“Nanti shalat di mana nih kita…”
Tiba-tiba tanpa sengaja saya mendengar percakapan dari dua kawan saya saat itu ketika saya sedang melihat-lihat buku di stand-stand para penerbit buku. Tapi walau hanya samar-samar bagi saya itu sudah dari cukup. Bahwa dua kawan saya itu gelisah jika nanti ingin menunaikan kewajiabnNya itu. Mencari rumah Allah dalam keadaan seperti itu. Kebetulan saat itu kami sedang menghadiri pameran buku sekaligus ingin mencari buku bagus di tempat itu.
Bertiga. Ya, kami bertiga: saya dan dua kawan saya. Memang kami bertiga sudah sepakat jika jiks nanti ada pameran buku kita akan pergi bersama-sama daripads sendiri-sendiri saja. Apalagi hajatan setiap tahun itu yakni berupa gebyar peseta buku atau lebih dikenal dengan Indonesian Book Fair itu diadakan masih di daerah saya. Strategis pula tempatnya! Tepatnya di JHCC, Senayan masih berada dibilangan Jakarta Selatan. Jadi cukup strategis bagi saya dan dua kawan saya itu untuk menghadirinya. Namun sayangnya saya menghadiri hajatan besar itu saat pada hari terakhir. Pas penutupan hajatan besar tahuan itu. Jadi suasana saat itu begitu sesak dan sumpek dengan para pengujung lainnya yang ingin menghadirinya juga. Bukan hanya kami saja bertiga. Entah itu ada yang melihat-lihat buku saja, ada juga yang sedang memburu novel pujuannya sampai-samapi ada yang memborongnya pula. Itu jika punya uang berlebih. Kalau tidak? Ya, seperti apa kami alami. Hanya mampu cukup beli satu dan dua buku saja. Itu pun juga patungan!
Akhirnya saya pun tergelitik dengan perbincangan dua kawan saya itu dan saya pun ambil bagian. Angkat bicara. Sebenarnya saya tak ingin angkat bicara tapi karena tempat itu sudah hiruk pukuk dengan banyaknya pengujung yang datang terpakas saya ikut ambil bagian itu. Dikarenakan kawan saya itu terus menerus memperbincangkan di mana nanti mereka akan sahlat? Itulah yang menganggu benak saya sejak dua kawan saya itu bercakap-cakanp di belakang saya. Alhamdulillah, saat mereka terus–menerus bercakap-cakap di mana akan shalat nanti tiba-tiba adzan dhuhur pun tiba. Kami bertiga pun langsung mencari rumah Allah itu.
“Bismillah. Mudah-mudahan kita gampang cari tempat shalatnya. Yuk kita cari sana-sama, ” hibur saya menenangkan hati dua kawan saya itu yang terus resah dan gelisah. Jika nanti tak ada temapt untuk bermunajat kepadaNya itu.
Kami bertiga pun langsung melangkah. Terus mencari….
Lama. Saya dan dua kawan saya mencari-cari tempat untuk bermunajat itu. Tapi hasilnya tetap nihil. Tak bertemu jua. Padahal kaki kami semua sudah lunglai seperti tak ada tulang yang menompangnya. Bukan itu saja perut kami pun sudah mulai bernyanyi. Kriuk…, kriuk…, kriuk…Keroncongan. Ingin diminta diasupi makanan sebagi penambah energi. Akhirnya apa yang kami lakukan dari segala upaya dan daya kami pun menemukan juga tapi bukan rumah itu. Rumah Allah yang sedang kami cari-cari. Melainkan tempat bagian informasi yang saat itu sedang ditunggu oleh seorang perempuan muda sebagai operator.
“Siapa tahu Mbak yang ada di situ tahu tempat di mana untuk shalat, ” celetuk salah satu kawan saya mengkomadoi untuk segera bertanya kepada perempuan muda itu yang bertugas sebagai pemberi informasi para pengujung.
“Mbak, tempat untuk shalatnya di mana?” Tanya salah satu kawan saya lagi menanyakan kepada peremupan muda itu yang sedang bertugas menyampaikan informasi untuk para pengujung hajatan besar tahunan itu. Indonesian Book Fair 2007.
“Oya, Mas tempat untuk shalatnya ada di bawah, ” tukasnya lugas. Dan kami yang mendengarkan ucapannya itu seperti mendapatkan angin segar.. Ternyata kami bisa juga menemukan tempat itu yang sedang kami cari-cari. Tempat kami untuk bermunajat kepadaNya. Ya, walau pun kami sedang sibuk melihat-lihat buku-buku di berbagai stand shalat adalah hal yang perlu diutamakan.
Kemudian kami bertiga bergegas menuju tempat itu. Namun terlebih dahulu kami mengucapkan terma kasih kepada petrugas informasi yang sudah memberitahukan kmi tempat untuk shalat. Akhirnya dengan sisa-sisa tenaga yang ada kami langsung menuju temapt itu. Tapi sebelum saya mernuju tempat itu dan menurunkan anak tangga eletronik (baca: eskalator) yang tidak berfungsi itu. Tak bisa berjalan. Saya pun mengernyitkan dahi. Heran. Karena tempat sebesar itu dan serba mewah (baca: gedung) mencari rumah Allah saja susahnya minta ampun. Dan lebih parahnya lagi rumah Alllah itu ada di bawah sekali. Sempit pula. Itu baru hal kecil dan yang lebih mengagetkan saya rumah Allah itu tidak ada hijab. Pembatas antara akhwat dan ikhwan jika melakukan shalat. Semua begitu saja terbuka. Ironis sekali.
Entahlah, saya juga tidak tahu kenapa tempat yang dimuliakan itu diposisikan paling bawah? Saya sendiri juga tak tahu. Atau, mereka yang mengurusi tempat itu tidak menyadari bahwa mayoritas pengujung pameran buku itu muslim semua. Miris sekali. Sehingga hal itu membuat saya sebagai seorang muslim ikut prihatin dengan keadaan itu. Masa sih rumah Allah ada di bawah. Sudah sempit. Tak ada hijabnya. Dan hanya cuma satu saja tempat yang disucikan itu disediakan.
Sungguh tempat sebesar dan semewah itu tempat untuk bermunajat saja hanya disediakan hanya satu. Benar-benar memprihatinkan! Namun bagi saya dan dua kawan saya itu sudah menunaikan kewajibanNya! Bagi saya itu sudah melebihi dari cukup malahan wajib. Daripada tidak sama sekali tidak melaksanakan. Ya, semoga saja para pegurus tempat itu mau memperdulikan untuk yang mayoritas muslim jika ada event-event yang besar lagi. Dan terlebih-lebih harus meperhatikan di mana letak tempat shalat yang baik itu. Jangan seperti yang kami bertiga alami. Rumah Allah kok ditempatkan yang tidak layak? Rumah Allah itu ada di bawah….
Ulujami, 19 November 2007
website: http://sebuahrisalah. Multiply. Com
.