Lima ratus empat puluh satu orang tertangkap badan imigrasi Saudi di Makkah karena overstay. Sebagian besar adalah warga Negara Indonesia wanita yang berniat untuk menjalankan ibadah haji. Begitulah berita yang saya baca di salah satu surat kabar Saudi. Bukan yang pertama berita semacam ini saya baca akhir-akhir ini. Sebelumnya juga telah tertangkap 600 orang WNI yang bersembunyi dalam satu gedung di Makkah sambil menunggu waktu beribadah haji.
Saya jadi teringat peristiwa 2 tahun lalu. Saat itu saya dan keluarga hendak menunaikan ibadah haji bergabung dengan sesama warga Negara Indonesia yang bermukim di Jeddah. Seluruh ibadah wajib dapat dilaksanakan dalam waktu 5 hari. Kami bergabung dengan kelompok haji yang bukan VIP dengan fasilitas yang seadanya (bukan menginap di hotel).
Rombongan haji yang akan berangkat bersama kami sekitar 80 orang dan cukup diangkut dengan dua bus besar. Pada tanggal 8 Dhulhijjah sebelum maghrib kami sudah berkumpul di depan gedung Konsulat Indonesia. Hingga pukul 8 malam kami masih belum berangkat menuju Makkah. “Jalannya masih padat”, kata panitia penyelenggara yang memantau jalan. Maka kamipun terus menunggu sambil menghibur anak-anak saya yang saat itu masih berumur 6, 5 tahun dan 2, 5 tahun. Baru pada pukul 9 malam dua bus yang membawa kami pun berangkat.
Di dalam bus, ustadz yang memandu kami menuntun kami untuk melafadzkan niat haji dan sedikit memberikan ulasan mengenai haji. Sambil berdzikir dan mengucapkan doa talbiyah, bus melaju perlahan. Selang 45 menit bus kami sudah hampir memasuki kota Makkah. Penyelenggara haji kami menunjukkan jalan “khusus” kepada supir agar kami dapat lolos masuk ke Makkah tanpa pemeriksaan. Namun kami terus berputar-putar mencari jalan yang aman. Bila dihitung mungkin kami sudah menyusuri jalan yang sama paling tidak tiga sampai empat kali. Hingga akhirnya supir bus kami menentukan jalannya sendiri untuk masuk ke Makkah.
Setelah kami memasuki perbatasan kota Makkah bus yang kami tumpangi pun harus melewati pemeriksaan (check point) dokumen oleh polisi. Umumnya penyelenggara haji sudah “mendaftarkan” nomor polisi kendaraan dengan membayar sejumlah uang tertentu agar dapat meloloskan para jamaah haji masuk ke batas Haram Makkah. Namun kali ini bus yang kami tumpangi harus menepi dahulu untuk melalui proses pemeriksaan ini. Keluarga saya dan teman-teman saya yang memiliki ighomah (izin tinggal) resmi memang diposisikan di tempat duduk depan oleh panitia penyelenggara dengan harapan polisi tidak akan memeriksa keseluruhan dokumen para jamaah.
Suasana begitu hening saat polisi masuk ke dalam bus dan memeriksa satu persatu penumpang bus dengan teliti. Saya dan suami saya pun cemas karena kami membawa beberapa penumpang yang kami yakin tidak memiliki ighomah, termasuk pembantu kami ketika itu yang akan melaksanakan haji bersama kami. Begitu pemeriksaan sampai ke belakang, terjadi perdebatan antara jamaah dengan polisi. Entahlah ada seorang wanita yang memang memiki ighomah tapi tetap harus meyakinkan polisi bahwa majikannya mengizinkan dia pergi haji dan harus menelepon majikannya saat itu juga. Tetapi ada pula jamaah yang memang harus keluar dari bus dan tidak bisa melanjutkan perjalanan haji meskipun penyelenggara haji sudah menjelaskan dengan segala macam cara. Akibatnya dari jamaah yang tadinya mengisi penuh tempat duduk di dua bus, terpangkas menjadi 1 bus saja. Artinya separuh dari jamaah yang sudah berniat haji, terpaksa masuk tarhil (tahanan sementara) karena overstay.
Rasa sedih berkecamuk di hati kami yang turut merasakan bagaimana mereka sudah menabung dan mengeluarkan uang gaji 1 bulan penuh demi menjalankan ibadah haji tetapi batal dan terpaksa harus dipulangkan ke Indonesia, termasuk juru masak rombongan kami. Saya pun belum tahu nasib pembantu saya saat itu. Supir bus yang kami tumpangi pun marah kepada panitia penyelenggara karena dia tidak tahu apa-apa dan dimarahi oleh pemilik bus karena pemilik pun dikenakan denda yang cukup besar.
Supir bus yang kami tumpangi pun menurunkan kami di salah satu terminal bus, dan memaksa kami untuk melanjutkan perjalanan ke Arafah dengan bus lain. Dapat dibayangkan perasaan kami waktu itu. Saya kasihan dengan anak-anak kecil yang harus turut menderita terkena asap kendaraan dan udara yang mulai dingin. Apalagi bawaan kami tidaklah sedikit. Tenda, selimut tebal, tikar, pakaian, dan makanan harus kami bawa sendiri.
Setelah menunggu beberapa saat, kami pun dapat melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus umum walaupun kami harus terpecah menjadi grup-grup kecil. Alhamdulillah kami semua masih bisa bersabar dan tidak ada yang mengumpat. Apalagi ustadz yang membimbing kami pun berusaha menenangkan kami semua karena ini adalah bagian dari ujian Allah SWT. Saya pun bersyukur karena pembantu saya diselamatkan Allah melalui penyelenggara dengan bersembunyi di kamar mandi bus dan lolos dari pemeriksaan (walaupun saya merasa bersalah juga karena telah melanggar peraturan pemerintah Saudi).
Kira-kira menjelang subuh kami baru tiba di Arafah untuk bersiap melaksanakan wukuf. Hingga pukul 10 pagi panitia penyelenggara belum ada yang muncul. Kami sudah berpikiran buruk, jangan-jangan panitianya sudah melarikan diri dari tanggung jawab karena banyak kasus yang demikian. Para suami pun sudah berusaha keluar untuk mencari penjual makanan. Tapi lokasi kami memang jauh dari restoran atau penjaja makanan. Perut kami sudah lapar. Pukul 11 siang makanan berupa bakso kuah pun datang. Meskipun sudah tidak panas lagi tapi kami masih bersyukur karena panitia masih memikirkan nasib kami. Kami merasakan kesulitan pengadaan makanan panitia penyelenggara karena tidak adanya juru masak yang sudah disiapkan sebelumnya.
Alhamdulillah selesai wukuf di Arafah dan mengambil batu kerikil di Muzdalifah semua dapat berjalan lancar. Kami pun tinggal di apartemen di Al-Azziziyah yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat melempar jumroh. Bagi kami mukimin hal yang kurang nyaman adalah saat mabid di Mina, karena tidak ada jatah tempat seperti jamaah yang datang langsung dari setiap negara. Kami harus mencari tempat mabid sendiri dan harus siap untuk digusur sana sini. Mungkin lima kali setiap malam mabid kami harus berpindah tempat.
Meskipun demikian, bila saya ingat saat-saat berhaji, selalu membuat saya rindu pada ibadah haji. Labaik allahumma labaik. Labaika laa syariikalaka labaik. Innalhamda wanni’mata laka walmulka laa syariikalak. Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah…..
Jeddah, 7 Dhulhijja 1428 H