Sate Padang Berlogat Jawa

Apakah ada sate padang berlogat jawa? Tentu tidak. Yang ada adalah penjual sate padang berlogat jawa. Tidak percaya? Mampirlah sekali-sekali ke rumahku. Sekitar usai sholat Isya, penjual sate padang ini akan melintas di depan rumah, dan dengan lantang serta nyaring berseru,

“Saateee… padhang….!”

Suaranya melengking tinggi, membelah udara, menerobos sela-sela pintu dan kusen jendela, masuk ke rumah-rumah di sekitarnya, beradu cepat dengan asap satenya yang berhembus malu-malu. Simaklah logatnya yang medhok, khas orang Jawa. Namun aku tak pernah sempat menanyakan, apakah ia asli orang Padang, atau orang Jawa yang entah kenapa trampil membuat sate ala padang.

Malam itu ia kembali lewat. Padahal hujan begitu deras mengucur. Suaranya yang khas kali ini beradu kuat dengan rinai hujan. Menimbulkan perasaan sendu bagi siapa saja yang mendengar. Menjalarkan perasaan prihatin bagi siapa saja yang peduli. Mengusik kesadaran bahwa ada jenis kehidupan yang teramat berbeda, meski berdekatan, dengan kita.

“Apa ada yang beli ya?” tanya anakku dengan wajah prihatin.

Kami pun terlibat diskusi intens di ruang keluarga yang hangat. Anak-anakku meluncurkan pertanyaan bertubi-tubi tak ada habisnya.

“Memangnya tukang sate itu orang Jawa ya? Apa orang Jawa enggak boleh jualan sate padang?” tanya si Sulung.

Aku dan isteriku tersenyum geli. Belum tentu ia orang Jawa. Kita tak pernah bertanya langsung. Dan kalaupun ia memang orang Jawa, tak ada larangan untuk berjualan Sate Padang, Sate Tegal, Sate Madura, atau Sate Arab sekalipun.

“Apa jualannya laku ya?”

Pertanyaan ini adalah jenis pertanyaan yang paling sering muncul. Untuk pertanyaan seperti ini, aku menyempatkan diri menjelaskan agak panjang, lebar dan dalam.

Seingatku, tukang sate padang berlogat Jawa ini telah berjualan sejak kami menempati rumah ini. Itu artinya sejak si Nomor Dua lahir, yang berarti tukang sate tadi telah berjualan paling tidak selama 8 tahun. Cukup lama. Berarti hasil dari jualan sate ini cukup memadai bagi kehidupan sehari-hari sang penjual sate ini.

“Kasihan ya, hujan-hujan begini masih jualan, ” kata si Bungsu, dengan butiran kristal mulai membayang di matanya.

Aku tersenyum, dan merengkuhnya dalam pelukanku. Mencoba meredakan kegelisahannya. Bersyukur bahwa masih ada sensitifitas dalam jiwanya yang bening. Tak kan kurecoki jiwa-jiwa lembut ini dengan pernyataan memang sudah nasib tukang sate itu. Biarlah waktu kelak akan mengajarkan kepada mereka pelajaran yang sangat kompleks ini. Seni antara berempati dengan nasib orang lain, dan kearifan untuk dapat menarik pelajaran.

Ini adalah pemahaman makna yang maha sulit. Bagaimana menangkap pesan keadilan Allah ketika kita berhadapan dengan fenomena kesenjangan seperti ini, tanpa harus menghakimi atau menjustifikasi siapa pun?

Sudahkah saatnya? Pikiranku kelu dalam ketidakyakinan. Ya Allah, inilah hambaMu yang bodoh. Ajarkanlah aku hikmahMu lewat bait-bait kehidupan yang kau lintaskan di hadapanku.

Ada berapa banyak tukang sate-tukang sate lainnya yang kehujanan di luar sana? Mengais rizki di sela-sela hujan yang mendera. Menelusuri lorong-lorong kompleks dan perkampungan tanpa ada kepastian adanya pembeli. Atau menunggu di mulut-mulut perumahan, sebelah menyebelah dengan tukang-tukang becak yang meringkuk menahan lilitan hawa dingin.

Sungguh ajaib bahwa masih ada saja tawa dalam hari-hari mereka. Walau kutahu bahwa tawa dan bahagia tak harus berkorelasi dengan kepemilikan harta, namun tak dapat kubayangkan jika Allah berkehendak menjadikanku salah seorang di antara mereka.

Banyak hal yang tak mudah dipahami dalam hidup ini. Tentang kehendakNya membagi nikmat. Tentang rahasiaNya di balik spektrum sosial ekonomi yang merentang selebar bumi setinggi langit. Tentang mutiara-mutiara kehidupan yang terpendam dalam lumpur bernama kemiskinan. Yang hikmahnya hanya bisa terpantul pada mata batin yang senantiasa resah, pada jiwa-jiwa yang gelisah dan peka, pada rasa-rasa yang tajam karena senantiasa diasah pada cadas kehidupan.

Agaknya, bagi mereka yang dilimpahi rizki, ini adalah praktek dari mata kuliah syukur nikmat, dengan jumlah SKS sepanjang usia. Namun mereka yang menempuh mata kuliah ini, harus lulus terlebih dahulu dari materi tentang ke-Maha Kuasa-an Allah, dan dari materi Iradah. Materi ini masih harus diperkaya dengan topik ke-Maha Adil-an Allah. Bahwa Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi makhluk ciptaanNya.

Bahwa Allah Maha Kuasa, dan Maha Berkehendak. Bahwa Allah takkan terbendung jika menginginkan sesuatu terjadi. Bahwa mudah saja bagiNya untuk mengangkat status sosial ekonomi seseorang, sebagaimana mudah pula bagiNya untuk menenggelamkannya.

Maka, dengan pemahaman seperti ini, barulah pelajaran syukur nikmat dapat mulai dipahami. Tanpa membatinkan pemahaman ini, maka dengan mudah kita akan tergelincir pada kesombongan ala iblis. Yang menisbatkan kesuksesan kepada kebesaran diri. Yang menganggap bahwa yang kita miliki adalah memang milik kita. Bahwa jerih payah kitalah yang menyebabkan ini semua terjadi. Kita akan menganggap campur tangan Allah hanya sebatas teller bank yang memberikan kita sejumput uang yang memang milik kita, yang cukup disapa dengan senyum dan ucapan terima kasih, untuk kemudian berlalu dan kita lupakan.

Tanpa pemahaman tentang siapa sesungguhnya Sang Pemilik, kita akan menganggap Allah hanyalah simbol lain di samping simbol-simbol basa basi lainnya dalam hidup kita. Kita menyapaNya, namun tak menganggap peranNya. Kita senantiasa menyebut namaNya, namun tak merasakan getar kehadiranNya.

Buat mereka yang kelebihan rizki, dapatlah kiranya membahas keadilan Allah, dan pelajaran syukur nikmat dalam ruang keluarga yang nyaman, ditemani secangkir kopi hangat, dan kue-kue kering yang gurih.

Namun, bagaimanakah mendalami materi ini pada guyuran air hujan di malam gelap, atau di bawah terikan sinar matahari di atas aspal yang membara? Atau ketika si kecil sakit namun tak ada biaya untuk berobat? Atau ketika disodorkan biaya pendaftaran sekolah yang beratus ribu bahkan berjuta-juta, sementara besok makan entah apa?

Aku pun terperangkap dalam sebuah syair,

Mungkin yang buat kita
Masih tersimpan di syurga
Menunggu kita siap menerima

sabruljamil.multiply.com