Malam bintang terang. Namun, cahaya itu tidak seterang kasih seorang ibu. Kasihnya tidak akan pernah usai sepanjang hayat kepada anak-anaknya.
Ibu saya sehari-hari adalah seorang penjaga kantin di sebuah SMP swasta di Bekasi. Dia juga membuat nasi uduk dan kue yang dititipkan di kantin dan warung-warung lain. Bangun pukul setengah empat pagi, baru beranjak ke peraduan pukul sebelas malam. Begitu terus, hidupnya dijalani tanpa mengeluh.
Penghasilan bapak yang tidak seberapa ditopang oleh hasil jualan ibu. Sejak SD sampai SMA, dari hasil jual kue itulah, saya dan adik-adik dapat uang saku. Saya jadi teringat Ibu A. Yani (janda alm. Jend. Ahmad Yani). Setelah Pak Yani meninggal karena dibunuh pada 1 Oktober 1965, Ibu Yani menghidupi keluarganya dari berjualan minyak tanah. Namun, beliau tak pernah malu atau gengsi. Justru, anak-anaknya kelak menjadi orang yang berhasil dalam pendidikan dan karir mereka.
Itulah yang menjadi kebanggaan saya terhadap sosok bunda. Gurat wajahnya yang telah mengerut menampakkan bahwa dia terlampau akrab dengan kerja kerasnya. Tangannya dipenuhi otot yang tampak ramah.
Jarang saya melihat dia pakai bedak, apalagi make-up. Seumur-umur, saya baru melihat bunda pakai make-up pada saat saya sudah beranjak dewasa. Itu pun pada saat saya diwisuda bersama ribuan wisudawan Unesa di Islamic Center, Surabaya sekian tahun yang lampau. Dia bilang ingin tampil cantik pada momen tersebut.
Setelah itu, kami sudah jarang bertemu. Saya memilih untuk menetap di Surabaya. Dalam setahun, kadang cuma sekali saya pulang ke Bekasi. Itu pun pas libur Lebaran atau Natal.
Meretas cinta itu tak pernah habis. Itulah ibu. Ketika berjanji untuk memperkenalkan calon pendamping hidup saya, saya berkesempatan bertemu dengan ibu lagi di Surabaya.
Beliau memberi sapu tangan kain lusuh kepada saya. Sampai di situ, saya masih belum mengerti makna yang tersingkap dari pemberian tersebut.
Bunda bilang bahwa sapu tangan itulah yang dia gunakan untuk mengompres saya saat mengalami kecelakaan motor yang membuat kaki saya patah pada 31 Desember 1998.
Setelah saya harus berpisah dengan orang tua pada akhir Agustus 1999 untuk kuliah di Surabaya, ternyata sapu tangan tersebut masih disimpan oleh bunda.
Kesibukan menjalani hari-hari pada masa kuliah seolah membuat saya menjadi jarang berkomunikasi dengan keluarga di Bekasi. Namun tidak dengan bunda. Sapu tangan itu tetap dia simpan untuk memendam kangennya pada saya. Hanya, saya sama sekali tidak menyangka sampai seperti itu. Saya sendiri baru tahu dua minggu lalu, saat memperkenalkan pujaan hati.
Setelah berkisah, bunda memberikan sapu tangan itu kepada saya dan merestui hubungan kami. Saya seakan tidak bisa berkata sepatah kata pun. Lidah ini terasa kaku. Hati bergetar karena terharu.
Bagaimana mungkin bahwa sapu tangan yang sudah lusuh itu masih disimpan sekian tahun hanya untuk memendam kangen pada anaknya?
Bukan kata-kata, tapi dengan sapu tangan lusuh itulah bunda menohok saya dengan cinta yang sederhana. Cinta tulus yang tak pernah berharap balasan dari siapa maupun anaknya sendiri sekalipun. Bintang itu terang.
Lewat sapu tangan lusuh tersebut, zaman boleh berubah. Tapi, cinta dan kerinduan seorang ibu tak bisa digerus waktu. Ia ada sampai kapan pun. Tak bisa dibalas dengan apa pun.
Eko Prasetyo Untuk bunda tercinta yang sedang terbaring sakit,
”Zijn euwige liefde..”