Seorang gadis cantik berkerudung, rekan sekerja saya, duduk di hadapan saya. Kala itu, hampir setahun lalu, kami sedang makan siang bersama di ruang makan kantor. Makanan yang sengaja saya bawa dari rumah untuk kemudian berbagi bersamanya. Meski bukan saudara, kami layaknya kakak beradik. Umurnya yang hampir sepadan dengan adik saya, membuat saya semakin mudah menyayanginya. Wajah geulis mojang Bandung, dengan kulit putih. Tak hanya cantik dilihat tetapi jugabagus akhlak dan ibadahnya. Sepanjang pengetahuan saya, sholat lima waktu selalu ditegakkannya tepat waktu. Dan sebagai seorang karyawan, ia belum pernah bermasalah dengan siapa pun di kantor kami. Cocok dengan posisinya sebagai sekretaris eksekutif, yang diharuskan bisa menjembatani semua lini di kantor kami. Segala kelebihan itu semakin melengkapinya menjadi perempuan sempurna.
Namun, di balik keistimewaan yang ia miliki, adik saya itu seringkali mengungkapkan, bahwa saya adalah peremuan paling bahagia!
Alhamdulillah, aamiiin, demikian jawab saya selalu.
“Iya lah Mbak! Mbak teh sudah menikah, punya suami yang bertanggung jawab, dua anak yang lucu dan pintar. Kurang apalagi?” jawabnya dengan suara lembut.
Saya tersenyum. Kini saya mengerti, bahwa ukuran bahagia menurutnya adalah seperti yang diutarakannya barusan.
“Kamu juga perempuan paling bahagia, Nduk! Kamu teh cantik, sholehah, sudah bekerja, masih gadis tapi tabungan sudah berpuluh juta. Coba, kurang apalagi atuh?” saya berbalik tanya.
Ia tersenyum.
“Ah, itu mah hanya ukuran duniawi, Mbak. Aku belum menikah. Aku belum punya jodoh. Seandainya pun nanti aku menikah, aku ngga tahu, apakah suamiku juga baik dan bertanggung jawab. Apakah anak-anakku juga akan lucu dan pintar?” matanya menerawang jauh.
“Semua itu hanya sawang sinawang, Nduk! Begitu istilah dalam bahasa Jawanya. Artinya, kita seringkali melihat kebahagiaan itu milik orang lain, dan tak jarang merasa diri kita sebagai orang yang menderita. Semua itu akan berkurang jika kita bersyukur. Ya, intinya adalah syukur. Bukankah Allah telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7, “Jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan tambah (kenikmatan) untuk kalian, dan jika kalian ingkar, sesunggahnya adzab-Ku sangatlah pedih. ”
Perempuan itu pun beristighfar. Saya mengikutinya.
Penggalan kisah kami adalah sebuah contoh kecil, di mana kita lebih sering menghitung nikmat orang lain, dan jarang mensyukuri yang kita terima. Padahal, sesungguhnya nikmat Allah untuk kita tidaklah terhitung.
Kita seringkali mengukur kebahagiaan dari apa yang diterima oleh orang lain. Saat kawan, tetangga atau saudara kita memiliki sesuatu yang kita impikan misalnya, sementara kita belum dapat memilikinya, serta merta kita sibuk menghitung nikmat apa saja yang sudah mereka dapatkan. Berlanjut dengan khayalan kita, betapa bahagianya kita jika seperti mereka.
Padahal, semua manusia tak luput dari masalah. Apa yang membuat kita iri, belum tentu membuat orang tersebut senantiasa bahagia.
Maka, terus bersyukur adalah kunci dari semuanya. Dan qonaah, atau trimo ing pandum dalam bahasa Jawa, alias menerima dengan penuh ikhlas apa yang Allah tetapkan untuk kita, adalah hal penting berikutnya.
Karena, sungguh, Allah telah mengukur apa yang terbaik bagi kita. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi kita. Dengan berhusnudzan terhadap pemberian dan keputusan Allah, insyaAllah, hati kita akan menjadi lapang. Bukankah kita akan bahagia jika hati kita tenang? Dan, bukankah kita hidup untuk bahagia?
Wallahua’lam bishshowab.
U8, Kolej Perdana: mengingat seorang sahabat di bumi Parahyangan