Saat Resah Saat Kembali

Kematian adalah gerbang keabadian, adalah adegan pembuka kisah paralel, adalah segala entah. Hari ini aku menelusuri selasarnya. Labirin waktu menorehkan tanya pada masa lalu yan hilang. Sebuah jawab tersembunyi di balik dongengan pengantar tidur atau sekedar pengisi waktu. Keterkejutan menggugat cemas pada ketakutan detak jantung yang merobek jadwal kerja, mengahntam dinding rutinitas, mengangakan rongga gamang.

Hari ini aku menelusuri kelam. Hilang jejak, hilang bayang. Menyadari kesendirian tawa dan tangis. Tak lagi bisa berpikir apa-apa tentang mereka, sebab Kau telah menunggu di sana dalam Keagungan, dalam Kesenyapan, dalam segala Maha.

***

Secara psikologis, ada yang berbeda pada yang saya pikir setelah cek kesehatan itu. Saya memandang orang-orang sekitar dengan pesimis: berapa banyak di antara mereka yang divonis punya jantung bermasalah atau akan bermasalah di masa-masa mendatang? Tanpa disadari kadang saya memegang dada sebelah kiri di mana jantung saya terletak di dalamnya.

Ya, berdasarkan cek kesehatan itu dokter memberitahu: jantung saya bermasalah. Tepatnya salah satu klep jantungsaya tidak berfungsi secara optimal karena ada semacam bakteri yang menghalangi. Itu yang membuat saya sering terengah-engah bila berjalan agak cepat atau pada jalanan yang menanjak. Penyebabnya — menurut dokter itu lagi — adalah penyakit masa kecil yang tidak tuntas pengobatannya. Solusinya? Operasi! Kalau tidak? Saya tak punya waktu lebih dari 5 tahun! Masya Allah! Membayangkannya saja sudah membuat keringat dingin bercucuran. Belum lagi soal biaya dan hal-hal teknis lainnya. Lunglai saya keluar dari bagian poli jantung rumah sakit itu.

Terbayang wajah seorang wanita yang sudah 11 tahun mendampingiku serta 2 jagoan kebanggaanku. Lantas saja bayang-bayang kematian seperti hendak menegaskan sosoknya di hadapanku. Ketakutan terus berusaha mengakrabi hari-hariku. Saya menggugat: Allah kenapa harus saya? Saya baru menemukan ‘ladang kehidupan’ keluarga. Saya memiliki 2 orang anak yang masih sangat membutuhkan keberadaanku. Bagaimana isteriku jika ia harus mengurus segalanya sendirian? Dan selaksa gugatan ‘duniawi’ semacam itu. Semuanya kutumpahkan saat berada di rumahNya.

Selama ini kita tentu sering mendengar bahkan menyaksikan peristiwa kematian, baik mengenai orang lain maupun kerabat dan sahabat. Selama itu pula kita kemudian meyakini bahwa suatu saat kematian itu bakal menghampiri kita. Namun pernahkah kita benar-benar memikirkannya bila saat itu tiba tanpa memperdulikan keadaan di sekitar kita serta orang-orang yang kita cintai dan sayangi pasca ‘kepergian’ kita. Disadari atau tidak, kematian menimbulkan rasa takut atau paling tidak kekhawatiran tentang orang-orang dekat yang akan kita tinggalkan. Ya! Kadang kita memikirkan keabadian — sesuatu yang mustahil! Nothing last forever, sejatinya tidak ada yang abadi di dunia ini.

Terus saja saya memikirkan tentang penyakit ini yang semakin hari saya rasakan bertambah-tambah. Saya sulit tidur. Malam hari terasa begitu mencekam, khawatir diri tak lagi bisa menikmati sinar matahari esok. Sementara saya tidak melakukan apa-apa. Bagaimana semuanya akan menjadi lebih baik? Saya hanya berkubang pada kesedihan, ketakutan, kecemasan, dan semacamnya. Di penghujung kebuntuan itu, saya ingin bertamu ke rumahNya. Hal yang lama sekali tidak saya lakukan. Bukan dalam pengertian yang dzahir, tapi lebih pada penelusuran batin.Bukankah segalanya bersumber dari yang Maha Sumber? Mungkin saja selama ini saya tidak menyadari bahwa langkah semakin jauh dari jalan pulang. Segala shalat saya dirikan, tapi berapa di antaranya yang benar-benar hati juga turut menghadap padaNya? Jasad boleh jadi takjim di atas hamparan sajadah tapi pikir dan rasa mengembara dan mengabaikanNya. Hitung, hitung lagi! Berapa hari yang hangus dibakar nafsu dan kesia-siaan? Sementara kesempatan yang ada mungkin tak lagi banyak.

Di tengah diri melakukan perenungan, gendang telinga seperti mendengar seruanNya, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. 10: 57) ..".dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang." Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." (QS. 21: 83-84)

Astaghfirullahal adziim….saya merasa malu, menyadari betapa lemahnya diri ini. Terlalu mudah tergelincir oleh hal-hal ‘sepele’.Sekali saja ‘diguncang’ langsung sempoyongan tak beraturan. Seharusnya saya bersyukur diberi kesempatan untuk lebih menyadari keberadaan Allah. Betapa cenderung sulit mengingatNya saat-saat bahagia, menginginkan sebuah keabadian.Padahal seharusnya saya banggaDia telah ‘memilihku’. Peristiwa ini bisa dijadikan sebuah titik balik untuk merestrospeksi diri. Lantas saja saya tersungkur sejadi-jadinya. Saya yakin semuanya bermula dari hati ini, dari batin ini, dari nurani ini.

Ya Allah! Jika ada yang tak terjawab, sesungguhnya Engkau Maha Tahu. Jika ada yang tak terucap, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar. Jika ada yang tak termaafkan, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun. Jika ada yang tak terkalahkan, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa. Jika ada yang tak diinginkan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa.

Padasegala jika yang mengejawantah dalam kecemasan, dalam ketakutan, pada kenisbian diri di hadapanMu, pada keterbatasan seorang hamba, jiwa pasrah pada skenarioMu ya Allah. Menjalani adegan yang mengalir, bergerak pada scene-scene panjang, sampai kau teriakkan CUT! Dan, sungguh, Engkau Maha Ada.

***

Hampir satu tahun berlalu. Saya kemudian mendapatkan informasi tentang sebuah tempat pengobatan alternatif — pusat bekam (hijamah) dan ruqyah. Saya telusuri segala sesuatu yang berhubungan dengan tempat itu lewat internet. Jelas saya ingin sehat, tapi yang lebih penting aqidah terjaga. Setelah yakin, saya bersilaturahmi ke tempat itu. Dan, Alhamdulillah, sepertinya saya tidak salah pilih. Sebuah pencerahan saya dapatkan. Bahwa persoalannya memang lebih banyak kepada urusan psikis. Terbukti dengan saya mencoba untuk ‘menata ulang’ kondisi batin dengan bersungguh-sungguh sering mengunjungi rumahNya, saya mendapatkan ketenangan. Saya tidak lagi risau dengan penyakit walau bukan berarti mengabaikannya. Bukankah yang terpenting adalah proses? Hasil merupakan ekses dari proses. Dan keluhan-keluhan fisik pun mulai berkurang. Alhamdulillah. Saya kembali meraih keoptimisan setelah selalu mengingat jalan ‘pulang’.

Saat inilah Allah, aku hampiri lagi berandaMu. Ingin bercerita banyak lagi pada kaca jendelaMu. Setelah kulampaui perjalanan panjang yang hanya lahirkan kekosongan.

Di sinilah Allah, aku membaca jiwa. Tuturkan sebuah pengakuan dan pengharapan padaMu.

Ya, dalam keadaan begini Allah, ketika aku tiba pada ksendirian, kutemui lagi jalan ke rumahMu.

Jayagiri, Mei 2008

[email protected]