"Assalamu’alaikum"…sapaku kepada seorang kakek. Kakek itu kira-kira berumur 60-tahunan yang sudah kukenal dua tahun silam.
"Wa’alaikumussalam" jawabnya lirih dengan perangai berseri-seri dan gerakan bibir yang merekah tersenyum ciri khasnya, kurasakan kesejukan hati bila saling tegur sapa dengan beliau.
"Kaifa haluk (apa kabar)" lanjutku kepadanya yang masih menggenggam tanganku sehabis salaman tadi.
"Alhamdulillah quwaisy (Alhamdulillah baik)."
"Wa inta? (dan kamu?)" tanyanya kepadaku.
"Alhamdulillah quwaisy (Alhamdulillah baik)" jawabku.
Obrolan panjang pun terus berjalan mulai membicarakan tentang kuliahku di Al-azhar yang baru saja beres ujian mid semester, sampai kabar orangtuaku yang ada di Indonesia pun menjadi buah obrolan di antara kami berdua.
Masih kurasakan keramahan sang kakek tersebut, hatiku bisa merekam betapa ikhlas dan bersihnya hati si kakek ini.
Syekh Taufik nama kakek itu. Dia tinggal di Mujawwarah 8, Nashr City, Cairo. Rumahnya bersebrangan dengan rumah kostku, hanyalah sebidang taman berukuran sepuluh kali lima belas meter yang memisahkan antara kost-anku dan rumahnya.
Semua orang yang tinggal di Mujawarrah 8 dan sering sholat berjama’ah di masjid AR-RAHMAN pasti mengenal sosok kakek berbadan kecil munggil ini. Syekh Taufik, selain terkenal dengan keramahanya, dia juga terkenal dengan tutur katanya yang begitu santun, bersahaja, lembut dan selalu berisikan wejangan-wejangan.
Bagi diriku peribadi, ada lagi yang paling terkesan dari sosok syekh Taufik ini, walaupun dia merupakan kakek yang sudah lanjut usia, tapi tak pernah meninggalkan sholat berjama’ah di masjid, lebih kagum lagi dia tidak pernah masbuk dalam berjama’ahnya dan pasti ada di barisan depan, tepatnya di belakang sang Imam.
Ketepatan waktu dalam setiap sholat sudah menjadi jadwal rutinan beliau, setiap mendengar panggilan adzan sepertinya muncul tenaga yang berlipat untuk menyeret langkah kaki menuju masjid, demi bertemu sang Kholiq. Jarak pun tidak menjadi halangan yang berarti baginya, padahal jarak yang di tempuh dari rumah ke masjid mencapai setengah kilo meter.
Selain jarak yang jauh dari rumah ke masjid ada pula yang perlu kita kagumi dari sang kakek ini, tiap hari dia menaiki tangga rumah susun yang menuju rumahnya di lantai tiga, walaupun puluhan tangga menantang dan meletihkan kaki, tetapi seakan semua itu dia jadikan sebagai hitungan langkah kebaikan.
Setelah dua tahun aku merasakan kehidupan bersama beliau di negri Piramid ini, semua musim pun telah aku rasakan, mulai musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi, tetapi berubah-ubahnya musim tidak menjadi penghalang untuk menggiring dua langkah kakinya menysuri jalan menuju masjid.
"Subhanallah" hatiku bergumam setiap kali melihat sosok kakek berkewarga negaraan Mesir ini mengayunkan kedua kakinya di subuh hari musim dingin. Semua orang tahu betapa dinginya gigitan udara musim dingin di negri Kinanah. Jangankan kakek-kakek yang telah berusia lanjut, seorang pemuda dua puluh tahun-an pun harus memakai jaket dalam semua aktifitasnya, tapi dengan jubahnya yang tebal dia tetap menjaga semangatnya untuk berjamaah.
Decak kagum pada beliau pun tidak hanya dalam urusan berjamaah, tetapi diriku terpana dengan ke istiqomahanya dalam membaca alquran setiap setelah sholat.
Sungguh ini hikmah bagi kita. Berbadan sehat, usia masih sangat muda, kendaraan ada dan jarak yang dekat kadang belum bisa menjadi wasilah (jalan) untuk beristiqomah dalam menjalankan solat berjamaah di masjid dan menjaga amalan lainya. Kesibukan kadang menjadi kambing hitam semua kegagalan kita dalam menjaga hubungan kita dengan Allah Swt.
Wallahu al-mussta’an.