Aksi demo menuntut penyelesaian kasus bank Century, isu pemakzulan presiden dan wakil presiden, demo menuntut untuk diturunkannya pejabat yang terlibat kasus korupsi sampai demo sengketa lahan publik hampir sering terdengar di telinga kita belakangan ini. Baru-baru ini, negeri kita digegerkan kembali oleh aksi teroris yang dikhawatirkan juga akan mengganggu stabilitas keamanan dalam rangka penyambutan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama.
Begitu juga di gedung MPR/DPR, para anggota sidang bertingkah seolah murid SD yang ingin memenangkan pendapatnya. Ditambah lagi, maraknya terjadi unjuk rasa di berbagai daerah, beberapa diantaranya berakhir dengan bentrokan antara petugas kemanan dan massa pengunjuk rasa.
Dalam menyikapi permasalahan tersebut, banyak yang memiliki perbedaan penafsiran. Mungkin sebagian orang akan menganggap itu adalah bagian dari aktivitas politik para mahasiswa, mungkin sebagian yang lain hanya menjadi penonton saja tanpa memberi tanggapan apa-apa.
Mungkin saja ada yang sinis berkomentar bahwa yang berdemo itu adalah para mahasiswa yang jeblok nilai akademisnya atau mungkin warga masyarakat yang sudah tidak didengarkan lagi aspirasinya di lingkungannya. Sebagian yang lain mungkin
berada di pihak pro terhadap keputusan pemerintah yang kontroversial itu.
Sebenarnya, pendapat-pendapat tadi merupakan cerminan dari pemahaman kita
semua terhadap masalah tersebut, juga mencerminkan tingkat kesadaran berpolitik kita terhadap kasus itu. Di sinilah kita bias melihat dan menilai sejauh mana kapasitas pemahaman masyarakat dalam memahami berbagai peristiwa yang sedang berkembang.
Dengan begitu, diharapkan nantinya kita bisa terus memperbaiki jika masih ada yang belum maksimal dan mengkritisi jika memang ada yang keliru dengan pemahaman kita.
Sekarang, kita tidak akan membahas lebih lanjut terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi. Ibarat sinetron, ceritanya akan terus bersambung dan mungkin tidak jelas ujung pangkalnya. Namun, kita ingin mengetahui lebih dalam tentang kesadaran berpolitik. Diharapkan nantinya kita tidak hanya menjadi penikmat dan penonton saja, tetapi kita juga bias menjadi bagian dari solusi atas permasalahan bangsa.
Jika ada seseorang yang bertanya, “Apa itu politik?” mungkin dari sebagian masyarakat awan akan beranggapan bahwa aktivitas politik itu selalu berakhir dengan pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan hingga pengasingan bagi para aktivis politiknya. Itulah politik praktis.
Namun, apakah benar orang yang sudah mengetahui seluk-beluk dunia politik dan
mengikuti setiap perkembangan politik itu sudah memiliki kesadaran berpolitik? Jawabannya belum tentu. Lalu apa kesadaran berpolitik itu?
Apa itu politik?
Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang kesadaran berpolitik, sebaiknya kita mengetahui dulu apa itu politik?Karena jika kita tidak mengetahui politik, mustahil untuk bisa memiliki kesadaran berpolitik. “Jika tak kenal maka tak benci.” Pepatah tersebut saya ubah redaksinya, tapi satu hal yang pasti jika kita tidak mengenal terhadap sesuatu atau seseorang, maka hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak akan mencurahkan perhatian
lebih kepada sesuatu atau seseorang itu.
Misal saja ketika kita berbicara tentang Islam, jika kita tidak mengenal Islam lebih jauh maka di hati kita tidak akan tumbuh rasa memiliki terhadap Islam. Kta tidak paham aturan-aturannya, tidak paham kebiasaan-kebiasaan Islami yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita.
Padahal jika kita mengenal Islam lebih jauh, kita bisa mengagumi betapa hebatnya Islam. Islam tidak hanya mengatur ibadah-ibadah ritual saja, seperti sholat, shaum, zakat, atau pergi haji. Tapi, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ini juga mengatur urusan ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, peradilan, perundang-undangan, politik, hingga
pemerintahan. Itu sebabnya, Islam disebut seba¬gai ideologi.
Bahkan untuk urusan masuk ke kamar kecil saja diatur, masuk kaki kiri terlebih dahulu
lalu keluar dengan kaki kanan terlebih dahulu. Islam benar-benar mengatur kehidupan hingga aspek terkecil.
Lalu apa yang pengertian politik?Dalam sebuah pemeo dikatakan, “Tidak ada musuh yang abadi, tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.” (NN). Kita bisa melihat sendiri bagaimana para pemimpin negeri ini saling jegal, saling sikut, saling menjatuhkan untuk dapat menduduki jabatan empuk dan basah. Bila perlu, mengamalkan politik “daging sapi”.
Inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai the struggle for power (perjuangan memperebutkan kekuasaan). Seperti lagu ngetop milik bang Iwan Fals yang ngetop di era 80-an, “Setan-setan politik yang datang men¬cekik, walau di musim paceklik tetap mencekik, Apakah selamanya politik itu kejam. Apakah selamanya dia datang ‘tuk meng¬hantam…”.
Jika kondisi politik identik dengan yang seperti begini, maka tidak heran akan banyak orang berpandangan miring terhadap aktivitas politik. Mungkin saja kemudian sebagian orang enggan untuk berurusan dengan politik. Itulah sebabnya pandangan keliru seperti ini harus segera diluruskan.
Bagaimana pengertian politik menurut Islam? Dalam kitab Mafahim Siyasiyah dijelaskan bahwa politik adalah ri’ayatusy syu’unil ummah dakhiliyan wa kharijiyan bi hukmin mu’ayanin, (pengaturan urusan umat di dalam negeri dan luar negeri, dengan hukum tertentu). Kalo kita bicara Islam, maka pengaturan tersebut meng¬gunakan aturan Islam. Kalo bicara kapitalisme, maka hukum yang digunakan adalah kapitalisme. Begitu pula dengan sosialisme dan komunisme.
Adapun pengaturan urusan umat tidak melulu urusan pemerintahan seperti sangkaan banyak orang selama ini, melainkan termasuk di dalamnya aspek ekonomi (iqtishadi), pidana (uqubat), sosial (ijtima’i), pendidikan (tarbiyah) dan lain-lain.
Buktinya apa? Islam sudah mengatur masalah ini sejak pertama kali Rasulullah saw. mendirikan pemerintahan Islam di Madinah, hingga terakhir di Turki. Sepanjang rentang waktu itu, masyarakat dan negara diatur oleh Islam. Sayangnya, sejak tanggal 3 Maret 1924, yakni saat Musthafa Kemal at-Taturk, pria jahat dan ambisius keturunan Yahudi menghancurkan pemerintahan Islam di Turki atas bantuan agen-agen Inggris, Islam nggak lagi diterapkan sebagai sebuah ideologi negara, bahkan hingga kini.
Akibatnya, pemuda dan pemudi Islam masa kini kurang dalam memahami Islam sebagai sebuah ideologi negara. Generasi Islam kontemporer hanya mengenal dan memahami Islam sebagai ibadah ritual belaka. Jadinya, tidak disadari bahwa Islam itu sebuah ideologi. Akibatnya, ketika memahami istilah politik dalam pandangan Islam saja suka kerepotan, apalagi untuk sadar berpolitik.
Kesadaran Berpolitik
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khath¬thab berpidato di hadapan kaum muslimin. Usai berpidato seorang pemuda berdiri sambil meng¬acungkan pedang, lalu berteriak, “Wahai Umar, apabila kami melihat engkau menyimpang, kami akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Umar yang mendengar pernyataan tadi kontan mengucapkan hamdalah. Ternyata masih ada manusia, tepatnya pemuda, yang berani mengungkapkan kebenaran.
Riwayat yang singkat ini bisa memberikan gambaran yang jelas kepada kita pekatnya suasana kehidupan berpolitik dalam Islam. Inilah aktivitas muhasabah lil hukam alias mengoreksi penguasa atau amar ma’ruf nahyi munkar
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy menyebutkan bahwa
kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu harus¬lah bersifat universal atau mendunia (inter¬nasional). Bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kedua, kesadaran politik yang dimiliki harus berdasarkan sudut pandang yang khas (zawiyatun khashshah).
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bersama Rasulullah saw., membuat semacam ‘taruhan’ untuk pe¬perangan antara Romawi dan Persia yang berada jauh dari Mekkah. Padahal, saat itu siapapun yang memenangkan perang nggak bakal menguntungkan kaum muslimin yang tertindas di Mekkah. Hal ini membuktikan bahwa Abu Bakar r.a memiliki kesadaran politik yang cukup tinggi. Islam memang mampu mencerahkan pemikiran manusia. Lalu apa yang membuat kita tidak bangga menjadi seorang muslim?
Jika sekarang marak demo yang menuntut penyelesaian kasus bank Century, isu pemakzulan presiden dan wakil presiden, demo menuntut untuk diturunkannya pejabat yang terlibat kasus korupsi sampai demo sengketa lahan publik maka kita harus mencoba untuk menyikapi dengan kesadaran politik yang baik.
Jangan hanya memandang sepintas aja. Yakinlah bahwa ini buah dari diterapkannya sistem kapitalisme. Jadi, kalau mau unjuk rasa, minta saja langsung kepada negara supaya mengganti sistem kapitalisme
dengan Islam.
Rizal Dwi Prayogo, Mahasiswa S1 Matematika ITB,
email : [email protected]
blog : http://rizaldp.wordpress.com