Muscat, ibukota kesultanan Oman, merupakan kota yang sangat indah. Kota dengan perpaduan budaya tradisional dan modern, dengan pegunungan di satu sisi dan Teluk Arab di sisi lain. Tempat yang dikenal bersih, hijau, dan penuh dengan aneka warna bunga yang menghiasi tepi jalan. Gedung-gedung putih yang tidak terlalu tinggi berjajar rapi di kanan kiri jalan, bagaikan kotakberselimutkan salju.Tidak ada gedung yang lebih tinggi dari lima belas lantai. Pemerintahannya telah menetapkan agar gedung-gedung bertingkat tersebut tidak terlalu tinggi dan hanya boleh bercat putih, kecuali bila lokasinya masuk ke jalan kecil.
Masjid besar Sultan Qaboos yang terletak tidak terlalu jauh dari tepi jalan besar menuju airport, merupakan salah satu masjid terbaik di seluruh dunia. Masjid yang sangat luas dan memiliki taman bunga yang asri. Bila dilihat di malam hari, kubah masjidnya akan tampak lebih indah karena diterangi lampu kuning yang menyala anggun. Semakin menambah pesona kotanya.
Sungguh negara yang sangat unik. Penduduknya yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa ini konon memiliki tingkat ekonomi yang merata. Tidak ada yang terlalu kaya dan juga tidak ada yang terlalu miskin. Masyarakat yang cukup modern tetapi masih kental keIslamannya. Para lelaki masih berbusana tradisional Oman, yaitu baju gamis putih dengan kain sorban melilit kepala atau ditutup peci dengan hiasan bordir. Wanitanya sebagian besar menggunakan abaya hitam. Penduduknya dikenal sangat ramah dan murah senyum. Bahkan promosi mereka adalah Everywhere you go, you will meet Omanis ready to greet you with a smile.
Sebagian besar penduduknya bisa berbahasa Inggris dengan baik. Bahkan pedagang-pedagang di pasar pun bisa berbahasa Inggris, selain bahasa Arab tentunya. Bila melalui jalan-jalan di Muscat, hati ini terasa damai, karena semua pengguna jalan masih sopan, tidak saling serobot. Supir-supir taksi di sana pun harus warga Negara Oman. Tidak seperti di negara lain yang umumnya membolehkan penduduk imigran menjadi supir taksi. Di Jeddah umumnya supir taksi selain dari Saudi juga berasal dari Bangladesh, Srilanka, Pakistan, atau Indonesia.
***
Pada hari itu waktu sudah menjelang maghrib. Langit merah di ufuk barat telah berganti hitam, pertanda malam telah menyapa. Terasa lelah badan ini setelah berkeliling kota hampir setengah harian. Meskipun badan terasa kurang segar, namun kami sudah berniat untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Muscat Festival. Kebetulan hari itu adalah hari terakhir festival setelah berlangsung sebulan lamanya. Festival ini dilangsungkan di beberapa tempat di Muscat yaitu di pantai A’Seeb, Qurum, dan Al-Sahwa park. Berbagai pertandingan dan pertunjukan seperti jet ski, layang-layang, catur, perahu dayung, terjun payung, hingga fashion show, teater, pameran seni dari berbagai negara, semua disajikan. Namun karena waktu yang terbatas, kami hanya dapat pergi ke tempat bazar di daerah Qurum.
Sesampai di tempat tujuan, supir yang membawa kami tampak harus mencari-cari tempat parkir yang sudah mulai dipenuhi kendaraan yang berjajar dengan rapi. Mobil kami berjalan perlahan di lapangan parkir menanti seandainya ada mobil yang akan keluar. Tapi mengingat hari itu adalah hari terakhir festival, tipis harapan rasanya untuk mendapatkan tempat kosong. Semua pengunjung kemungkinan akan tetap tinggal hingga acara pesta kembang api pada pukul delapan malam.
Saat kami sudah hampir memutuskan untuk meninggalkan tempat karena tidak ada lagi tempat parkir yang tersisa, tiba-tiba ada seorang bapak tua berjalan bersama keluarganya menuju ke arah kami dan memberi kode kepada supir kami. Kemudian dia memberitahu kami bahwa dia hendak keluar dan mempersilakan mobil kami parkir di tempatnya. Alhamdulillah. Kami berterimakasih kepada bapak tua tadi. Bagi bapak tadi mungkin bantuan ini adalah sesuatu yang biasa. Namun bagi kami yang pendatang tentulah bantuan tersebut begitu berarti.
Tiket masuk ke dalam pasar festival sekitar dua Omani riyal per orang atau dua puluh Saudi Riyal. Festival tersebut mirip pasar malam yang dilengkapi dengan aneka permainan anak. Ada tenda-tenda berisi pameran lukisan, promosi produk maupun perusahaan, ada pula para pedagang makanan, mainan, pakaian, souvenir, dan lain-lain. Konon setiap festival ini digelar, selalu ada orang Indonesia yang berjualan rujak mangga. Mata saya pun penasaran untuk mencari penjual rujak mangga.
Di tepi jalan setapak ternyata saya jumpai juga penjual rujak mangga itu. Saya berjalan mendekatigerobak dorong seorang wanita penjual rujak. Usianya mungkin sekitar dua puluhan. Dia tampak sibuk mengiris-iris mangga dan memasukkannya ke dalam kantong plastik transparan kecil-kecil untuk diserahkan kepada pembeli yang telah lebih dahulu datang. Saya sapa wanita muda tadi dengan bahasa Indonesia. “Berapa mbak harga rujaknya”. Dia pun mengangkat kepala dan menyebutkan harga per kantong tanpa terkejut sedikitpun ada orang Indonesia yang menyapa. Mungkin sudah terlalu banyak penduduk Melayu di negara itu sehingga berbahasa Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah.
Sambil menyiapkan mangga pesanan saya, saya pun berbasa basi untuk sedikit bercakap-cakap dengannya. “Sudah lama mbak tinggal di Muscat”. “Sudah” jawabnya singkat sambil terus memasukkan irisan mangga ke dalam kantong plastik dan kemudian bertanya kepada saya. “Mau dikasih cabai?, jeruk nipis?”. Katanya seraya menunjuk toples bubuk cabai dan jeruk nipis yang dimaksud. Saya mengangguk mengiyakan.Mangga mudayang sudah dimasukkan ke dalam kantong itu pun kemudian ditaburi bubuk cabai dan perasan jeruk nipis. Setelah dikemas rapi, dia menyerahkan bungkusan plastik berisi rujak yang tanpa diikat itu kepada saya seraya memasukkan dua batang tusuk gigi pengganti garpu. Saya pun beranjak pergi meninggalkan gerobak rujaknya setelah membayar satu kantong rujak.
Rujak mangga Oman ini sedikit berbeda dari yang biasa dijual di Jakarta. Mangga muda (sekali) diiris tipis, ditaburi garam, bubuk cabai, dan perasan air jeruk nipis. Bisa dibayangkan rasa kecutnya yang memang luar biasa.
Ada rasa kagum terbersit dalam hati. Begitu banyak masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh pelosok dunia untuk mengais rezeki di bumi Allah yang sangat luas dan sanggup bertahan hidup. Kalau di Jeddah, orang Indonesia banyak yang mengorek tambahan rezeki dengan berjualan sate lontong, nasi rames, dan lauk lain pada saat musim haji atau umroh, sementara di Muscat mereka menjajakan rujak mangga di saat Muscat Festival.
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan sebagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhan-mu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-Mu’min: 64).
Jeddah, Rabi Al-Tsaani 1429H.