Kutatap cemas mata biru nan cerdas dihadapanku. Sedetik kemudian dengan tenangnya dia berkata,“Ya…Anda harus dioperasi, 30 menit lagi!“ Dengan terlonjak, tergesa aku bangkit dari tempat tidur pemeriksaan..
“O..Operasi?“ aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagetku. “Kenapa harus dioperasi? Apakah tidak sebaiknya Anda memberi saya obat terlebih dahulu, dan kemudian baru kita putuskan apakah saya benar2 harus dioperasi?“ tawarku dengan nada memelas. Sebelum aku sempat berkata lebih banyak lagi, dengan gelengan yang tidak terbantahkan dokter dihadapanku berkata tegas.
“No!“
Ini sangat urgent. Bila tidak dilakukan sekarang akibatnya akan lebih fatal“.
Senyum kebapaan disertai tepukan ringannya di pundakku, membuatku terdiam tak berdaya.
“Jangan khawatir nona, operasinya tidak akan memakan waktu lama, Anda tidak usah cemas, Ok?“
Ya Allah…aku tidak tahu harus berkata apa. Jangankan operasi,mendengar kata suntikan saja sudah cukup membuat nyaliku hancur berantakan. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tunggu. Kuteguk dengan susah payah air mineral yang diberikan Jyotsana, temanku dari India, yang dengan sabar menemaniku sedari pagi menjalani sederetan tes.
“Bagaimana Mar? Apa kata dokter barusan?“ tanyanya lembut dengan getar kecemasan.
Dengan menelan ludah yang terasa amat pahit di tenggorokanku, susah payah aku berkata,
“Aku harus dioperasi“.
“Sekarang juga“.
“What do you think, Jyo?“ kutatap mata khas indianya yang indah. Dengan senyum lembutnya dia menggenggam erat tanganku dan berkata,
“Bila itu yang terbaik bagi kesehatanmu, kamu harus melakukannya Mar. Jangan khawatir, aku akan menemanimu hingga operasimu selesai, dan aku akan mengurus segala sesuatunya.
Kutenangkan diriku sejenak dan lima menit kemudian kuhubungi adikku yang berada di wilayah barat Jerman. Dengan nada ringan seolah tanpa beban, kukatakan bahwa dalam 30 menit kedepan aku harus menjalani operasi dan akan didahului oleh serangkaian penjelasan dari tim dokter.
“Mbak…apakah …apakah dokternya tidak bisa menunda operasinya 3 atau 4 jam lagi hingga Aku sampai di kotamu?“ Ada nada cemas yang sangat dari telepon genggamku.
Aku hanya tegelak mendengar permintaan adikku. Jarak antara kotaku dan kota adikku menuntut ilmu memang cukup jauh dan harus ditempuh dengan 4 jam naik kereta regional express atau 2.5 jam dengan kereta super cepat. Tetapi operasi ini tidak mungkin bisa ditunda.
Bismillah.
Aku tahu, sesungguhnya Allah telah mengatur segala sesuatunya dengan sempurna…
..Kubuka perlahan mataku dengan segenap rasa sakit disekitar perutku. Kupandang pasrah selang infus di tangan kananku beserta dua selang di kiri dan kanan yang keluar dari perutku dan terhubung dengan kantung untuk menampung darah sisa operasi. Sekilas kulihat Jyotsana sedang memberikan pasport, kunci apartemenku dan dokumen penting lainnya kepada adikku yang baru tiba pukul 8 Jumat malam itu. Setelah itu aku kembali tidak sadarkan diri.
Dua hari setelah operasi adalah saat yang cukup berat buat diriku. Tiga selang yang tertancap ditubuhku sangat membatasi gerakanku dan itu cukup untuk membuat aku berfikir akan dosa2 yang telah aku lakukan, dan cukup pula untuk mengiris hati adikku yang terpancar jelas dari berjuta kecemasan di wajahnya. Hilang sudah senyum nakalnya yang biasanya selalu ada dan siap menggoda diriku. Yang ada hanya beribu kekhawatiran dan hasrat yang kuat untuk melindungi dan menjaga diriku dari rasa sakit, yang berusaha kutahan dengan lantunan dzikir dan doa2 andalanku.
Diujung tempat tidurku, kutatap adikku yang tengah termangu gusar. Senin dini hari adikku sudah harus berada kembali di kotanya. Kulihat wajah lelahnya menatap pasrah Nokia di tangannya. Ternyata tanpa sepengetahuanku dia berusaha menghubungi teman2ku dari Indonesia dan bertanya apakah mereka bersedia menjengukku pada saat dia tidak disampingku. Dengan tatapan yang menerawang, adikku berkata lirih.
“Mbaak….kenapa takdir operasinya ndak diundur 1 atau 2 pekan lagi saja ya? Insya Allah kalau 2 pekan lagi aku benar2 free dan akan full menjaga dan menemai mbak disini.
“Hahhhf…Saat ini aku benar2 dalam keadaan yang tidak berdaya.
“Dikejar dead line pekerjaan di kantor, report bulanan ke Professorku dan juga sekarang aku sedang mempersiapkan proposal beasiswaku yang dead linenya 3 hari lagi, ditambah lagi aku akan pindah ke apartement yang baru“.
Kutatap sayang mata sholehnya yang memerah. Pakaian yang persis sama ketika dia datang tidak pula berganti. Degan lembut, dengan segenap perasaan kukatakan,
“Karena cinta tidak pernah diuji maknanya dalam keadaan senang dan lapang. Cinta… dengan seluruh makna yang terkandung di dalamnya… akan memancarkan cahayanya dalam tekanan pengorbanan, tulusnya kasih sayang, pengertian tanpa perhitungan dan dalam himpitan kesempitan“.
Dengan suara tergetar dan tertahan adikku menatap ujung kakiku di pembaringan.
“Mbak..saat ini..saat ini Aku benar2 enggan untuk meninggalkan Mbak sendirian disini. Selama aku bisa…betapa ingin aku merawat mbak dengan tanganku sendiri dan tidak akan pernah Aku membiarkan orang lain yang menemani atau menjaga mbak melewati hari disini…“
“Aku…“
“Mbak mengerti…Mbak paham..“ dengan segera kupotong kalimat adikku yang mengambang.
“Saat ini…tanpa pernah kau katakan sepatah kalimatpun…Mbak tau..how much you love me Brother…dan itu cukup bagi Mbak. Bila kau begitu gusar meninggalkan mbak disini pada saat kamu tidak disini, coba sekarang kau kontak Jyotsana…“
“Gadis India teman Mbak itu?“ tanya adikku ragu
“Yup.Call her. Tell her. ..and let we see..“ kataku penuh keyakinan dan dengan tatap mata yang sarat dengan makna.
Lima menit kemudian adikku menemuiku dengan wajah yang lebih cerah.
“Oke mbak, dia akan mengatur semuanya. Selama aku tidak di sini Insya Allah akan ada teman2 dari grup penelitian mbak yang akan menjenguk mbak disini. Aku akan mempersiapkan segala kebutuhan mbak dan membereskan segala urusanku secepatnya dan aku akan kembali ke sini dengan sesegera mungkin“ adikku berkata dengan penuh semangat.
Sebenarnya fasilitas dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit tempat aku dioperasi teramat sangat baik dan memuaskan. Itu sebabnya aku tidak begitu risau meskipun adikku tidak bisa menemani atau membesukku di sini. Tapi misteri cinta itu terletak pada kandungan ramuannya yang teramat sangat istimewa.Tidak ada yang bisa menakar dan menerka dengan pasti reaksi yang muncul dari lembutnya sentuhan cinta. Cinta itu pula yang membuat adikku begitu resah meninggalkan aku sendiri disini. Lembutnya cinta itu pula yang aku rasakan ketika setiap hari secara silih berganti teman2 dari grup penelitianku menjenguk dan menemani hari2 pemulihanku selama adikku tidak berada di sisiku.
Aku begitu terenyuh ketika Jyotsana, gadis India yang cerdas dan penuh percaya diri itu menemaniku makan siang dan berbincang. Dia harus rela berjalan kaki dari apartmenentnya menuju rumah sakit dengan berjalan kaki di tengah dinginnya salju karena pada saat itu bus di kotaku sedang strike.
Dia pula yang begitu cemas ketika setelah satu jam aku belum juga keluar dari ruang operasi. Karena dari diskusi kami dengan tim dokter sebelumnya, opreasi hanya memerlukan waktu kurang dari satu jam. Walaupun akhirnya setelah dua jam setengah aku keluar dari ruang operasi, kecemasannya membuat para dokter dan perawat menduga dia adalah saudara kandungku.
Adalah Gabi, salah satu tehnisi lab yang membantu para peneliti di Institutku, langsung menelpon dan menjengukku begitu mendengar khabar aku dioperasi dari Profesorku. Dalam keadaan yang juga baru pulih dari sakit, wanita Jerman setengah baya itu segera membesukku dengan membawa sekotak coklat kegemaranku. Ketika kutanyakan mengapa ia datang menjengukku sementara ia juga dalam keadaan yang belum begitu pulih dan dalam hujan salju yang cukup deras di sore itu, dengan santai ia berkata,
“Karena penyakitmu lebih parah dari sakitku Mar“. Aku benar2 khawatir dengan keadan dirimu, ingin memastikan bahwa dirimu dalam keadaan baik2 saja dan ingin membantumu bila kau memerlukan sesuatu, apapun itu!“ ekspresi wajahnya benar2 tidak bisa menyembunyikan ketulusan ucapannya.
Aku hanya diam terpaku menatap rambut cepak pirang beserta sorot mata tulus dengan lingkar merah disekelilingnya, pertanda yang selalu timbul bila ia kedinginan diterpa salju.
Alunan musik klasik dari hand phone ku menghentikan perbincangan kami. Ada sms masuk, tertera sebuah nama yang begitu akrab di ingatanku. Salah seorang sahabatku yang kini telah pulang ke tanah airnya di Brazil. Ia meraih gelar Doktornya dengan predikat Magna Cum Laude, beserta beberapa penghargaan karena kecemerlangan akalnya.
Lama aku terdiam dan terpana. Berulang kubaca sms dari dirinya, yang isinya tetap sama tidak berubah. Khabar sakitku sampai ke telinganya. Rasa cemas dan khawatir terangkai dalam pertanyaan bertubi.Tapi pernyataan terakhirnya membuat aku terdiam tak besuara.
“…Mar, please let me know if you need something or need my help.“ Ini nomor telepon rumahku, jangan sungkan untuk menelpon bila kau memerlukan sesuatu“. Dan tertera sederetan angka tertera dilayar hand phone ku.
Ya Allah…Hari ini baru aku mengerti…bahwa ternyata dalam persahabatan ada “ketidakwarasan“ yang dilakukan atas desakan rasa sayang. Jarak Jerman-Brazil tentu bukanlah jarak yang dekat. Bagaimana mungkin aku akan meminta tolong padanya sementara dia jauh nun di belahan bumi sana. Aku masih cukup waras,for sure.
“Obrigado Amigo!Don’t worry so much, and don’t forget, gue sekarang di Jerman, bukan di Sao Paulo, Brazil ^_^“.
Kutekan tombol send beserta satu embun yang menetes dari dasar hati kesyukuranku.
Ya Allah..Segala puji bagi-Mu Ya Rahman…yang telah mengirimkan orang2 yang tulus dan penuh cinta di sekelilingku.
Dalam situasi sakit seperti ini dan berada di negeri yang jauh, betapa perhatian ini begitu menyentuh perasaan terdalamku. Kutatap bouquet bunga penuh warna merah jambu warna kesukaanku, dari Dr.Hao Loong Li yang lugu. Kartu ucapan semoga lekas sembuh yang hangat dari teman-teman dan Profesorku.
…Fabiayyi alaairobbikumaa tukadzibaan…
Maka ..nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Dengan syahdu kulantunkan hafalan Ar Rohman ku senja itu.
Surat cinta dari Yang Maha Penyayang diantara sang penyayang.
“Wahai manusia!
Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. (QS.49:13)
* Obigado Amigo : Terima kasih teman