Kapan pertama kali atau terakhir kalinya, anda pulang kampung? Lebaran tahun lalu? 2 bulan yang lalu ketika saudara menikah? Atau minggu lalu, sekedar melepas rindu dengan orang tua, kakek nenek atau teman kecil. Lalu seberapa sering anda pulang kampung? 1 kali setahun ketika Lebaran? Dua kali setahun saat liburan sekolah? Atau sebulan sekali karena jarak tempuh yang tidak jauh?
Dua pekan yang lalu, tanpa sebuah rencana, akhirnya saya merasakan bagaimana pulang kampung dalam arti yang sesungguhnya. Dan itu membutuhkan waktu 30 tahun!
Mengikuti garis keturunan dari ayah, maka Bua, salah satu kabupaten di kotamadya Palopo, Makassar – Sulawesi Selatan adalah kampung halaman saya. Menghabiskan waktu 6 – 8 jam perjalanan darat untuk menempuh jarak +/- 330 km dari kota Makassar. Mungkin, karena tidak seberapa dekat dengan kerabat dari pihak ayah, maka keinginan untuk menginjak tanah leluhur tidak pernah menggoda hati saya. Bahkan walaupun keluarga besar ayah berulang kali meminta saya, kakak – kakak atau ayah untuk pulang kampung, selalu kami tolak dengan alasan klise: sibuk kerjaan dan pertimbangan materi.
Namun telepon yang mengabarkan seorang kakak sepupu yang sakit keras, akhirnya membuat saya melupakan pertimbangan-pertimbangan yang selalu menghambat keputusan untuk melihat tanah kelahiran ayah. Selain rasa empati yang besar, melepaskan ayah untuk pergi sendiri sepertinya juga akan meninggalkan kesan tidak baik bagi kami, anak-anaknya, di mata keluarga besar ayah.
Bintang mulai menampakkan dirinya ketika kaki ini melangkah di halaman sebuah rumah. Dua buah tenda besar melindungi kursi-kursi yang berjejer di halaman rumah. Sebuah bendera kain berwana putih, diikatkan pada kursi yang sengaja diletakkan di pinggir jalan raya. Tanda berduka sang pemilik rumah. Ya…, kakak sepupu saya telah dimakamkan ba’da Dzuhur, siang tadi.
Dari setiap kerabat yang menyambut saya dan ayah, ada persamaan yang tampak di wajah mereka. Sebuah senyuman bahagia melihat kedatangan saya yang memang sangat dinanti. Dan mata yang berkaca seakan berbicara akan kedukaan setelah melepas pergi seorang yang dicinta.
Lelah yang masih menghinggapi tubuh ini pun sepertinya harus dilupakan selama saya berada di kampung halaman karena harus mengikuti acara takzia selama 3 hari dan bersilahturahim dengan keluarga besar ayah.
Dari seorang lelaki tua berusia 90 tahun lebih namun cukup saya panggil dengan sebutan ‘Om’ hingga seorang bocah lelaki berusia 3 tahun yang ternyata harus memanggil saya dengan sebutan ‘Nenek’. Dan seperti yang saya temukan di saat pertama kali berada di rumah ini, tetap ada kesan bahagia di antara kesedihan yang terpancar di muka kerabat ayah saya. Dan ini membuat saya berfikir… Hingga saat ini.
Ternyata saya menghilangkan waktu 30 tahun untuk mendapatkan kesempatan yang begitu besar untuk menabuhkan cinta di antara saudara dan kerabat. Menghilangkan kesempatan untuk membahagiakan orang tua dan kerabat.
Saya tahu, ada kebanggaan dan kebahagiaan di mata ayah saya dan kerabat ketika saya diperkenalkan kepada mereka. Karena senyuman manis, jabat tangan erat dan pelukan hangat hampir selalu saya dapatkan dari mereka. Tak hanya itu, begitu banyak cinderamata yang tak terduga yang diberikan oleh mereka, ketika saya harus kembali ke Jakarta. Padahal saya tahu, hati mereka masih berduka. Namun mereka tetap ingin memberikan kenangan yang terbaik untuk saya.
Tiba-tiba rasa malu menghujani hati saya. Malu dengan sejuta alasan yang selalu menghambat saya untuk pulang kampung, bersilahturahim dengan mereka. Malu, karena ternyata silahturahmi yang tertunda itu tetap memberikan berjuta kebahagiaan di diri saya.
Ya Robb, seandainya saya lakukan ini dari dulu… Tanpa harus menunggu 30 tahun lamanya…
* In Memory, for my lovely cousin…
Sitti Nurhasanah, Palopo, 31 Desember 1965 – 1 Agustus 2007