Salam Hari Raya

Untuk sebuah keperluan aku pergi ke Nasr pada malam hari. Dengan langkah sedikit terpacu, menerobos dinginnya udara yang mencapai lima belas derajat itu ku ayuhkan kaki berjalan menuju halte bis depan rumah. Dari halte gamie’ tersebut aku menaiki angkutan umum menuju perempatan jalan Zilzal guna mengambil angkutan menuju Asyir. Perempatan inilah yang menghubungkan daerah tempat tinggalku sekarang ke kawasan masisir (mahasiswa indonesia di Mesir) lainnya. Kata sebagian kawanku, Katameya -tempat tinggalku saat ini- masih tergolong desa, sebab tidak banyak masisir yang tinggal di sini, tidak seperti Hay Asyir-Nasr, kawasan ini ramai di diami masisir.

Malam itu jalanan terlihat sunyi. Hiruk pikuk dan gurauan masyarakat sekitar yang biasa menghiasi setiap persimpangan jalan dan terminal, senyap di tengah kegelapan malam dan dinginnya udara. Hanya sebagian kecil orang yang kutemui di tempat mangkalnya angkutan umum itu.

Sesampai di terminal Asyir, kembali lagi kesenyapan menjadi pemandangan aneh untuk ukuran sebuah terminal. Hanya beberapa orang yang menanti bis dan angkutan umum. Dan akupun kembali menaiki angkutan umum jurusan Bawabat. Hingga tibalah ke tempat tujuanku.

Sepanjang perjalanan tadi hingga kembalinya, aku sedikit terperangah dengan apa yang kulihat. Memang kondisi seperti itu biasa berlaku di Mesir manakala lebaran tiba. Hampir setiap toko tutup dan jalanan sunyi tak jauh beda seperti yang kurasakan dulu di Medan.

Namun ada satu hal yang lain, yaitu ucapan salam dan tahniah yang terlontar oleh masyarakatnya setiap hari lebaran. Sedari malam lebaran, di sini orang-orang saat berpapasan satu sama lain sering berucap dalam bahasa setempatnya (amiyah) “Kullu sannah we enta thayyib” atau bahasa arab resminya (fushah) “Kullu ‘ammin wa antum bi khair” (semoga anda diberikan kebaikan setiap tahunnya).

Ucapan itu jugalah yang terdengar sepanjang perjalananku pada malam lebaran tadi. Setiap orang yang kutemui mulai pejalan kaki, penumpang dan supir, juga para penjual dan pembeli mengucapkan salam tersebut sebagai tahniah. Terpancar rona bahagia dari wajah mereka saat mengucapkan kata-kata itu.

Inilah bedanya kita dan mereka. Kalau di Indonesia dulu, biasanya lebaran yang meriah itu lebaran idul fitri. Banyak ucapan selamat ketika lebaran ini tiba. Ada ucapan Minal aidin wal faizin mohon maaf lahir batin, kullu amin wa antum bi khair dan taqabbalallahu minna waminkum shiyamana wa shiyamakum. Tapi saat lebaran idul adha hadir hampir tidak satupun ucapan-ucapan tadi diberikan. Padahal, kedua hari lebaran ini merupakan momen spesial.

Kalau bukan lebaran mungkin ada di antara kita yang hampir tidak pernah bertegur sapa dengan jiran tetangga. Karena kesibukan yang bertumpuk terkadang lupa dan tidak tahu menahu siapa saja orang-orang di lingkungan kita. Pada saat lebaran lah, dimulai dari shalat ied kita berkumpul. Tanpa disadari baru terlihat semua siapa saja orang-orang di sekitar kita. Oleh karenanya saat menuju ke tempat shalat dan pulangnya dianjurkan melalui jalan yang berbeda. Ini dimaksudkan ketika berpapasan dengan yang lain bisa bertemu dengan orang yang berbeda.

Kesempatan yang hadir dua kali dalam setahun ini merupakan silaturahmi akbar. Maka alangkah baiknya dalam kesempatan ini kita saling mengucapkan salam dan selamat satu sama lain. Sebab dari ucapan selamat itu mengandung doa. Sungguh betapa indahnya di hari yang baik kita saling mendoakan yang tersimpan di balik ucapan salam hari raya itu tanpa harus membedakan idul fitri atau idul adha. Karena Allah telah menjadikan kedua hari ini sebaga hari kegembiraan bagi umat Islam.

Katameya, 10 Dzul hijjah selesai shalat ied