Asep Supardi (11 bulan) terbaring lemas tak bersuara dengan lilitan selang yang menyambung ke tabung oksigen dan satunya lagi ke botol infus yang berjumlah dua botol. Tak ada tanda-tanda kalau Asep dalam keadaan bernapas yang menandakan kalau dia masih hidup. Setelah suster menyingkap bajunya yang mungil, dan tidak berapa lama datang dua orang dokter untuk memeriksa keadaannya. Di sampingnya, berdiri terpaku kedua orang tua Asep dengan mata sembab bercampur lelah menunggu dengan harap-harap cemas. Sampai akhirnya, sang dokter menyatakan kalau Asep sudah kembali ke haribaan sang kholiq.
Begitu kira-kira ringkasan berita harian umumnasional yang spontan mengaduk-aduk perasaan ini. Sedih, kesal, marah, jadi satu. Tak terasa air mata yang terpancar dari kedua mata pasangan suami isteri yang tidak lain kedua orang tua Asep, seperti mengalir melewati pipa-pipa yang terjalin antara hatinya dan hatiku, mataku pun berair. Ya, aku turut merasakan betapa sedihnya mereka. Kehilangan seorang anak yang pasti sedang lucu-lucunya. Entah, apakah Asep anak tunggal mereka atau bukan, yang jelas tidak ada orang tua yang tidak sedih jika anaknya pergi untuk selamanya.
Aku membaca lebih jauh lagi berita tersebut. Ternyata Asep tidak sendiri. Sejak beberapa hari yang lalu sudah cukup banyak korban penderita diare atau demam berdarah yang meninggal dunia. Dan mereka semua rata-rata balita bahkan terhitung masih bayi. Banjir yang melanda Jakarta beberapa hari yang lalu menimbulkan nestapa baru bagi penduduk Jakarta, khususnya mereka yang hidup di bawah garis rata-rata kehidupan normal. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum lega napas mereka karena banjir yang telah meluluhlantakkan rumah dan segala isinya yang mungkin mereka dapatkan dengan bekerja keras mulai surut. Muncul wabah penyakit yang menyerang kehidupan mereka, sehingga dengan kembali menarik napas lagi mereka berjuang untuk dapat mengalahkan wabah tersebut.
Tidak ada pilihan lain, mereka pun memilih rumah sakit umum milik pemerintah daerah yang keadaannya sudah tidak layak untuk disebut sebagai rumah sakit. Pasien bertebaran di sana-sini, tenda untuk menampung pasien juga sudah penuh sesak dengan pasien dan para penunggunya, lorong-lorong, teras, lobby, semuanya penuh.
Pikiranku melayang, membayangkan nasib mereka yang berada di dalamnya. Satu perntanyaan muncul dalam benakku. Apakah hal ini terjadi di rumah sakit lainnya? Kubuka lagi lembaran koran tersebut, ternyata semua rumah sakit umum milik pemerintah daerah sudah dipenuhi para penderita dua jenis penyakit tersebut. Oh, Tuhan, cobaan apa lagi yang Kau berikan kepada hamba-hamba-Mu itu. Kenapa mereka yang hidup di bawah garis ”normal” yang acapkali berteman dengan bencana. Begitu pertanyaanku kepada Tuhan.
Kalau semua rumah sakit umum tersebut penuh sesak dengan para penderita penyakit diare dan demam berdarah, maka bisa dipastikan masih banyak lagi penderita yang akan menemui ajalnya. Kembali kubaca berita itu. Penasaran hati ini, apa sih yang menyebabkan mereka bisa tidak tertangani dengan baik?
Kurangnya dokter dan paramedis menjadi salah satu sebab kurang optimalnya pelayanan terhadap pasien. Terlebih lagi jika hari mulai beranjak malam. Tidak lebih dari dua orang dokter saja yang menunggu pasien-pasien tersebut.
Keterlaluan, pikirku.
Pertanyaan susulan muncul lagi melintasi pikiranku yang sedang gundah. Bagaimana dengan rumah sakit swasta yang di dalamnya banyak dokter-dokter klimis berpraktek? Apakah rumah sakit swasta yang tersebar di seluruh penjuru Jakarta juga penuh sesak oleh pasien penderita diare dan demam berdarah? Pengalaman dan cerita teman atau saudaraku mengiang di alam pikiranku yang membuatku semakin tidak mengerti. Sepengetahuanku, rumah sakit swasta menjadi sangat eksklusif bagi kalangan bawah. Mereka tidak mampu untuk membawa anggota keluarganya berobat ke rumah sakit swasta karena alasan tidak punya biaya. Dengan begitu, rumah sakit swasta tetap sepi dari pasien yang berasal dari kalangan bawah yang diterpa badai penyakit diare dan demam berdarah.
Dengan sedikit menyimpan rasa kesal, aku berkhayal. Jika aku menjadi seorang pengusaha dengan kekayaan yang melimpah, aku akan membangun beberapa rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap dan ditunjang oleh dokter-dokter yang pintar, cakap, ramah dan bertanggung jawab. Pelayanan di rumah sakitku meliputi mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Paramedis yang dengan manis serta tulus merawat pasien yang datang serta manajemen yang berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat. Rumah sakit tersebut akan kuberi nama ”Rumah Sakit Untuk Semua”. Rumah sakit itu tidak hanya terletak di kota-kota yang ramai, tapi juga tersebar di seluruh desa-desa yang ada di Indonesia. Pokoknya targetku adalah memiliki rumah sakit di setiap desa yang ada di seluruh Indonesia.
Kenapa namanya seperti itu?
Rumah sakit ini aku tujukan untuk semua orang, mulai dari masyarakat yang berasal dari lapisan paling bawah sampai mereka yang berada nun jauh di atas. Rumah sakitku juga tidak mengenal perbedaan agama, suku, ras dan jenis kelamin. Semua memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan terbaik.
Hal ini berawal dari kekesalanku terhadap kebijakan sejumlah rumah sakit swasta yang beroperasi. Boleh dong aku kesal dengan sejumlah rumah sakit swasta yang dengan arogan berdiri megah di tengah-tengah penderitaan kalangan bawah yang hanya bermimpi untuk bisa berobat ke sana. Praktis mereka hanya dapat dijangkau oleh kalangan berduit yang tidak pernah mempermasalahkan biaya berobat yang setinggi langit, asalkan fasilitasnya mirip dengan fasilitas hotel bintang lima.
Oh, iya, semua ruangan rawat inap aku buat dengan fasilitas VIP standard internasional yang berjumlah minimal dua ratus kamar. Jika pasien membludak, dengan terpaksa satu kamar paling banyak diisi dengan dua pasien. Fasilitas gawat darurat buka 24 jam sehari tanpa mengenal hari libur dan dilengkapi sedikitnya sepuluh unit mobil ambulan dengan faslitas ala 911. Mobil ambulan tersebut harus siap siaga setiap saat dan bersifat menjemput bola. Jadi tidak hanya diam di tempat tapi berkeliling ke daerah-daerah penduduk.
Untuk kemudahan dalam mengakses mobil tersebut, akan disosialisasikan nomor telepon bebas pulsa yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk memanggil ambulan tersebut dan akan sampai kurang dari setengah jam ke rumah atau tempat mereka yang memanggil.
Pelayanan serba nomor satu sudah menjadi syarat mutlak buat rumah sakit milikku. Tidak ada birokrasi yang berbelit-belit untuk pendaftarannya. Masyarakat cukup datang dan langsung menuju ruang tunggu dokter. Biar para pegawaiku yang akan menghampiri mereka untuk dicatat namanya dalam buku status. Jika pasien yang datang harus menjalani rawat inap, mereka langsung dibawa ke kamar yang sudah disiapkan tanpa membayar uang muka di frontdesk yang menjadi sebuah keharusan di beberapa rumah sakit lain.
Mengenai biayanya, aku menetapkan kebijakan untuk masyarakat kalangan bawah yang memiliki uang pas-pasan, silakan membayar sesuai dengan kemampuannya. Jika tidak sanggup membayar sama sekali, maka salah satu anggota keluarganya yang sehat jasmani dan rohani harus membayar dengan cara bekerja di rumah sakit tersebut selama tiga hari. Mereka bebas menentukan kapan bisa bekerja sebagai pengganti biaya yang dibebankan. Dengan fasilitas makan selama bekerja. Jika masuk pagi, akan mendapatkan snack dan makan siang. Jika masuk siang akan mendapat snack dan makan malam. Pekerjaan untuk mereka pun disesuaikan dengan kemampuan mereka.
Kenapa aku menjalankan kebijakan seperti itu? Karena aku tidak mau menjadikan mereka seperti orang yang tidak memiliki tanggung jawab sosial, karenanya mereka aku berikan pilihan yang tentu tidak memberatkan. Dengan begitu mereka pun akan merasa memiliki rumah sakit yang kubangun.
Untuk pasien yang berasal dari kalangan orang berada atau menengah ke atas, mereka harus membayar full biaya yang dibebankan terhadap mereka. Tentu pelayanannya sama dengan mereka yang berasal dari kalangan bawah. Tiada beda sedikit pun.
Satu hal yang akan aku tekankan, jika ada dua orang pasien yang satunya berasal dari kalangan menegah ke atas sementara lainnya merupakan orang yang tidak mampu dan mereka harus menjalani rawat inap di rumah sakitku, tapi ruangan yang tersedia hanya cukup untuk satu pasien, maka aku akan mendahulukan pasien yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Kenapa?
Aku berpendapat, jika pasien yang dari keluarga miskin tersebut yang aku tolak, mungkin dia akan kesulitan untuk mendapatkan rumah sakit lain yang mau menerimanya. Namun, kalau pasien dari keluarga berada tersebut yang ditolak, dia bisa dengan leluasa mencari rumah sakit alternatif lain tanpa harus memikirkan masalah biaya. Pokoknya aku akan selalu menomorsatukan mereka yang berasal dari keluarga miskin.
Oh, iya, rumah sakit yang kubangun akan kulengkapi dengan fasilitas akademi kebidanan dan keperawatan untuk menunjang sumber daya manusianya. Akademi tersebut terintegrasi dengan eksistensi rumah sakit pusat. Gedungnya berada persis di samping rumah sakit, jadi memudahkan para mahasiswanya untuk terjun ke lapangan.
Para mahasiswa juga akan dimanjakan dengan fasilitas super lengkap yang mudah diakses. Mulai dari asrama mahasiswa – putra dan putri – yang luas, aman dan nyaman. Dalam satu kamar hanya berisi dua orang, dilengkapi dengan lemari pakaian, tempat tidur, televisi, kulkas dan juga jaringan telepon. Fasilitas olah raga yang membuat orang betah untuk berlama-lama berlatih. Ada fitness center, basket, volly, dan billiard juga tersedia.
Selain itu, laboratorium bahasa dan komputer sudah pasti tersedia. Lulusan akademi ini diharapkan akan menguasai paling sedikit tiga bahasa asing, yakni Inggris, Arab dan Mandarin. Penguasaan teknologi komputerisasi yang selalu up to date. Perpustakaan yang koleksi bukunya berasal dari seluruh penjuru dunia dan dilengkapi sarana digital, akan semakin membuat mahasiswa malas bergosip ria.
Para mahasiswa berasal dari masyarakat kelas bawah sampai kaum borjuis. Bebas dari diskriminasi RAS. Namun begitu, aku tetap menomorsatukan mereka yang berasal dari kalangan bawah. Untuk mereka yang berasal dari kalangan bawah, tidak akan dipungut biaya sepeser pun. Sementara mereka yang berasal dari kaum berada, harus membayar full biaya pendidikan dan asrama. Hal ini sebagai upaya subsidi silang.
Manajemen rumah sakit harus selalu menyosialisasikan keberadaan akademi ini kepada setiap pasien atau tamu yang datang ke setiap rumah sakitku. Aku juga mengeluarkan kebijakan untuk berpromosi dari kampung ke kampung untuk menjaring calon mahasiswa. Lagi-lagi aku memprioritaskan mereka yang berasal dari kalangan bawah.
Para lulusan akademi ini nantinya mengemban kewajiban untuk mengabdikan diri ke masyarakat melalui penempatan di berbagai klinik, puskesmas dan rumah sakit yang berada di seluruh Indonesia. Setelah selesai, mereka bebas menentukan pilihan untuk berkarir di mana saja termasuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
Aku juga membangun kerja sama antar rumah sakit untuk kemudahan para mahasiswa berkarir di sana. Khusus bagi mereka yang ingin bekerja di luar negeri, aku akan membantu mencarikan tempat bekerja melalui kerja sama dengan agen penyalur yang kredibel. Semua biaya hingga sampai ke tempat tujuan akan aku tanggung semua.
”Abaaaangg”, panggil Puspa setengah berteriak dari tangga jemuran.
”Eh, yaa, Ip”, jawabku gelagapan.
”Lagi ngapain, sih? Dipanggil dari tadi nggak nyaut”.
”Biasalah, emang kenapa?” tanyaku yang mulai tersadar dari lamunan.
”Angkutin ember ke atas!”
”Iye, ntar dulu. ”
”Kok, ntar dulu, Puspa ngga mau, deh, kalo nanti disalahin karena berangkat kesiangan. ”
”Oke, boss. ”
Ketika Puspa tengah sibuk menjemur pakaian, aku meneruskan kembali membaca koran yang sudah aku acak-acak. Aku membuka lembar demi lembar sambil berharap kalau ada yang mencari ahli waris dari harta kekayaan seseorang yang tidak memiliki keturunan untuk digunakan sebaik mungkin.
"Nggak mungkin kali, yee??” pikirku sambil ngegeloyor ke meja makan.