Saya sendiri juga masih dalam taraf latihan tentunya)
Setidaknya ada 4 hal yang dapat kita jadikan panduan ketika kita memutuskan untuk marah;
- Lakukan dengan alasan yang tepat (Anak tidak shalat, misalnya)
- Lakukan dengan cara yang tepat (Dengan pilihan kata yang bijak, tidak kasar,…tegas tetapi berkesan lembut tapi maksud kita sampai)
- Lakukan di saat yang tepat (Suasana hati kita dan anak kita sedang enak,…kita maupun anak tidak dalam kondisi lelah atau lapar,..dll)
- Lakukan di waktu yang tepat (Jangan dihadapan orang lain,..ketika anak sedang berkumpul dengan teman-temannya misalnya)
Mudah-mudahan Allah mengaruniakan kepada kita semua kesabaran yang lebih agar kita dapat mendidik dan mengasuh anak-anak kita tanpa diwarnai kemarahan yang tidak perlu. Amiin.
Ummu Ali