"Von wo?" Mulanya saya tidak cukup mengerti maksud pertanyaan ini. Maka saya agak mendekat ke arah beberapa remaja putri yang mengenakan berbagai atribut Palestina. "Von welcher Zeitung?" Dari surat kabar apa?, tanya salah satu dari mereka. Aha, barulah saya mengerti maksudnya. Karena saya sejak beberapa waktu lalu, jepret sana jepret sini mengambil foto, ia mengira saya sedang mengabadikan aksi hari itu untuk sebuah surat kabar. Sambil tersenyum saya menjawab, ini untuk saya pribadi, saya juga seorang muslim, dari Indonesia. Mungkin akan saya kirim juga berita ini ke saudara-saudara di sana, tambah saya. Mereka tampak puas.
Dua atau tiga kali lagi saya memperoleh pertanyaan serupa selama acara aksi demonstrasi untuk menunjukkan solidaritas kepada bangsa Palestina ini. Aksi ini adalah yang pertama saya ikuti di kota Berlin. Sekitar 2.000 orang berkumpul di hari Sabtu, 8 Maret 2008 itu dan dan siap berarak menyusuri Kurfurstendammi, sebuah jalan ternama di kota Berlin yang menjadi daerah wisata belanja.
Sambil menunggu arak-arakan memperoleh aba-aba berjalan, saya bergerak ke sudut-sudut lain untuk mengabadikan kumpulan saudara-saudara kita yang ingin menunjukkan kepeduliaannya atas derita saudara kita yang lain di bumi Palestina. Sebuah pemandangan yang cukup menggetarkan hati saya. Betapa tidak, di Jerman ini, kaum muslimin hanyalah minoritas dan kecurigaan pemerintah atau masyarakat Jerman atas aktifitas mereka masih tetap besar karena berbagai isu terorisme dan semacamnya. Sementara itu, yang menjadi sasaran aksi demo ini adalah Israel, negeri kaum Yahudi, yang di Jerman ini memperoleh perlakuan istimewa sebagai tebusan rasa bersalah atas tindakan Hitler dan Nazinya di masa lalu.
Tak sedikit anak-anak yang mengikuti aksi ini. Mereka membawa rangkaian bendera Palestina, poster-poster bergambar anak-anak yang menjadi korban serangan Israel, dan ada juga yang menorehkan sapuan warna bendera Palestina berbentuk cinta di pipinya.
"Bruder, weisst du was here passiert?" Seorang peserta aksi mengira saya tidak mengerti untuk apa aksi itu. Dasar tampang saya bukan arab, dan dari tadi memotret sana sini, disangka wartawan kembali deh, pikir saya. Setelah saya jelaskan saya muslim dari Indonesia, ia langsung menyalami, ahlan wa sahlan, dan menyapa dengan kata Bruder, saudara. Dia menanyakan bagaimana sikap saudara-saudara di Indonesia dengan kondisi Palestina. Saya mesti mengumpulkan terlebih dahulu kosa kata bahasa Jerman yang sering bersembunyi jauh di dalam lipatan otak saya. "Traurig", sedih, hanya itu yang bisa saya temukan. Ia manggut-manggut. "Jika nanti Palestina merdeka, kalian bisa bebas mengunjungi Baitul Maqdis, insyaallah", timpalnya.
Terasa sekali hangatnya sambutan saudara-saudara kita ini. Begitu spontan dan tanpa basa-basi.
Saya hanya bisa membayangkan betapa pedih, dan sedihnya mereka, yang tidak sedikit adalah juga para pengungsi dari Palestina atas berbagai serangan, pembantaian, dan blokade yang terus terjadi di bumi kiblat pertama kaum muslimin ini. Tangan-tangan mereka tidaklah terlalu panjang untuk bisa mencegah semua bencana kemanusiaan itu. Mungkin sejauh dengan cara aksi demo semacam ini saja mereka bisa berbuat sebagai warga Jerman. Namun paling tidak mereka bisa menunjukkan kepedulian atau mungkin bisa menggugah kepedulian warga Jerman lainnya. Mereka telah berbuat sesuatu, menunjukkan bahwa mereka tetaplah bagian dari kaum muslimin yang bersaudara.
"Augen auf, augen auf!", buka mata, bukalah mata! Teriak mereka. "Schweigen hilft nicht", diam tidak membantu, tertulis di beberapa poster.
Astaghfirullah, saya teringat sudah berapa lama mulut saya tidak lagi merangkai doa, sekedar doa, untuk saudara-saudara kita di Palestina.
Berlin, 09 Maret 2008