Ketika anak saya lahir, hampir semua tetangga, saudara, teman dan juga kenalan-kenalan dekat saya, menjenguk mengucapkan selamat. Saya cukup bergembira dengan antusiasme mereka. Begitulah suasana di kampung. Kegotong royongan, silaturrahmi antar tetangga, alhamdulillah masih tumbuh subur tak lapuk ditelan zaman
Mereka datang mendoakan kami sekeluarga. Memberikan untaian doa kepada buah hati saya. Dan tak jarang juga yang memberikan tips-tips kepada isteri saya agar cepat sehat setelah melahirkan dengan resep-resep tradisional. Ada juga beberapa tetangga yang datang membawa buah tangan. Bentuknya macam-macam. Ada yang berupa barang-barang jenis keperluan bayi, seperti popok, bedak, sabun dan baju-baju kecil yang lucu-lucu. Dan ada juga jenis-jenis makanan, dari jajan pasar, sayur mayur, minyak goreng sampai daging ayam. Saya berterima kasih sekali dengan mereka.
Namun ada seorang tetangga yang begitu datang dan melihat buah hati saya lahir, langsung berkata. ”Jabang bayi, kenapa kau lahir di zaman susah begini? Di saat barang-barang serba mahal? Kenapa kau lahir tidak pada waktu bahan makanan sedang murah?”
Ada rasa geli, lucu, tapi juga menguras sedikit otak saya, ketika mendengar ucapan perempuan itu. Paling tidak saya jadi bertanya dengan diri sendiri, kenapa ia mengucapkan hal seperti itu? Tidak ada kata lainkah yang lebih enak didengar selain kalimat itu?
Saya tidak tahu alasannya, mengapa tetangga saya mengatakan hal seperti itu, tapi yang jelas, orang yang baru melahirkan itu banyak membutuhkan makanan bergizi, supaya bayi dan ibunya sehat. Sedangkan barang-barang jenis makanan yang bergizi nyaris semua mahal.
Akhirnya saya sedikit paham dengan kalimat dia. Dia tentu memandang latar belakang saya, yang usahanya sedang hancur terpengaruh gelombang reformasi. Perempuan itu tentu bukannya asal ngomong mengatakan hal seperti itu, karena ia melihat sehari-hari keadaan ekonomi saya. Usaha kecil-kecilan yang sudah saya rintis cukup lama nyaris tak bisa bangkit lagi. Sedang harga bahan-bahan makanan yang bergizi sudah melambung. Mungkin saja begitu. Sebab waktu itu harga beras yang masuk dalam daftar beras ‘enak’ terlalu mahal untuk ukuran saya.
Saya memang susah. Saya tak mengelak keadaan seperti itu. Seiring dengan lahirnya si buah hati, usaha saya makin sulit. Ini saya akui. Banyak rizki yang datang kepada saya, tapi bukan lewat keringat saya. Banyak teman-teman yang datang di hari-hari berikutnya membawa sesuatu yang sangat menolong keberadaan ekonomi saya.
Apapun bentuknya, dari siapapun datangnya, yang jelas itu rizki dari Allah untuk kami, terutama si buah hati yang baru lahir. Karena kata Allah, tak ada satupun mahluk yang dilahirkan ke dunia ini tanpa membawa rizki. Tentunya ini adalah keyakinan yang harus saya pegang sampai kapanpun, dalam kedaan ekonomi seperti apapun.
Dan tidak ada suatu binatang melatapun dimuka bumi, melainkan Allah lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu, dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata. (QS Huud: 6)
Biar si perempuan tetangga saya sangat menghawatirkan rizki anak saya, tapi saya tidak. Biar reformasi tak kan kunjung ada hasilnya, saya yakin Allah tak kan berhenti memberikan rizki kepada makhlukNya.
***
Purwokerto, Juni 06 <[email protected]>