Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Nabi shalallahu alayhi wa sallam mengatakan, Allah akan bertanya pada hari kiamat: “Di mana orang-orang yang saling mencintai demi kemuliaan-Ku? Hari ini, pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Ku, Aku akan menaungi mereka dengan naungan-Ku.” (HR. Muslim)
Cinta adalah salah satu perasaan manusia yang paling luhur. Ketika cinta ini berputar di sekitar Allah Yang Mahakuasa dan menjadi dasar bagi hubungan antarpribadi kita, banyak masalah dapat diatasi dan buah yang besar dapat dipanen baik untuk individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Al- Qur’an dan As-Sunnah sering berbicara tentang status mulia orang-orang yang dikaruniai Allah untuk memiliki cinta semacam itu.
Nabi shalallahu alayhi wa sallam mengatakan, “Di antara para hamba Allah ada orang-orang yang bukan nabi dan bukan syuhada, tetapi oleh para nabi dan syuhada dianggap beruntung karena kedudukannya yang tinggi di sisi Allah. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Beri tahu kami siapa mereka.” Nabi shalallahu alayhi wa sallam memberi tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bahkan tanpa terkait satu sama lain atau terikat satu sama lain melalui pertukaran kekayaan.
Nabi shalallahu alayhi wa sallam melanjutkan untuk menggambarkan hadiah besar mereka pada hari kiamat: “Demi Allah, wajah mereka akan bercahaya dan mereka akan berada di atas cahaya. Mereka tidak akan merasa takut ketika orang-orang merasa takut, dan mereka tidak akan merasa sedih ketika orang-orang berduka.” Kemudian dia shalallahu alayhi wa sallam membaca ayat: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (TQS. Yunus 62). (Abu Dawud).
Ini mengingatkan kita pada hadits terkenal lainnya yang menyebutkan tujuh jenis orang yang akan menikmati naungan Allah pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya. Di antara yang disebutkan adalah “Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu karena Allah, dan berpisah karena Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Cinta karena Allah melampaui batas keberadaan duniawi kita, bertahan hingga kehidupan yang akan datang. Allah berfirman, “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Az-Zukhruf 43:67).
Saling mencintai karena Allah, dan persaudaraan dalam iman, termasuk ibadah yang paling utama. Cinta luhur ini memerlukan beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi agar hubungan tetap murni dan bebas dari arus bawah yang rendah.
Menjunjung tinggi kewajiban-kewajiban ini membawa seorang hamba lebih dekat kepada Allah dan keridhaan-Nya dan, dari waktu ke waktu, hal itu dapat membawa orang yang lebih mulia.
Syarat tersebut antara lain sebagai berikut:
Kedua belah pihak harus benar-benar mencintai untuk memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain dan harus mencintai kebaikan satu sama lain. Nabi shalallahu alayhi wa sallam bersabda, “Tidak seorang pun dari kalian akan mencapai iman (sempurna) sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mereka harus saling berpesan pada kebenaran dan kesabaran, dan saling memberi nasihat yang tulus. Mereka harus memerintahkan yang benar, melarang yang salah, dan saling membimbing.
Mereka harus saling membantu dalam melakukan pekerjaan kesalehan. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (TQS. Al-`Asr 2-3), “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (TQS. At-Taubah 71).
Mereka harus terlibat dalam hal-hal yang menumbuhkan cinta ini, memperkuat hubungan antarpribadi, dan memfasilitasi pemenuhan tugas mereka satu sama lain. Nabi shalallahu alayhi wa sallam bersabda, “Seorang Muslim memiliki enam hak atas Muslim lainnya.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Dia berkata, “Ketika Engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam. Ketika ia mengundangmu, terima undangannya. Ketika ia meminta nasihat, nasihatilah ia. Ketika ia bersin dan kemudian memuji Allah, mohonkanlah rahmat Allah kepadanya. Ketika ia jatuh sakit, kunjungilah. Ketika ia meninggal, uruslah pemakamannya.” (HR. Muslim).
Seorang muslim berhak mendapatkan perlakuan baik dari sesama muslim. Dia harus disambut dengan senyuman dan diberi sambutan yang menyenangkan. Nabi shalallahu alayhi wa sallam mengatakan, “Jangan anggap remeh perbuatan baik apa pun, bahkan ketika bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (HR. Muslim).
Mereka harus saling membimbing pada apa yang baik, dan saling membantu dalam ketaatan. Demikian juga, mereka harus mencegah satu sama lain dari jatuh ke dalam dosa dan kejahatan. Nabi shalallahu alayhi wa sallam berkata, “Seseorang harus membantu saudaranya, apakah dia seorang penindas atau orang yang tertindas. Jika dia seorang penindas, larang dia dari penindasannya. Jika dia ditindas, maka bantulah dia.” (HR. Muslim).
Cinta di antara mereka bersinar dengan cara yang paling indah dan tulus ketika keduanya jauh dari satu sama lain dan masing-masing berdoa secara rahasia kepada Allah untuk yang lain. Ini berlanjut untuk yang masih hidup bahkan setelah yang lain telah pergi dari dunia ini.
Nabi shalallahu alayhi wa sallam berkata, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya secara rahasia terkabul. Di kepalanya ditunjuk seorang malaikat, dan setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sesuatu yang baik, malaikat yang ditunjuk untuknya berkata, ‘Aamiin, dan untukmu juga yang semisal’.” (HR. Muslim).
Mereka harus memaafkan kesalahan satu sama lain dan membela kehormatan satu sama lain, tidak pernah berbicara buruk, atau mencemooh satu sama lain. Mereka harus saling menjaga rahasia, saling menasihati dengan tulus, dan tidak pernah saling melecehkan. Nabi shalallahu alayhi wa sallam berkata, “Tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk menyusahkan orang lain.” (HR. Abu Dawud).
[ARRAHMAH]