Masa yang telah lalu pasti tidak akan pernah berulang. Ia akan pergi selamanya dan percuma untuk menantinya kembali. Namun, kebersamaan kita kepada orang-orang yang pernah singgah di masa lalu sepertinya tak akan hilang. Mereka akan meninggalkan jejak-jejak kenangan di hati. Dan hanya kenangan-kenangan indahlah yang senantiasa ingin dimunculkan kembali bersama senyum yang terukir meski sedang sendiri. Sementara kenangan-kenangan yang pahit sebisa mungkin untuk membuangnya jauh-jauh meski kadang kala ia kembali datang bersama luka lama yang tak kunjung sembuh.
Fuad. Pertemanan saya dengannya bermula ketika kami sama-sama duduk di kelas satu sekolah dasar. Sejak saat itu, saya dan Fuad berteman akrab. Meski pernah terjadi sebuah perkelahian antara saya dengan dia dan menyebabkan kami berdua ‘marahan’, tapi itu hanya berlangsung beberapa hari dan tak pernah terjadi lagi.
Mengenangnya, memori saya langsung tertuju pada masa-masa di mana dia selalu membonceng saya dengan sepedanya setiap kali kami berdua akan bermain ke rumah teman yang lain yang jaraknya lebih dari satu kilometer. Dia tidak pernah mengeluh kepada saya yang hanya enak-enakan duduk sementara dia harus mengayuh sepeda pergi dan pulang. Padahal, mungkin untuk mengayuh sepeda tanpa membonceng saya juga lumayan berat mengingat badannya yang besar. Tapi sekali lagi, dia tidak pernah protes atau meminta saya untuk gantian. Mungkin dia memaklumi keadaan saya saat itu yang memang belum bisa naik sepeda.
Fahri dan Zia. Keduanya adalah kakak-adik, teman sekelas dan juga saudara sepupu saya. Rumah merekalah yang menjadi tujuan main saya bersama Fuad.
Kedua orang tuanya boleh dibilang terpandang dan kaya. Setiap kali kami main ke sana, buah jambu biji yang masih berada di atas pohon di depan rumah merekalah yang menjadi sasaran kami. Kami memanjat pohonnya, kami petik buahnya, dan kami makan bersama-sama di atas pohon.
Selain itu, ada sebuah mainan yang kerap kali kami pinjam dari Fahri secara bergantian. Mainan tersebut berupa gamewatch atau gameboy. Dengan memainkannya secara bergantian, kami berlomba-lomba untuk meraih nilai tertinggi.
Ikbal. Teman SD yang satu ini, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan saya dengan video game. Kala itu masa-masanya nintendo. Jika saya bermain ke rumahnya saya akan diajak ke rumah tetangganya yang menyewakan nintendo. Untuk satu kali permainan kami harus membayar uang sebesar seratus rupiah. Permainan yang sering kami mainkan adalah Super Mario, Space Contra, Kungfu, dan Galaga. Tapi karena saya tidak mahir, saya hanya membantu memencet tombol untuk menendang, memukul, atau menembaj saja, sedangkan yang memegang kedali adalah Ikbal.
Syahrul, Fudhoil, dan Sanusi. Ketiganya adalah tetangga sekaligus teman sepermainan dan sekolah, baik di SD maupun SMP. Bersama mereka biasanya saya bermain kelereng. Bersama ketiganya juga, saya biasa berangkat sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki, menempuh jarak yang lumayan jauh. Tapi karena ditempuh bersama-sama dan mengambil jalan pintas, kadang melewati sekolah lain, kadang melewati tempat pembuangan sampah, perjalanan tersebut tidak membuat kami lelah dan kami tidak pernah terlambat tiba di sekolah.
Syahid, Muhiddin, Subhan, dan Hanafi. Kami duduk bersama di kelas tiga SMP. Dari mereka saya merasakan artinya berbagi. Khusunya ilmu. Di masa-masa persiapan menghadapi ujian kelulusan kami melakukan belajar kelompok, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain.
Anuri. Teman saya ketika di SMA ini adalah orang yang pertama kali memperkenalkan saya dengan komputer. Darinya saya belajar bagaimana menjalankan program-program komputer. Atas bantuannya pula saya bisa memiliki sebuah komputer yang pada saat itu lebih bagus daripada miliknya. Namun tak lama kemudian, dia mengganti komputer lamanya dengan yang baru dengan sepesifikasi yang lebih canggih, sementara saya merasa cukup menikmati apa yang ada.
Rizki. Dia adalah teman kuliah. Pengalaman yang paling berkesan dengannya adalah ketika bersama-sama mempersiapkan persyaratan dan dokumen untu membuat lamaran kerja. Dia membantu saya untuk membuat kartu kuning. Salah satu keluarganya yang bekerja di sebuah rumah sakit, memudahkan kami berdua untuk mendapatkan hasil rontgen dan surat keterangan bebas narkoba dengan mudah dan murah.
Teguh. Setelah saya bekerja, saya melanjutkan kembali kuliah lagi. Teguh adalah salah satu teman seperjuangan di kampus untuk mendapatkan ijazah S1. Kantor kami terletak di tempat yang berbeda, namun rumah kami cukup dekat. Dia yang berjasa memberikan tumpangan motor vespanya setiap kai saya pulang dari kampus di malam hari.
Mengenang mereka semua, memunculkan sebuah pertanyaan, jika begitu banyak orang-orang yang telah berbuat baik kepada diri ini, bagaimana dengan diri ini? Apa yang telah diri ini perbuat untuk orang-orang di sekitar sehingga bisa meninggalkan jejak-jejak kenangan indah di memori mereka?
dari jiwa yang masih belajar untuk ikhlas.