Pada sore hari yang mendung, aku duduk membaca berita dari surat kabar pagi yang baru sempat dibaca sore harinya. Sedih, membaca cerita ada orangtua yang hendak membunuh anaknya dengan alasan karena mereka hidup miskin. Sambil beristigfar hatiku berbisik lirih, ternyata kemiskinan telah membutakan mereka membawa mereka menjadi orang yang kufur bahkan bisa menjadi kafir. Naudzubillah.
Dari kejauhan terdengar suara bapak penjual gorengan berteriak-teriak menjajakan gorengannya. ”Comro, Misro…, nasi uduk, tempe goreng…” Suara si bapak tedengar begitu keras mengagetkan lamunanku. Segera kumemanggilnya ”Comro dan misro pak..!”.
”Oke Mbak.!” si bapak menghampiriku.
”3 ribu aja pak, sebentar saya ambil piringnya ” sahutku sambil lari ke dalam rumah mengambil piring. Sedangkan anakku yang berumur 2 tahun malah lari keluar mendekati si bapak, mereka memang sudah akrab bahkan anakku memanggil bapak penjual gorengan itu dengan panggilan Pak De.
Ketika aku kembali sampai di tempat mereka berada mereka sedang bercanda ria. ”Ini bu, saya tambahin dua misronya, bonus…” katanya sambil tersenyum ramah. Seperti biasa bapak ini memang selalu memberiku bonus. ”Makasih pak…” jawabku sambil mengigit misronya.
Rasa manis misro itu membuatku lupa akan cerita pahit yang baru saja kubaca dari surat kabar tadi. Manis tutur kata dan perilaku bapak penjual gorengan itu yang selalu dihadirkan pada setiap pembelinya, seolah menutupi pahitnya kisah hidupnya sendiri. Pak Pardi nama beliau, umurnya sudah tidak muda lagi, kuperkirakan sudah kepala lima. Pak Pardi tinggal di kampung yang letaknya bersebelahan dengan kompleks perumahakn di mana aku dan keluargaku tinggal, Pondok Jaya nama kampung itu. Dari kompleksu ada jalan akses yang bisa langsung menuju kampung pondok jaya, tak heran jika Pak Pardi dengan leluasa bisa berdagang di kompleks, karena memang jaraknya dekat sekali.
Kisah pahitnya kehidupan Pak Pardi dan keluarganya berawal saat kompleks perumahanku ini mulai dibangun. Banyak sekali tukang bangunan yang bekerja membangun rumah-rumah di komplek. Pak Pardi dan isterinya berjualan nasi, sayur, lauk-pauk dan makanan-makanan kecil lainnya untuk melayani kebutuhan makan dari para tukang bangunan dan mandornya di kompleks itu.
Para pekerja bangunan itu dibayar secara borongan jika pekerjaan mereka sudah selesai, sehingga untuk membayar makan mereka harus berhutang dulu kepada Pak Pardi dan isterinya, tidak ada jaminan apa-apa dalam hutang itu, hanya bu Pardi tiap hari mencatat siapa-siapa saja yang berhutang dan berapa jumlah hutangnya per hari. Proyek pembangunan itu berjalan kurang lebih satu tahun, dan selama itu pula para tukang bangunan itu belum membayar hutangnya pada Pak Pardi dan Bu Pardi, hanya ada segelintir tukang yang mau membayar hutangnya itupun hanya dibayarnya sebagian saja. Sementara untuk modal dagang sehari-hari Pak Pardi mengambil hutang dari bank keliling alias rentenir kampung.
Nasib sial dialami Pak Pardi dan isterinya ketika mereka sudah kehabisan modal dan sudah terjerat banyak hutang dari rentenir, mereka pun berniat menagih hutang-hutang para tukang bangunan dan mandor-mandor yang sering makan dari warung mereka, akan tetapi hampir semua tukang dan mandor itu sudah pergi, tidak berada di wilayah komplek lagi, kabur tanpa kabar, karena ternyata proyek pembangunan rumah sudah selesai. Pak Pardi dan isteri tertipu. Shock tentu saja mereka, apalagi hutang dari rentenir itu sudah beranak pinak bunganya.
Akhirnya mereka terpaksa menjual rumah mereka untuk melunasi hutang-hutang itu. Dan mereka menyewa rumah petak tepat persis di depan rumah yang telah mereka jual itu. Betapa sedih mereka setiap hari harus menghadapi kenyataan bahwa rumah yang tepat berada di rumah petak kontrakannya itu dulunya adalah rumah mereka. Aku hanya tertegun, ikut merasakan kesedihan mereka, ketika Bu Pardi dan suaminya menceritakan kisah hidupnya kepadaku ketika awal aku pindah ke ke komplek itu.
Sambil memasukkan kayu bakar di tungku penggorengan di ruma petaknya Bu Pardi sesekali terisak menangis. ”Beginilah Mbak, bodohnya saat itu kami terlalu percaya begitu saja kepada para tukang bangunan itu, ternyata mereka kurang ajar semua, bahkan mandor kontraktornya pun tidak mau bertanggung jawab..” kata Bu Pardi.
”Kami yakin ini takdir sih Mbak, namun kami juga tidak mau pasrah begitu saja tanpa usaha, kami sudah berusaha mencari-cari keberadaan para tukang bangunan ini, tapi nihil hasilnya, karena mereka semua sudah pulang ke jawa…” sahut Pak Pardi menambahkan.
”Sekarang kami sudah tidak punya apa-apa lagi mbak, setelah satu-satunya harta yang kami miliki telah kami jual untuk membayar hutang dari rentenir, terpaksa kami menyewa rumah petak kecil ini.” tutur bu Pardi sedih.
Mereka juga menyebutkan jumlah kerugian yang mereka alami yang mencapai puluhan juta rupiah. Tak heran aku mendengar jumlahnya, karena jika satu orang saja sehari makan minimal dua kali dia akan berhutang sepuluh ribu rupiah per hari maka jika dia hutang selama setahun sudah satu setengah juta lebih totalnya. Dan itu masih harus dikalikan dengan jumlah tukang yang berhutang yang berjumlah puluhan orang.
Hari-hari berlalu, musibah yang dialami keluarga Pak Pardi mereka hadapi dengan sabar. Mereka juga berusaha bangkit perlahan-lahan untuk kembali berjualan gorengan. Kini merka berjualan di lingkungan komplek kami. Dengan menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu, wajah-wajah ceria dan ramah selalu menghiasi wajah Pak Pardi maupun Bu Pardi, mereka adalah orang-orang yang kuat dalam menghadapai cobaan hidup.
Aku harus bisa memetik pengalaman hidup mereka sebagai sebuah hikmah agar bisa meniru kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan. Allah SWT telah berfiman ”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ”Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan secara sempurna dan rahmat dari tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ” (Al-Baqarah: 155-157).
Seorang muslim yang benar adalah seorang yang mampu menanggung musibah-musibah yang dialaminya dengan teguh dan sabar dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan hikmah yang terbaik untuknya. Seorang yang beriman, tentu mengetahui bahwa takdir Allah swt akan menjadi kebaikan baginya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pahala dari sabar adalah surga. Anak, Isteri/Suami dan harta benda yang kita miliki bisa merupakan ujian dari Allah SWT dan jika suatu saat Allah berkehendak menguji atau bahkan mengambilnya kembali, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali bersabar dan tidak lantas berputus asa.
Rasulullah SAW telah memperingatkan kita agar tidak berputus asa, karena dengan berputus asa, seseorang justru akan menyiksa diri sendiri. Lihatlah kasus orangtua yang membunuh anaknya karena mereka miskin, itu adalah salah satu contoh orang yang berputus asa dari rahmat Allah. Seandainya mereka mau berusaha, Insya Allah, Allah akan membukakan pintu rezekinya untuk mereka. Namun jika mereka hanya berputus asa bahkan sampai membunuh anaknya, saya yakin justru mereka akan menderita, selain mendapat dosa, batin mereka akan tersiksa.***