Jamaah haji telah banyak yang berdatangan, kembali dari perjalanan yang sangat indah di tanah suci. Mereka layaknya bagaikan pengantin, didudukkan pada jejeran depan, dan kisah mereka ditunggu begitu khidmatnya. Mirisnya, terkadang khidmat tidak dirasa, yang ada malah celetukan-celetukan konyol dilempar oleh mereka yang mendengarkan. Atau bahkan banyak para tetangga dan tamu berdatangan, hanya ingin sedikit remeh temeh lalu mulai membungkus beberapa oleh-oleh berupa kurma, kismis ataupun tasbih.
Sekian umur saya, telah terlalu sering saya menyaksikan pemandangan seperti itu. Sangat biasa dan yah…seperti itulah. Namun siapa yang bisa menebak, apa yang akan saya dapatkan pada sekian umur saya kali ini. Ternyata Allah masih berkenan memberikan waktu untuk saya, bisa mendengar cerita indah dari seorang lelaki, suami dari seorang isteri, serta ayah bagi anak-anaknya. Dengan berkaca-kaca ia ceritakan bagaimana perasaannya ketika menjalani hari-harinya di tanah suci. Setumpuk haru seakan pecah pada setiap kalimat yang ia urai. Bahkan masih berlanjut ketika tangan saya menari di atas tuts keyboard ini.
Dia –hampir menangis-, mengungkapkan bahwa dia merasa bukan manusia yang bisa dikategorikan baik, berbudi luhur ataupun sederet prestasi yang pantas dijuluki ‘manusia alim’, tapi di situlah ia dapat merasakan bahwa janji Allah tidak akan pernah tidak terpenuhi. Keharuan menyelimuti kisahnya, dengan bertanya-tanya, ia jabarkan, “Apakah ini ujian ataukah nikmat bagi saya ya Allah? Karena saya tahu, nikmat dari-NYA pun merupakan cobaan bagi hamba-hamba yang nista”. Sambil bergetar, dia mengatakan betapa mudah, segala keinginannya dalam kebaikan, baik yang tersurat maupun tersirat, dapat begitu saja terkabul atas kehendak-NYA. Membuat dia merasa tak patut untuk memperolehnya, karena, sebagai penyandang predikat ‘hamba’, banyak hal yang masih ia belum ketahui dan amalkan.
Suasana hening sesaat, yang mendengar kisahnya, masing-masing menatap lelaki itu. Seribu satu macam perasaan berbaur jadi satu. Saya dengan menahan tangis, terus mengalihkan agar air mata tidak tumpah pada saat itu. Mata lelaki itu berair, begitu pula isterinya. Lelaki itu sedang mengumpulkan keindahan yang begitu MAHA INDAH, ia sadar tangisnya adalah kebahagiaan yang meluapkan hatinya, mendidihkan haru biru perasaan cintanya pada SANG PEMILIK. Saya bisa merasakan kerinduan mereka pada tanah suci yang menggelora, ingin tetap di sana, tanpa kembali berkubang pada dunia silau nan penuh onak dusta. Ingin selalu beribadah, dan selalu bisa merasakan keindahan masa-masa kehidupan Rasulullah. Saya juga rindu.
Menyitir pada kisah kekasih, teladan kita, Rasulullah SAW, yang melaksanakan haji wada’. Saat-saat yang menggembirakan bagi Rasulullah SAW karena akan menunaikannya untuk pertama sekaligus terakhir kalinya. Namun situasi pada saat itu masih diliputi keraguan dari para sahabat, dengan tindakan beliau yang menanda tangani perjanjian dengan kaum quraisy, yang ketika itu, dianggap sepertinya sangat merugikan kaum muslim. Tak ayal semua pun terbantahkan, atas janji Allah, pertolongan dari-NYA, dengan bangkitnya umat Islam pasca perjanjian itu. Sekaligus penanda, akan berakhirnya masa kerasulan, meninggalkan umat yang begitu Rasul kasihi, karena telah purna pun tugas sebagai pengemban risalah.
Perasaan para sahabat waktu itu pastilah sama dengan perasaan lelaki tadi. Bahwa pertolongan Allah, selalu ada jika hambanya selalu mengingat-NYA, bertaubat serta yakin akan jalan ini hanyalah sebagian kecil jalan yang berliku. Sehinanya manusia, DIA tetap mau menolong, DIA tidak akan melupakan kita, umat kekasih-NYA.
Saya, seperti anda, pastilah ingin menunaikan ibadah ini. Menyempurnakan pondasi yang telah kita sepakati sejak ruh ditiupkan pada jasad. Perasaan rindu itu pastilah mengelegak seiring pertemuan-pertemuan suci yang kadang kita abaikan. Itu akan selalu terngiang di setiap kesempatan, pada setiap helaan nafas. Kita tak akan pernah bisa menampiknya. Walau hanya sebutir pasir di padang arafah, pastilah akan bisa kita rasakan keindahan dari SANG PEMILIK MAHA INDAH.
Sekarang, mampukah kita menjadi sadar dan menyiapkan diri menjadi pengenggam sebutir pasir keindahan itu? Mampukan kita tetap membuat sebongkah rindu itu membara? Dapatkah kita menerimanya, seandainya kitalah manusia terpilih itu? Bersiaplah!