Bagaimana rasanya jika kita ingin bertemu orang tua tapi tidak bisa diwujudkan dengan segera? Karena jarak yang jauh dan berbeda kota atau negara, untuk mengurangi rasa rindu kepada mereka paling mudah adalah dengan menelpon. Namun setelah dua tahun saya tak menemui mereka, serasa sarana itu tak lagi mampu menampung kerinduan yang ada. Tentu amatlah berbeda bila kita bisa saling bercerita tanpa melihat ekspresi wajah, bergurau tapi tidak saling bersentuhan, menangis tapi tidak saling mendekap.
Umumnya orang tua memang sangat paham dengan kondisi anaknya yang tengah merantau, apalagi di negeri orang. Mereka tak mengharap banyak, selain keselamatan dan kebahagiaan hidup si anak. Namun melayani orang tua yang sudah mulai melemah adalah cara yang terbaik untuk membalas budi dan ‘membayar’ setiap doa tulus yang mereka kirimkan untuk anak-anaknya.
Selama tinggal di Jepang aku memiliki kenalan dari kalangan lanjut usia. Diantaranya ada empat orang Obaa-san atau nenek yang memiliki hubungan agak spesial. Satu orang guru bahasa Jepang, dua orang tetangga rumah, satu orang lagi volunteer dari kampus tempat suamiku belajar. Ke-empatnya aku hormati dan sayangi seolah-seolah bagian dari keluargaku sendiri. Ada hal-hal yang menarik dari hubungan di antara kami. Sedikit aku ingin menceritakan kebaikan dan pengaruh mereka dalam kehidupan kami di sini.
Yang pertama adalah guru bahasa Jepang-ku sejak satu setengah tahun yang lalu. Ia, Matsubara sensei, adalah seorang guru yang rajin dan sangat disiplin. Berbeda dengan sensei lainnya yang lebih toleran, Matsubara sensei memberiku pekerjaan rumah begitu banyak dan mewajibkan untuk mengerjakannya dengan sempurna.
Dia membantuku bila kesulitan menghubungi instansi-instansi resmi untuk suatu urusan. Saat musim dingin yang pertama kali, ia antarkan beberapa jaket dan selimut tebal. Meskipun bukan barang baru, tapi cukup layak untuk kami pergunakan. Sensei juga mendaftarkan anak-anakku masuk hoikuen (TK dan tempat penitipan anak), dengan mengakumulasi jumlah jam kegiatan-kegiatan kursus yang tengah kuikuti dan membuatkan surat rekomendasi ke kantor balai kota atau syakushoo. Sehingga saat waktunya belajar, aku bisa konsentrasi tanpa rengekan bosan si kecil.
Seolah kepada anaknya sendiri, sensei sering menasehati aku. Ia memberikan kiat-kiat tentang pengasuhan anak dan pengaturan rumah tangga. Kami pun kerap berdiskusi tentang berbagai hal. Diantaranya yang paling serius adalah diskusi tentang ada dan tidak adanya Tuhan. Kami sama-sama kuat memegang prinsip, sehingga diskusi diakhiri dengan menyerahkannya pada diri masing-masing. Aku memaklumi dia yang atheis terlalu mengandalkan rasionalitas untuk membaca kehidupan ini.
“Saputa-san, kamu percaya Tuhan karena sudah dicekoki semenjak kamu masih kecil. Jika kamu percaya Tuhan itu ada, suruh Tuhan menghidupkan kembali hewan-hewan yang telah punah, supaya siklus kehidupan bisa memelihara keutuhan bumi,” katanya dengan yakin.
“Tapi, Sensei…,”dengan kemampuan bahasa Jepang yang minim aku berusaha menjelaskan pandanganku padanya. Dan kuasa Allah-lah yang membuat hatinya masih tertutup.
Namun diam-diam aku mengaguminya…. Dia, yang sangat prihatin dengan budaya minum sake pada bangsanya sendiri, memiliki semangat belajar yang tinggi dan masih melanjutkan studi meskipun usianya sudah lima puluh tahun lebih. Rumah tangganya yang broken home pun membuat ia mandiri dan tegar dalam mengasuh kedua anaknya hingga dewasa.
Kenalan lainnya adalah dua orang nenek yang tinggal tidak begitu jauh dari apartemen kami. Pertama kali mengenal mereka di balai warga tempat kursus bahasa Inggris. Ternyata kelas yang aku masuki adalah kelas yang guru dan pesertanya adalah orang Jepang yang rata-rata usianya lebih dari separuh abad.
Awalnya aku hanya ingin sit in saja dan mencari kelas yang lebih dinamis. Tapi kemudian ku-urungkan dan terus mengikuti kelas tersebut hingga kini. Setelah mengetahui Kojima-san dan Junko-san adalah pemilik kebun sayur di depan apartemen kami.
“Datanglah ke rumah saya. Saya akan berikan se-pot bunga anggrek untukmu,” pinta Kojima-san hari itu. Wah, ada nilai plus jika terus membina hubungan dengan mereka, pikirku.
Benar saja, selain diajari berbagai masakan khas Jepang dan dihadiahi sayur-mayur jika musim panen tiba, aku juga diajak mengenal ‘sisi dalam’ kehidupan mereka. Ternyata, mereka adalah ibu dan nenek yang sangat kesepian. Kehidupan Jepang yang sibuk membuat anak dan cucu mereka jarang berkunjung.. Bila mereka sakit dan ingin berobat, hanya ada taksi atau ambulan datang menjemput. Bertahun-tahun mereka lalui hidup dengan berkawan sepi. Oleh karenanya, untuk membunuh rasa sepi itu mereka berkarya lewat tanaman sayuran dan tanaman bunga di pekarangan.
Sementara volunteer -ku sangat banyak jasanya. Iku-chan– biasa kami memanggilnya- telah membantu kami sekeluarga beradaptasi dengan berbagai hal, khususnya pengenalan bahasa dan budaya Jepang, urusan kesehatan dan sekolah anak. Dua kali seminggu ia datang ke rumah menemani aku ngobrol, dan aku membuatkan berbagai macam makanan khas Indonesia untuknya. Ia yang mengaku tidak pandai memasak sangat menggemari makanan-makanan yang kuhidangkan.
Yang paling berkesan adalah saat aku tengah mengidam anak ke-empat. Saat-saat yang berat itu, Iku-chan dengan setia menemani kontrol ke rumah sakit. Dengan kemampuan bahasa Jepang-ku yang masih jauh dari bisa, dialah yang membantu urusan-urusan administrasi dan lain-lainnya. Dia pula yang sigap dan penuh perhatian saat kontraksi bayi sudah mengarahkan pada kelahiran. Seperti ibu sendiri, ia menggosok-gosok punggung dan menggengam tanganku erat, ketika menahan mulas.
Memang Iku-chan semestinya sudah mempunyai cucu. Sayang, dua anak laki-lakinya yang berusia hampir sama denganku belum juga naik ke pelaminan. Mereka bahkan jarang menjenguk ibunya, karena alasan pekerjaan dan tempat tinggal yang berbeda kota. Iku-chan pernah mengeluh sulitnya mengobati rindu kepada kedua buah hatinya itu.
“Susahnya…, punya anak tapi jauh. Pekerjaan dan teman-teman lebih mereka prioritaskan dari pada orang tua. Datang hanya saat golden week, itu pun cuma semalam. Entah kapan mereka menghadiahi aku cucu….” Matanya berlinangan.
Itulah sebabnya, mengapa Iku-chan begitu senang bermain dengan ke-empat anak-anak kami. Dan mengajak kami sekeluarga menjenguk ibunya di desa.
Ibunya Iku-chan tampak bahagia dan full smile tatkala kami mengunjunginya, matanya berkaca-kaca…. Semua makanan yang ia miliki dihidangkannya. Namun sebagiannya tidak halal bagi kami memakannya. Dia pun asyik mengobrol dengan anak-anak kami. Seperti layaknya lebaran di Jakarta, uang anpaw pun mereka berikan pada tiap anak. Belum lagi oleh-oleh kue dan buah-buahan.
Hari ini aku membuat masakan khusus untuk mereka. Sejak pagi aku memasak sambal goreng udang dan telur puyuh, donat, dan lumpia. Akan kupersembahkan untuk mereka menyongsong liburan golden week, hari libur sepekan di awal bulan Mei, yang biasanya orang Jepang mengisinya dengan mengunjungi para orang tua mereka.
Aku berharap dengan persahabatan ini bisa mengasah hatiku untuk hormat dan sayang kepada para orang tua dan mengisi kantung-kantung kerinduan dan rasa ingin berbakti kepada ibu dan bapak.
"Dan sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua …" (QS. An Nisa’ 36)
*Ditulis di Okayama 29 April 2009