Pagi tadi saya dan 6 rekan saya pergi ke Panti Asuhan Sayap Ibu. Panti asuhan tersebut berlokasi di daerah Selokan Mataran, Jogja. Dengan berkendara motor hanya beberapa menit saja waktu yang kami butuhkan untuk sampai ke tempat tersebut dari kampus.
Setelah motor diparkir di halaman depan panti, kami segera berjalan masuk ke dalam. Kemudian kami duduk di sebuah bangku, di teras halaman tengah panti. Meskipun kecil, bangunan berbentuk huruf U tersebut terlihat bersih, rapi, dengan taman kecil di tengahnya. Juga ada beberapa arena bermain di sebelah taman.
Ketika tengah mengamati sekeliling tiba-tiba ada tangan kecil yang meraih tangan saya, kemudian menarik-narik lembut. Saya terperangah melihat sosok adik kecil, berusia sekitar 3-4 tahun, sedang menggenggam tangan saya dengan eratnya, kemudian mengajak saya berjalan-jalan. Bicaranya belum terlalu jelas, ia hanya menunjuk ke arah ke mana ia mau. Saya masih terpana dengan sosok kecil ini, sementara ia masih asyik mengajak saya berkeliling. Tak lama kemudian saya tahu namanya ”Slamet” (setelah bertanya ke salah seorang pengasuh panti). Tubuhnya kecil, bisa dikatakan kurus untuk anak seusianya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak kuning dan celana pendek hitam yang terlihat kedodoran karena ada popok penahan ompol menyelip di dalamnya. Meskipun demikian, gerakannya sangat aktif, saya pun agak kewalahan dengan polahnya.
Tetapi sesaat kemudian saya tersadarkan bahwa Slamet adalah salah satu dari puluhan anak di panti ini yang sungguh kekurangan kasih sayang. Kasih sayang yang seharusnya selalu dibalutkan oleh kedua orangtua dan keluarganya. Kasih sayang yang seharusnya berhak ia dapatkan sampai kapanpun. Kasih sayang yang seharusnya tidak membatasinya untuk berkembang.
Kasih sayang….. Ya Slamet kurang kasih sayang. Saya pun menyimpulkan demikian. Karena dari sikapnya yang ”langsung kenal” dengan saya, (padahal kami belum pernah bertemu sebelumnya) mengisyaratkan bahwa Slamet minta diperhatikan. Sampai-sampai ia memberanikan diri menggengggam tangan saya sambil menari-narik pelan. Padahal biasanya anak kecil agak sulit bergaul dengan orang yang belum terlalu dikenalnya. Tapi tidak dengan Slamet!
Perhatian saya terus tertuju pada sosok Slamet kecil yang kemudian mengajak saya ke sebuah ruangan di dalam panti. Ternyata ruang tersebut adalah kamar untuk merawat anak-anak yang usianya di bawah Slamet. Di panti ini memang ada 3 pembagian ruang untuk anak usia 3-6 tahun, 1-2 tahun dan untuk usia di bawah 1 tahun. Slamet mengajak saya ke ruang 2 (untuk usia 1-2 tahun), entah kenapa, mungkin karena di ruang tersebut banyak mainan lucu-lucu. Setelah mendapatkan mobil-mobilan Slamet langsung berlari ke luar ruangan. Saya pun mulai asyik dengan Ismail, adik kecil berkulit putih berbadan gemuk, yang usianya belum genap 1 tahun. Saya sungguh heran, kok ada ya orangtua yang tega meninggalkan anak semanis Ismail…hffff. Tak berapa lama kemudian Slamet kembali masuk ke ruangan, dan… Kembali menarik tangan saya, mengajak bermain di luar. ”Oh Slamet… Tahukah ia bahwa sentuhan lembutnya sungguh tak pantas untuk diabaikan dari genggaman kita, karena tangan itu masih begitu lembutnya, masih begitu sucinya…. ”. Bisik saya dalam hati sambil menuruti ke mana Slamet melangkah.
Tentu saja masih banyak sekali ”Slamet-Slamet” lainnya di bumi ini. Sayangi mereka, bukan saja dengan harta benda, tapi lebih dari itu, sentuhan sayanglah yang mereka butuhkan. Ya Alloh, ternyata bagi Slamet dan kawan-kawannya, kasih sayang adalah sesuatu yang mahal dan langka. Tetapi mungkin begitulah cara Alloh menyayangi Slamet dan kawan-kawannya. Beruntunglah kita yang bisa merasakan gelimang kasih sayang itu. Tanpa harus mencari-carinya bak ”barang langka”, tanpa harus bersusah-susah membayar mahal untuk mendapatkannya.
Saya jadi ingat dengan salah satu lirik lagu Bang Iwan Fals, judulnya ”Ibu”, sebuah lagu yang mampu membuat saya meneteskan air mata bahkan ketika seorang pengamen yang menyanyikannya di dalam bis, ketika perjalanan pulang.
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh Lewati rintang untuk aku, anakmu Ibuku sayang, masih terus berjalan Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah Seperti udara kasih yang engkau berikan,
Tak mampu ku membalas… Ibu…. Ibu Ingin kudekap dan menangis di pangkuanmu Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku Dengan apa membalas Ibu… Ibu….
Terselip pertanyaan kecil di lubuk hati saya… akankah Slamet mampu dan mau menyanyikannya kelak…..Ketika kami berpamitan pulang, lambaian tangan-tangan kecil dan tatapan-tatapan bening mereka mampu meruntuhkan benteng pertahanan hati ini….