Rindu Rasul di Teras Rumah

Seperti yang sudah-sudah, aku pulang kemalaman. Sama seperti rapat-rapat sebelumnya, pertemuan kembali berlarut-larut. Kebanyakan peserta datang tanpa persiapan memadai. Kebanyakan malah dengan sisa tenaga setelah seharian lelah bekerja. Banyak juga yang tidak tahu agenda pertemuan barusan. Hanya sedikit yang terlihat mencatat ini itu. Sebagian besar hanya duduk, mendengar, dan berkomentar. Situasi ini diperparah dengan banyaknya peserta yang ngaret, sehingga pertemuan baru dimulai setelah melar 45 menit.

Tapi ini kegiatan sosial. Sanksinya hanya sebatas moral. Tak ada yang mengikat kecuali nurani masing-masing. Aku pun belajar untuk memahami. Bahwa mereka masih mau berkumpul, berpayah-payah memikirkan masalah umat saja, sudah suatu hal yang mesti disyukuri. Jadi, sudahlah.
Maka, masih dengan sisa-sisa mangkel yang semakin terusir, aku membuka pintu pagar rumah. Isteri dan anak-anakku sudah terlelap. Sebentar lagi jam dinding akan berdentang dua belas kali.

Seperti seharusnya, aku membawa kunci cadangan. Pintu pagar terbuka dengan mulus. Prosedur selanjutnya adalah membuka pintu ruang tamu. Kumasukkan anak kunci ke lubangnya, dan… macet! Kucoba lagi, kali ini dengan lebih hati-hati, presisi, tetap tak berhasil. Kegusaran mulai muncul. Kucoba lebih keras, masih tak bisa. Akhirnya kusimpulkan, isteriku lupa melepas anak kunci dari dalam. Kelalaian yang menyebalkan.

Setelah capek seharian bekerja, menahan kesal karena rapatnya yang tidak efisien, membuang kantuk di tengah malam, kedinginan diselimuti angin menjelang dini hari, kegusaran pun dengan cepat memuncak.

Namun nyala terang nalarku masih tersisa. Kukeluarkan hp dari saku jaket, dan kutelpon rumah. Sebelas deringan, dan tak ada reaksi. Kuketuk-ketuk pintu rumah, lebih tak berhasil lagi. Aku menarik nafas dalam-dalam, dan menatap teras. Tiba-tiba saja aku teringat Rasul junjunganku tercinta. Apa yang beliau lakukan di situasi seperti ini? Aku teringat kisah beliau yang pulang kemalaman, dan tak tega membangunkan Aisyah-nya. Akhirnya beliau memutuskan tidur di teras rumah. Paginya Aisyah terjaga, dan terkejut bukan kepalang. Namun justru Rasul yang berkata, “Maafkan aku sayang, aku pulang kemalaman.”

Aku, di tengah malam itu, tak mampu mengingat shahih tidaknya riwayat tadi. Namun ingatan tadi membuat pikiran jengkel telah cepat terusir, berganti dengan empati. Mungkin isteriku begitu sibuk dan letihnya, sehingga lupa melepas anak kunci.

Kupandangi lagi teras rumah. Lantainya terlihat begitu dingin. Hawa malam pun tak kurang menggigitnya. Berbaring di teras hanya akan memicu kumatnya asma. Belum lagi nyamuk kebon yang galak-galak itu. Sanggupkah aku? Rasa kesal sudah menguap, bergabung bersama embun yang sebentar lagi menetes. Yang muncul kini rasa bingung. Setelah kebingungan beberapa jenak, dengan pasrah, aku mengetuk lagi, namun kali ini yang kuketuk adalah jendela kaca. Pelan saja. Di luar dugaan, ketukan yang lembut ini justru berhasil membangunkan isteriku.

Wajahnya terlihat begitu penuh penyesalan. Ekspresi rasa bersalah ini memang tak patut untuk dihujani lagi dengan gerutuan dan omelan. Tak seperti nabi yang justru meminta maaf, episode kali ini tetaplah isteriku yang meminta maaf. Sementara aku hanya tersenyum maklum. Dan isteriku pun terpana, menanti teguran yang tak kunjung tiba dari lisanku.

* * * * *

Hari telah sangat larut. Tak banyak kata pengantar tidur. Namun aku masih terpesona dengan ketinggian akhaq Sang Nabi. Jauh sebelum diangkat sebagai utusan-Nya, beliau telah terkenal dengan keagungan akhlaqnya.

Beberapa hadits tentang keluhuran akhlaq beliau pun melintas, melompat-lompat dalam pikiranku.

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik di antara kamu terhadap keluargaku.”

Teringat aku akan indahnya pergaulan Rasulullah dengan cucu-cucunya.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari As Said bin Zaid RA, bahwa suatu saat Rasulullah memeluk Hasan (salah satu cucu beliau). Aqra bin Habis berkata kepada beliau, “Aku sudah mempunyai sepuluh anak, tapi aku belum pernah memeluk salah seorang di antara mereka.”
Mendengar hal itu Rasulullah bersabda, “Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi manusia.”

Ada lagi satu kisah yang telah banyak diceritakan, yaitu ketika Rasulullah sedang sujud, datanglah Hasan dan Husein. Kedua cucu beliau yang masih kecil itu menaiki punggung beliau yang tengah sujud. Rasulullah pun sujud lebih lama, sampai kedua cucu beliau tersebut turun. Ketika para sahabat seusia sholat mempertanyakan, mengapa Rasulullah memperpanjang sujud, beliau mengatakan,
“Cucuku telah menahanku, dan aku enggan mengusiknya.”

Betapa lembutnya beliau terhadap anak-anak kecil. Tidak hanya kepada anak keturunannya sendiri, namun juga kepada yang lain.

Teringat aku pada kisah tentang sholatnya Rasulullah. Saat beliau memulai memimpin sholat, terdengar olehnya suara tangis bayi. Maka Rasulullah pun mempercepat sholat, karena empati terhadap perasaan ibu si bayi.

Terhadap pembantu di rumahnya pun Rasulullah begitu santun. Anas Ra lah yang menjadi saksi, Anas bin Malik r.a. berkata, “aku pernah berkhidmat dengan Rasulullah s.a.w. sepuluh tahun, tetapi tidak pernah Rasulullah memaki atau membentak aku.”

Dalam salah satu lembar halaman di kitab Ar Rasul, tercantum penjelasan berikut, “Adalah Rasulullah SAW selalu periang orangnya, pekertinya mudah dilayani, seialu berlemah-lembut, tidak keras atau bengis, tidak kasar atau suka berteriak-teriak, kata-katanya tidak kotor, tidak banyak bergurau atau beromong kosong segera melupakan apa yang tiada disukainya, tidak pernah mengecewakan orang yang berharap kepadanya, tidak suka menjadikan orang berputus asa.

Sangat jelas dalam perilakunya tiga perkara yang berikut. Dia tidak suka mencela orang dan memburukkannya. Dia tidak suka mencari-cari keaiban orang dan tidak berbicara mengenai seseorang kecuali yang mendatangkan faedah dan menghasilkan pahala. Dia tertawa bila dilihatnya mereka tertawa, dan dia merasa takjub bila mereka merasa takjub. Dia selalu bersabar bila didatangi orang badwi yang seringkali bersifat kasar dan suka mendesak ketika meminta sesuatu daripadanya tanpa mahu mengalah atau menunggu, sehingga terkadang para sahabatnya merasa jengkel dan kurang senang, tetapi dia tetap menyabarkan mereka dengan berkata: “Jika kamu dapati seseorang yang perlu datang, hendaklah kamu menolongnya dan jangan menghardiknya”.”

Sebelum tertidur, kuucapkan sholawat untuk beliau…

Sabruljamil.multiply.com