Pak Joko adalah salah seorang juru masak di restauran tempat aku bekerja, beliau mempunyai sebuah sajadah yang sering aku pinjam untuk sholat dzuhur, ashar atau sunnat dhuha karena kamar beliau yang paling dekat jaraknya dengan ruanganku.
Aku tidak tahu pasti warna asli sajadah itu entah hitam, abu-abu atau coklat karena sudah lusuh dan kusam, bagian sisi sajadah terdapat benang bordir yang banyak terurai menandakan bahwa usianya yang sudah cukup tua dan sedikit agak lapuk, mungkin karena begitu sering tertumpu oleh jidat para ahli ibadah di kantor kami, itu terbukti dengan adanya gambar ka’bah dan dua menara di antaranya yang tidak begitu jelas lagi sebagaimana ciri khas pada kebanyakan sajadah lainnya.
Sajadah lusuh ini menjadi penopang berat badanku pada saat berdiri, ruku’ serta sujud, sajadah kusam ini pula menjadi pendengar setiaku selain Allah dan para malaikat-Nya pada saat aku membaca al-fatihah, takbir, tasbih, tahmid dan sholawat serta bacaan lainnya saat aku berdialog dengan Dzat Yang Maha Mendengar.
Pada sajadah lapuk ini mataku sering tertuju ketika aku tertunduk pasrah tak berdaya mencoba untuk mengemis kasih agar dapat meraih sedikit rahman-Nya manakala jiwa ini sudah tidak mampu lagi menahan beban segala persoalan hidup, sajadah ini pun mengetahui manakala tubuhku bergetar karena merasa sangat kerdil di hadapan-Nya dan hati yang begitu gemuruh begitu pada saat lisanku menyebut asma-Nya yang agung.
Sungguh sajadah tua inipun begitu kuat pada saat aku berdiri lama karena ruhku mencoba untuk bermi’raj dan mencoba menggapai kenikmatan bertemu dengan Sang Maha Kasih, sajadah pak Joko inipun dengan sabar menunggu sampai aku selesai bersimpuh untuk mengadu dan berdo’a pada-Nya agar diberikan segala kebaikan dan dijauhkan dari segala keburukan, luar biasa sajadah ini mampu menjadi obat mujarab bagi batinku yang sering memerlukan ketenangan hakiki.
Begitu banyak pengorbanan yang diberikan oleh sajadah lusuh ini, dengan kondisi yang tidak begitu sempurna lagi dia tetap mencoba memberikan layanan yang terbaik kepada para pencari Tuhan, dia tidak perduli dengan semrawutnya benang bordir penghias setiap sisinya, dia tidak pernah peduli lagi dengan warna dan keindahannya dan dia juga tidak pernah mengeluh untuk menahan berat beban manusia yang berdiri di atasnya.
Dengan segenap kebisuannya dia juga mampu menampung air mata pada saat aku menangis terharu karena kekagumanku sekaligus ketakukan pada Dzat Yang Menguasai hidup dan matiku pada saat aku begitu rindu untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad sang pemberi syafa’at.
Sementara di tempat lain masih banyak sajadah yang lebih indah, mahal, empuk dan pasti jauh lebih bagus dari sajadah ini, tapi hanya tersimpan di dalam lemari dan hanya akan dipakai pada saat bulan ramadhan dan menjelang syawal.
Wahai sajadah semoga engkau menjadi saksiku, yaitu saksi yang dapat meringankan azab Allah padaku di hari perhitungan nanti pada saat semua orang sangat sibuk dengan urusannnya masing-masing, karena kami pernah sujud dan menangis di atasmu. Semoga engkau juga menjadi “golden ticket” bagi pak Joko untuk memudahkan beliau agar bisa bisa memasuki surga-Nya……………amin Terima kasih Pak Tri Joko untuk sajadahnya..