Saat menjadi konsultan teknologi informasi di salah satu rumah sakit di Jakarta, saya sempat bersahabat cukup akrab dengan wakil direktur di rumah sakit itu. Masa-masa awal mengenalnya, beliau adalah seorang perokok berat. Meski bekerja di rumah sakit, pernah menjadi perawat, dan sangat mengetahui bahaya merokok, semua itu tidak menggerakkan hatinya untuk berhenti merokok.
(Saya jadi teringat kata-kata Imam Ghazali, di dalam kitabnya, Yaa Walad, beliau mengatakan, semata-mata dengan ilmu tidak akan menyelamatkanmu dari kemaksiatan).
Sampailah suatu ketika Allah berkenan memanggilnya ke baitullah. Tiba-tiba muncul tekad di hatinya untuk berhenti merokok. Beliau bercerita, di asrama haji Pondok Gede, beliau menghabiskan dua batang rokok berturut-turut, dan berjanji bahwa itu adalah rokok terakhir. Sepulang dari tanah suci, beliau memenuhi janjinya, berhenti total merokok.
Cerita yang mirip saya dengar dari seorang sahabat saya yang programmer komputer. Umumnya programmer adalah perokok berat. Aktifitas coding mereka biasanya ditemani sebatang rokok dan secangkir kopi kental (dan alunan musik keras). Namun, sahabat yang pernah bekerja di Radnet dan Astaga. Com ini memutuskan untuk berhenti merokok. Tidak mudah, mengingat lingkungan yang tidak kondusif.
Salah satu kiatnya adalah dengan rajin lari pagi. Ternyata, setelah beberapa waktu, beliau merasa setiap kali tergoda dan mencoba merokok, malah merasa mual. Akhirnya kenikmatan dan keinginan untuk merokok hilang sama sekali. Walhasil, beliau say goodbye to rokok.
Pembaca yang disayangi Allah. Saya teringat kedua cerita di atas tatkala membaca uraian Syekh Ibn Athaillah tentang taubat. Di buku beliau Pencerah Kalbu (yang merupakan terjemahan dari kitab Bahjat al-Nufus dan Miftah al-falah wa mishbah al-Arwah) terdapat kata-kata berikut,
Seorang bertanya kepada Rabi’ah al-Adawiyah, “Aku telah sering berbuat dosa dan menjadi semakin tidak taat. Tetapi, apabila aku bertobat, akankah Allah mengampuniku?”
Rabi’ah menjawab, “Tidak, tetapi apabila Dia mengampunimu, maka engkau akan bertobat. ”
Sejenak saya dibuat bingung dengan pernyataan tersebut. Namun kalimat-kalimat Syekh Ibn Athaillah selanjutnya memberikan penjelasan,
Jika tobatmu diterima, yang tandanya engkau merasa lapang ketika melakukan ketaatan, serta cenderung kepada negeri akhirat, bergembiralah dan bersyukurlah kepada Allah atas karuniaNya.
Namun jika tobatmu belum diterima – yang tandanya engkau masih menikmati maksiat dan masih merasa senang dengannya – minta tolonglah kepada Allah dan ucapkanlah,
“Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan tidak menyayangi kami, pastilah kami termasuk golongan orang-orang yang rugi. ” (QS. Al-A’raf [7]: 23).
Jadi, tanda paling mudah mengenali diterima-tidaknya tobat adalah apabila kita mampu meninggalkan sama sekali hal-hal yang memang ingin kita tinggalkan, dan merasa lapang dalam menjalankannya. Sebaliknya, kalau kita masih menikmati maksiat dan merasa lapang dengannya, itu pertanda Allah belum mengampuni permohonan ampun kita.
Kedua orang sahabat saya yang menjadi contoh di awal tulisan ini agaknya telah merasakan nikmatnya tobat. Mereka berhasil meninggalkan kebiasaan buruk (boros, merusak kesehatan, kotor, mengganggu orang lain dan menebar penyakit ke orang lain, ketergantungan), merasa lapang ketika meninggalkan kebiasaan tersebut.
Tobat memang nikmat. Hal ini akan sangat tampak jika kita kontraskan antara mereka yang teah bertobat dengan mereka yang masih belum mampu meninggalkan kebiasaan buruk.
Ada contoh kecil tentang hal ini. Ketika beberapa orang teman programmer dari perusahaan lain datang berkunjung, mereka dibuat takjub campur gelisah mengetahui di kantor kami tidak ada yang merokok.
Dibuat takjub karena mereka belum pernah menemukan kantor IT yang bebas asap rokok. Dibuat gelisah, karena mereka tak tahan berpisah lama dari rokoknya. Dalam hati saya prihatin campur syukur. Saya bersyukur karena Allah melindungi kami dari ketergantungan yang tidak seharusnya.
Teman saya yang sudah berhasil meninggalkan rokok tidak perlu gelisah jika selesai makan siang tidak mengantongi rokok di sakunya. Uangnya juga lebih utuh. Kalau selama ini dalam sehari ia biasa menghabiskan lima ribu rupiah untuk rokok, dalam sebulan ia bisa menghemat seratus lima puluh ribu rupiah! Cukup untuk membeli sepuluh dus susu untuk anak-anaknya. Selanjutnya, anggaran susu bisa ia alokasikan untuk berinfaq, atau hal lain yang lebih berguna.
Itulah sebagian dari nikmatnya tobat.
Rokok adalah contoh kecil yang sering kita temui di masyarakat. Sebagian ulama menganggap makruh, sebagian lagi menilainya haram. (Namun tak ada yang menganggapnya sekedar mubah alias boleh-boleh saja). Kita dapat menemukan contoh-contoh lain pada diri kita sendiri. Tidak perlu menilai orang lain. Tanggung jawab utama kita adalah pada diri sendiri. Juga jangan menunda-nunda. Sebab menunda adalah salah satu dari perangkap setan.
Sabruljamil. Multiply. Com