Tadi malam kami sekeluarga baru tiba dari sebuah perjalanan yang sangat jauh. Perjalanan itu sangat melelahkan karena kondisi jalan banyak yang tidak sesuai harapan. Jalannya banyak berlubang dan bergelombang. Belum lagi banyak pengemudi kendaraan yang sering kali tidak memerhatikan kesopanan berlalu-lintas.
Saat keberangkatan, hati saya sangat mantap untuk menjalani perjalanan ini. Walaupun saya tahu, perjalanan yang akan saya jalani akan meminta banyak pengorbanan. Pengorbanan tenaga, waktu dan dana. Semuanya saya ikhlaskan karena tahu perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang saya tahu akan membuat kami sekeluarga gembira. Tujuan kami memang untuk mengisi liburan anak-anak dan sekaligus bersilaturahim pada keluarga di kota lain yang sedang berduka.
Saat di dalam perjalanan itulah, saya merenung tentang hidup ini. Hidup yang harus tetap saya jalani, baik suka atau pun tidak. Kehidupan yang akan tetap pada porosnya, sesuai pengaturan sang Ilahi. Kehidupan yang bisa diandaikan sebuah perjalanan yang akan berakhir pada sebuah muara, yaitu kematian.
Kematian memang sebuah kepastian. Tapi saya merasakan sebuah ketakutan, bila saatnya datang. Ketakutan yang berdasarkan pada pribadi saya yang jauh dari yang di harapkan. Sebuah ketakutan yang akhirnya membuat saya harus berpikir ulang tentang semua prilaku dan misi saya dalam mengisi hidup.
Saya merasakan perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang berbeda dari sebelumnya. Perjalanan ini penuh dengan gejolak sisi ruhiyah. Perjalanan yang mampu membuatku melihat semua sisi kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya renungkan.
Saat singgah di sebuah warung makan. Saya melihat beberapa pelayan yang menyediakan makanan sangat ramah. Pelayan-pelayan itu ada wanita dan pria. Semuanya bersemangat untuk melayani permintaan kami. Padahal saya tahu mereka kelelahan. Karena tempat mereka bekerja memang sebuah warung makan yang terkenal untuk si singgahi para musafir yang membutuhkan tempat mengisi perut dan meluruskan punggung.
Saya lama memerhatikan mereka. Mereka, para pelayan itu tidak di gaji sesuai dengan gaji lokal. Maklum saja, karena mereka khusus di datangkan dari pulau seberang, agar pengeluaran untuk membayar pelayan dapat ditekan serendah mungkin. Jadi mereka menerima bayaran yang sangat minim, itu menurut saya. Tapi dengan imbalan yang minim itu mereka tetap bersemangat. Mereka bersemangat karena tahu, di kampung mereka, akan sangat sulit mendapatkan pekerjaan seperti saat ini. Saat bekerja inilah mereka tahu, bahwa mereka tak perlu risau tentang : “Apa yang akan mereka makan setiap harinya?” Dapat di maklumi, mereka seringkali kelaparan saat masih bersama orang-tua mereka. Selain itu mereka dapat membantu keluarga mereka di kampung dengan cara mengirim hasil kerja mereka. Mereka termasuk orang-orang yang bersyukur atas apa harus mereka jalani.
Saat tiba di sebuah pusat perbelanjaan, saya juga melihat seorang petugas kebersihan. Dia seorang wanita. Badannya sedikit ringkih, dari penampilannya sangat kelihatan dari sebuah keluarga pra sejahtera. Tapi dia tak pernah sejenak pun terlihat menghela napas saat menyapu lantai. Padahal para pengunjung sangat padat. Dia tak kelihatan lelah untuk berputar-putar di lokasi kerjanya yang lumayan luas, untuk membuat lokasi itu tetap bersih. Sebuah semangat yang di adakan karena yakin pekerjaan yang di lakoninya akan mendapatkan sebuah imbalan. Sebuah imbalan yang akan menyambung kehidupan diri dan keluarganya. Sebuah pengharapan yang membuatnya tetap ikhlas dalam menjalani semua hari-harinya.
Hikmah perjalanan yang saya dapat lain pula. Karena pada perjalanan ini, membuat saya dan keluarga sangat kelelahan untuk menempuhnya. Kelelahan yang kami dapatkan, memang telah kami perhitungkan. Sebuah perhitungan dengan membandingkan antara pengorbanan dan kenikmatan yang akan kami dapatkan.
Perjalanan itu adalah sebuah perjalanan hidayah bagiku, hingga membuatku tercerahkan. Karena saya melihat tujuan perjalanan yang harus melelahkan ini, akan bermuara pada sebuah kenikmatan. Maka saya pun menarik garis lurus dengan perjalanan waktu yang telah di sediakan Allah Swt. Yang harus saya isi dengan tujuan yang lurus, walaupun saya tahu akan banyak gelombang kehidupan, riak-riak kesedihan dan pengorbanan perasaan dan dana untuk mencapai kenikmatan yang telah di sediakan oleh sang Pengasih.
Memang dalam hidup ini kita selalu ingin berada pada posisi yang nyaman. Materi melimpah, kesehatan yang selalu prima, jabatan yang tinggi, dan banyak hal lainnya yang semuanya berujung pada sebuah kata : “Tak ingin sengsara.”
Tapi haruskah kita mengisi hidup dengan hal-hal yang hanya menyenangkan raga? Haruskah kita hanya mengejar materi? Jabatan? Kenapa kita hanya ingin mengisi perjalanan hidup dengan hanya sebuah perjalanan yang harus selalu menyenangkan bagi kita? Sementara kita di rancang oleh Allah Swt. sebagai makhluk Rahmatan lil’alamin?
Dimana fungsi keberadaan kita? Kemana semangat kita untuk mengisi perjalanan dunia dengan sebuah keikhlasan untuk meraih Ridho-Nya? Padahal kita tahu sebuah kenikmatan abadi akan menanti kita, jika perjalanan di dunia ini kita isi dengan sebuah semangat untuk selalu memperbaiki diri dan mencerahkan orang lain. Agar kita dan lingkungan kita, akan menerima sebuah syurga yang telah di janjikan Allah Swt.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”
29 Juni 2009