Mertuaku boleh dibilang termasuk keluarga Jepang moderen yang lumayan moderat. Oto San adalah profil pengusaha sejati yang cermat, teliti dan berwibawa; tapi sekaligus pemalu dan sangat tegas untuk urusan-urusan yang berbau tradisi keluarga besarnya.
Sedangkan Oka San dimataku adalah profil seorang Ibu yang penuh cinta dan suka bekerja keras. Karena cintanya yang besar pada suami dan anak-anakku pula, dia selalu belanja daging halal untuk stok saat kami datang. Dia juga rajin sekali berburu makanan & camilan yang bahan dasarnya aman buat kami.
Siang itu, Oka San datang ke tempat tinggal kami dan bercerita bahwa ia dan Oto San sudah ikut mendaftarkan diri ke Seminar Empat hari yang membahas tema-tema seputar Islam di Tenjin. Seminar tersebut dilaksanakan seminggu sekali, setiap hari Selasa sore selama empat pekan berturut-turut. Para pembicara adalah dosen dari berbagai Universitas seperti Kyoto, Ritsumeikan, dan lain-lainnya.
Aku terkejut mendengarnya karena bahkan Oka San rela meninggalkan jadwal les karaokenya selama 4 kali berturut-turut bulan ini. Rasanya ingin sekali menanyakan alasan mereka mengikuti seminar tersebut, tapi lidahku terasa kelu dan tak punya cukup nyali.
Setelah seminar pekan pertama, Oka San bertutur bahwa dia merasa lebih mudah memahami kenapa orang Islam harus sholat 5x sehari, makna ibadah haji, dan lain-lain. Yang membuatku sedikit was-was adalah kesan dia yang mendalam tentang daging babi. Beliau berkata dengan senyum yang menurutku penuh misteri & tidak seperti biasanya “Ternyata walaupun kamu makan daging babi tapi kamu tidak tahu, Kami Sama memaafkan kamu ya?”
“Ehm…” aku merasa ada yang kurang tepat dalam pemahamannya tapi bingung bagaimana harus mengungkapkannya. Kebetulan juga tak lama kemudian teman-teman tafsir berdatangan jadi pembicaraan terputus begitu saja.
Pertanyaan Oka San terus terngiang-ngiang di pikiranku. Aku ingin sekali mendapat penjelasan lebih akan kata tidak tahu dalam konteks pemahaman Oka San; namun terpaksa kupendam keinginan tersebut sambil mencari waktu yang tepat.
Waktu yang kutunggu-tunggu itupun tiba juga. Kebetulan sekali minggu lalu kami datang kerumah mertua dan makan malam bersama. Menjelang selesai acara makan, tiba-tiba Oto San berujar:
“Umi San, seminar tentang Islam yang kedua kemarin menarik sekali loh”
“Oh ya, apa yang paling menarik?” tanyaku penuh rasa ingin tahu
“Ternyata dalam Islam berlaku sistem keseimbangan ya?”
“Maksud Oto San?”
“Itu loh, misalkan kita berbuat buruk, tapi kemudian diikuti dengan perbuatan baik; berarti jadi zero kan? Karena perbuatan buruknya terhapus oleh perbuatan baik!”
“Hemmm…..” kataku mencoba mencari jawaban yang tepat; belum selesai aku berpikir mertuaku sudah menyambung lagi.
“Hidup ini kan tidak harus selalu lurus-lurus saja nanti hidupnya jadi omoshiroikunai; sekali-kali kali berbuat salah atau buruk juga tidak apa-apa biar hidup ini jadi menarik”
“Hemmm…” kataku sambil menunggu komentar berikutnya…
“Makanya, kita sedikit berbuat buruk yuk! Habis itu kita berbuat baik lagi biar seimbang”
Kontan aku tertawa meskipun sudah kucoba untuk menahannya.Untung saja mertua laki-lakiku ini orangnya tidak cepat tersinggung dan mau mendengarkan argumentasi yang menurutnya masuk akal.
“Nggak bisa begitu, Oto San, manusia itu meskipun tanpa diniatkan untuk berbuat salahpun pasti dalam hidupnya akan sering berbuat salah” kataku mencoba memberikan penjelasan yang tidak terlalu sulit “Kalau saya, yang paling saya takutkan adalah justru hati dan apa yang ada di kepala saya” sambungku yang ingin mengungkapkan tentang hawa nafsu tapi takut konsep yang kuberikan sulit diterima mereka.
“Bisa saja kan, semua orang berpikir dan melihat saya berbuat baik; padahal mungkin dalam hati saya berbuat demikian hanya karena ingin dapat pujian dan bukan karena Kami Sama. Dan bila itu terjadi, berarti nilai perbuatan baik saya gagal” Kedua mertuaku tampak agak terpana dengan uraianku dan melihatkan mimik berpikir.
“Padahal, yang tahu sebenar-benarnya isi hati dan kepala manusia itu hanya Kami Sama saja….dan disinilah menurut saya letak ujian hidup dan tantangan yang sebenarnya; agar manusia selalu memperbaharui perbuatan baiknya karena yang tahu nilai perbuatan kita hanya Kami Sama saja…”
Mereka tampak sedikit tercenung mendengar uraianku tapi Oto San segera menyahut
“Nggak usah begitu lah Umi San; Kami Sama itu kan Maha Besar jadi jangan sesempit itulah dalam menterjemahkan perintah Kami Sama, biar hidupmu menarik dan tidak stress. Jadi, sekali-kali kita minum bir sama-sama yuk, terus nanti berbuat baik lagi”
“Wah, zetai nomimasen!” kataku sambil tertawa.
“Kalau begitu makannya tidak usah terlalu strict yuk, biar bisa sering makan sama-sama diluar, happy…” bujuk mertuaku mencoba mempengaruhiku
“Oto San, buat saya kebahagiann saya yang sejati itu kalau saya dapat tetap menjaga semua yang diamanatkan oleh Kami Sama; kalau tidak saya malah stress” imbuhku sambil tersenyum.
“Kenapa sich, Umi San makanannya kok selektif banget padahal ada banyak kelonggaran?”, tanya mertuaku antara gemas dan penasaran
“Hem…” kataku sambil tersenyum. Lalu dengan hati-hati aku bilang:
“Oto San, menurut saya apa yang saya makan itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan hati saya. Saya percaya bahwa kalau saya selalu makan sesuatu yang tidak diperbolehkan, nanti saya akan merasa kesulitan untuk mendengar hati nurani saya saat saya dalam kebimbangan”
Aku melanjutkan lagi (membidik Oka San) “Memang ada sih, saat-saat terpaksa dan tidak ada alternatif lain sama sekali; misalkan bila kita tidak makan makanan tersebut jiwa kita melayang, maka makanan yang sebenarnya tidak bisa dimakan itu bisa berubah status hukumnya menjadi boleh dimakan. Dan Kami Sama akan memaafkan hal tersebut” InshaAllah (tambahku dalam hati).
Kedua mertuaku tersenyum penasaran, “Tapi Umi San, sepertinya orang-orang tidak begitu kibishi seperti itu jadi hidupnya enak-enak saja”
“Ya, itulah Oto San, saya percaya bahwa hidup itu adalah pilihan; dan tiap pilihan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya lengkap dengan imbalannya sesuai pilihan kita” jawabku diplomatis. Mertuaku mengembangkan senyum yang sulit sekali kutebak maknanya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya antara mengangguk dan menggeleng. Habis itu beliau menenggelamkan diri dengan bermain bersama kedua anakku.
Diskusi malam itu berakhir, dengan meninggalkan berbagai kesan buatku. Mertuaku yang kelihatan mencoba berpikir keras untuk meresapi dan sekaligus memberikan argumen balik terhadap jawaban yang kuberikan; dan suamiku yang sedari awal diskusi hanya mendengarkan penuh perhatian sambil sesekali tertawa kecil. Si Bungsu 3 tahun yang seolah mengerti kalau Ibunya sedang menikmati diskusi Islam, dan sesekali menyela “Ibu, Nabi Nuh itu yang bikin kapal kan?” atau “Ibu yang membuat Nabi Nuh itu Allah ya?” Hatiku jadi tak sabar lagi menunggu seminar ketiga minggu depan dan mendengarkan kesan lanjutan dari mertuaku tentang Islam.
“Ya Allah, berikanlah hidayah-Mu kepada kedua mertuaku” doaku dalam hati. Bila itu terwujud, pasti akan merupakan karunia terindah dalam hidup suamiku yang sering berada di posisi dilematis antara cinta & baktinya pada orang tua, dan tanggung jawabnya terhadap pilihannya (Islam) yang sering membuat dia terpaksa harus berseberangan dengan mereka.
Februari, 2009
Terjemahan bebas
– Oto San = ayah
– Oka San = ibu
– Omoshirokunai = tidak menarik
– Kami Sama = tuhan
– Zetai nomimasen = tidak akan pernah mau minum
– Kibishi = kaku, strict