“Masjid ini dibangun oleh seorang dermawan asal Aceh. Warga sini tak satu butir pasir pun menyumbang, ” ujar bapak tua ini kepadaku, seolah menyampaikan suatu rahasia besar, yang hanya segelintir orang yang tahu.
Dan, yah, aku memang baru tahu. Kami usai sholat zhuhur berjamaah, dan asyik memandangi interior Masjid yang dindingnya belum lagi dilapisi semen ini. Tak hanya dindingnya, tempat wudhunya pun masih darurat, seperti tempat MCK para pengungsi. Jika berwudhu, kita harus mengenakan sandal jepit, dan berjalan hati-hati agar tidak terpelanting karena lantai yang licin.
Kenapa warga tidak ingin membantu pembangunan Masjid (atau sebagian orang menyebutnya Mushollah, mengingat ukurannya yang tidak besar) ini? Aku tak hendak bertanya, khawatir mencongkel lebih jauh informasi yang kurang nyaman di telinga, dan tidak sehat untuk hati. Bukan apa-apa, aroma konflik memang terasa mengambang di sekitar tempat ini. Singkat kata, Musholla ini berdiri bukan atas kehendak warga.
Aku tak hendak berpihak ke mana-mana. Namun memang tak jauh dari Musholla ini sudah berdiri Musholla lain yang lebih apik, berdinding keramik, lengkap dengan pagar besi yang mengelilinginya. Bahkan tak cuma satu, melainkan dua musholla telah berdiri di jalan yang sama. Jika masing-masing jamaah berdiri di depan Musholla mereka, maka mereka bisa saling melihat dan melambaikan tangan. Sungguh dekat bukan?
Jadi, barang kali wajar juga kalau warga setempat tidak punya niatan untuk membangun Musholla lagi. “Yang ada sekarang saja belum penuh, kok sudah bangun yang baru?” Mungkin begitulah pikir warga. Belum lagi persoalan lama turun temurun seputar perbedaan mazhab. Jika donatur Musholla yang baru ini memiliki mazhab yang berbeda dengan warga, bisa jadi pembangunan Musholla baru ini malah disikapi dengan was-was.
Begitulah. Hanya sejenak aku singgah, sudah begitu padat problematika umat yang kurekam. Tapi, karena aku cuma mampir untuk sholat Dzhuhur, jadi aku segera beranjak pergi, dan tidak melanjutkan obrolan dengan bapak tua yang menyenangkan itu. Dia cuma ingin berbagi cerita, sebagaimana kebanyakan orang tua lain. Aku pamit pulang, dan dalam jarak kurang dari 2 kilometer, sepanjang jalan menuju pulang, kutemui beberapa Musholla lagi.
Di dekat rumahku sendiri ada empat Musholla dalam rentang radius seratus meter. Masing-masing memasang pengeras suara pada posisi yang tinggi, memastikan bahwa suara apa pun yang keluar dari Musholla itu dapat didengar oleh warga yang pendengarannya terganggu sekalipun.
Saat-saat menjelang shubuh, gema sholawat menerobos masuk ke kamar-kamar warga. Membantu kerja para malaikat yang menyapa umat Muhammad untuk segera bangkit menyambut hari baru dengan beribadah. Setiap Musholla mengumandang sholawat yang sama, dengan langgam yang sama pula. Ke mana pun kakiku melangkah, sama dekatnya. Namun meski dengan suara begitu lantang berdentang dan meyakinkan, ternyata tak sampai satu shaff jamaah shubuh yang berhasil direkrut. Hangatnya selimut dan empuknya tempat tidur masih menjadi pemenang sementara.
Namun para pengurus Musholla tak pernah berkecil hati.
“Yang penting kami sudah memanggil, dan menjalankan tugas kami. Soal mereka mau datang ke Musholla atau tidak, tentu tanggung jawab masing-masing, ” demikian kira-kira jawaban mereka, orang-orang yang sudah separuh baya itu. Aku, tak bisa lain, kecuali terkesan dan menghargai prinsip mereka itu. Tapi terpikir juga olehku, jika orang-orang ini berlalu dipanggil oleh Allah, adakah yang tersisa di Musholla ini?
Saat Maghrib dan Isya situasi tak banyak berbeda. Adzan bertalu-talu dari setiap Musholla, menyadarkan kaum muslimin untuk meninggalkan televisi, menghentikan ngerumpi, meninggalkan cangkir teh dan kopi sore hari, dan membubarkan permainan tanpa arti. Namun tak ada korelasi apapun antara gema adzan dengan jumlah jamaah yang terpanggil. Meski tak selengang shubuh, jamaah Maghrib dan Isya tetap menyisakan ruang kosong yang lebar.
Kekosongan di masjid-masjid baru bisa terobati ketika sholat jumat. Jamaah melimpah-limpah seperti air keluar dari bak yang krannya lupa ditutup. Konsentrasi antrian di tempat wudhu memuncak mendekati pukul 12 siang. Setengah jam sebelumnya, kita masih bisa wudhu dengan tenang, tanpa orang menunggu di belakang kita dengan raut wajah yang seolah mengatakan, “Ayo cepetan!” Tapi selang kurang dari setengah jam kemudian, antrian massa membludak.
Namun penuhnya jamaah sesungguhnya ibarat tipuan fatamorgana di jalan Tol Jagorawi tengah hari. Dari jauh terlihat seperti air, namun sesungguhnya aspal yang tak sempurna memantulkan sinar matahari. Kebanyakan jamaah yang memenuhi Masjid pada saat itu sesungguhnya hanya mengantarkan jasadnya saja. Ruhnya terbang melanglang buana, singgah di antah berantah, di tempat-tempat lain yang dengan cepat terlupakan ketika khatib selesai khutbah dan muadzin melantunkan iqomat. Tak jarang ada yang harus dicolek-colek dengan keras agar segera sadar. Masih untung jika tidak sampai meneteskan air liur saking dalamnya kontemplasi yang dilakukan. Sungguh menyedihkan.
Namun, di tengah umat yang acuh-acuh butuh terhadap Masjid ini, masih saja kita temukan orang-orang yang bersemangat membangun Masjid. Entah yang membangun baru, atau sekedar memperluas bangunan, mempertinggi menara, atau mengganti tembok semen dengan porselen.
Bangun dulu, rawat belakangan. Sepertinya itulah prinsip yang mereka pegang. Betapapun sederhananya cara berpikir mereka, Aku memilih tetap menghargainya. Jauh lebih menghargai ketimbang mendengarkan kritikan tanpa serius membantu apa-apa. Mirip penonton PSSI, asyik menonton sambil makan kacang, memuji si A dan membodoh-bodohkan si B, tapi naik tangga satu lantai saja sudah kehabisan nafas.
Tapi tak semua Masjid semurung yang saya ceritakan. Ada pula Masjid yang pengurusnya bukan para pensiunan, melainkan orang-orang yang masih aktif di perusahaan masing-masing. Mereka kuat secara finansial, punya relasi sana sini, penuh dengan ide-ide segar. Karena segar dan punya sumber daya, mereka sibuk menggagas berbagai kegiatan yang dapat menjadi solusi bagi kebutuhan umat. Pelajaran alQuran tersedia mulai dari anak-anak yang baru bisa berlari, hingga kakek-nenek. Ada kajian tafsir, ada pula kajian fiqh. Setiap hari-hari bersejarah bagi umat Islam diselenggarakan kegiatan yang bervariasi, mulai dari donor darah, pengobatan gratis, bazaar barang-barang murah berkualitas, kajian pengobatan alternatif, pembagian sembako rutin, talk show remaja bertema seputar remaja dan cinta, di samping acara rutin tabligh akbar mengundang penceramah kondang. Ada pula Masjid yang sanggup membuka BMT, berhadapan head to head melawan rentenir.
Masjid seperti ini, sejauh yang saya tahu, dicintai jamaahnya. Shubuh dan Isya sama ramainya.
bestmuslim. WordPress. Com