Saya seringkali mendapati pendapat-pendapat miring tentang profesi ‘ibu rumah tangga’. Bagaimanapun sepertinya banyak orang yang berpendapat bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan sebuah pilihan terpaksa yang harus diambil oleh seorang perempuan ketika ia ‘terjebak’ dalam aktivitas rumah tangga, tidak memiliki profesi lain, dilarang bekerja oleh keluarga atau oleh suami, dan seterusnya. Sehingga muncul stigma negatif tentangnya.
Terus terang, dulu saya menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki pendapat negatif tersebut. Tepatnya, sekadar ikut-ikutan tanpa pernah mendalami maknanya. Saya hanya beranggapan, bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga artinya berdiam diri di rumah hanya mengurusi hal-hal yang itu-itu saja, dan seterusnya. Kadang, kita memang sering terlarut dengan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Namun setelah menjalaninya, pikiran saya berubah.
Seorang teman kuliah saya pernah menuliskan dalam sebuah situs pribadi bahwa profesi yang ia geluti sekarang adalah: a housewife. Seorang ibu rumah tangga. Awalnya saya hanya mengerenyit membacanya, sebab pada saat itu saya belum menikah dan sedang asyik-asyiknya menjalani pekerjaan saya. Seorang teman saya yang lain, ia seorang penulis, meyakinkan saya dengan ceritanya tentang kesehariannya yang mengurusi kelima orang anaknya dan dalam kondisi seperti itu ia produktif menerbitkan buku. Di tempat tinggal saya sekarang, ada seorang janda yang memiliki lima orang anak, ia tidak bekerja pada sebuah perusahaan manapun, tetapi memiliki keterampilan memasak yang akhirnya menjadi salah satu peluang mendapatkan rezeki, dan sekarang ia malah sedang menekuni kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta.
Dan kemudian saya merenungkan jalan hidup yang dilakoni ibu saya tercinta. Seseorang yang mungkin bisa dikatakan merelakan banyak hal pergi dari dirinya demi keluarganya. Begitu banyak yang ia korbankan. Seseorang yang sangat supel, gigih dalam meraih sesuatu, luwes, punya banyak ide kreatif, terampil dalam berbagai hal. Ibu saya sejak dulu bisa dibilang selalu sukses menjual segala macam hal, baik itu buatan sendiri maupun tidak. Semua orang mengenalnya sebagai seseorang yang luwes dalam berdagang, dan kenyataannya, keterampilannya tersebut memberinya kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri, menyekolahkan saya dan adik saya, dan ia mampu bertahan dalam situasi sesulit apapun. Mengagumkan, bukan?
Ketika akhirnya saya menikah, saya sedang berada dalam keasyikan menekuni pekerjaan yang sangat saya sukai di sebuah perusahaan. Waktu berlalu, dan pikiran untuk memiliki anak mulai sering menghampiri saya dan suami tentunya. Kebetulan saya termasuk seseorang yang selalu memikirkan segala sesuatu dengan detail, merencanakannya, baru memutuskannya. Dan saya waktu itu mulai berpikir serius, apakah ketika saya nantinya memiliki anak akan terus bekerja atau tidak? Apakah saya akan membayar seorang babysitter untuk mengurus anak-anak saya di rumah dan saya tetap bekerja? Bagaimana dengan rencana saya untuk mengurus anak-anak saya sendiri? Dan, memiliki seorang pembantu rumah tangga, benarkah itu yang saya inginkan?
Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan saya, dan mengejar mimpi saya untuk menjadi seorang penulis. Bercermin pada beberapa orang teman penulis yang menjadikan ‘menulis’ sebagai profesi, kemudian bahkan bisa menghidupi diri sendiri serta keluarga dari profesi tersebut, saya mulai merajut mimpi itu dan menjadikannya kenyataan. Tentu keputusan ini bukan tanpa pemikiran terlebih dulu. Tentu saya pun mengukur kemampuan diri dan suami untuk memutuskan hal ini. Suami sangat mendukung, dan ternyata Allah SWT memang memberikan jalan ini sebagai salah satu pintu rezeki bagi saya.
Dan inilah saya, dengan profesi baru saya sebagai ibu rumah tangga yang bisa menulis. Dua tahun ini, saya banyak merenungkan hal ini, dan kemudian berkembanglah pikiran-pikiran positif tentang profesi sebagai ibu rumah tangga. Toh, memutuskan untuk berada di rumah dan sepenuhnya mengurus rumah tangga bukan berarti menjadi halangan bagi kreativitas diri untuk berkembang. Apalagi jika kita bisa mensiasati waktu untuk bisa menggali potensi diri, mengembangkannya, dan bahkan akhirnya mencari penghasilan sendiri dari rumah. Seorang ibu rumah tangga yang pandai berdagang, seorang ibu rumah tangga yang punya bisnis sendiri di rumah, seorang ibu rumah tangga yang pandai menulis, seorang ibu rumah tangga yang pandai berkebun dan akhirnya melakukan sesuatu dengan keterampilan itu, dan seterusnya. Bukankah banyak sekali hal yang bisa kita lakukan dari rumah?
Pikiran-pikiran tersebut akhirnya menjadikan saya lebih bersemangat menjalani hari-hari bersama keluarga kecil saya. Kepercayaan diri saya meningkat, dan bahkan saya makin produktif menulis. Kegembiraan ini sedapat mungkin saya tularkan pada mereka yang sering mengeluhkan hal serupa pada saya. Yang merasa tak bisa berbuat apa-apa atau kadang jenuh beraktivitas rutin di rumah. Pengalaman saya berumah tangga memang baru seumur jagung, tetapi semangat yang saya punya, boleh lah ditularkan kepada yang lain.
Ketika saya kemudian menghadapi beberapa anggota pengajian yang saya tangani yang berprofesi sebagai karyawati perusahaan, saya menjadikannya bahan tambahan bagi perenungan saya. Beberapa orang menginspirasi saya, dan beberapa yang lain membuat saya merenung lebih dalam. Seseorang di antara mereka memiliki tiga orang anak, dua di antaranya sudah bersekolah. Ia kadang mengantar jemput sendiri anak-anaknya, memasak sendiri makanan di rumah, dan teratur menelpon ke rumah untuk mengontrol kondisi anak-anak dengan pembantu rumah tangga yang menjaganya, ketika pulang ia tekun mendampingi anak-anaknya belajar.
Bagi saya, seseorang seperti yang saya contohkan di atas adalah seorang perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan kebetulan bekerja pada sebuah perusahaan. Ia tidak mengkonsentrasikan diri untuk bekerja saja, tetapi bisa dikatakan melakukan keduanya dengan sama baiknya. Memang ada lebih kurangnya, tetapi tetaplah ia melakukan kebaikan dengan menjalaninya dengan ikhlas dan penuh senang hati.
Rumit sekali jika harus mendebat ini-itu tentang hal ini. Saya hanya tak ingin kita terjebak pada profesi A atau B yang lebih mulia dan ‘bergengsi’, lalu akhirnya mengecilkan yang lainnya. Sepertinya melakukan hal-hal tersebut malah akan mengurangi keikhlasan dari yang sedang mengamalkannya.
Menjadi seorang ibu rumah tangga saja, atau yang didampingi dengan profesi lainnya, tetaplah ia sebuah pekerjaan yang mulia. Dan bagi yang mengerjakannya dengan ikhlas sepenuh hati, baginya ganjaran kebaikan yang telah dijanjikan Allah SWT. Subhanallah …
DH Devita
Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Sengata