Adzan Maghrib berkumandang di sela-sela deru kendaraan yang melintas di sepanjang jalan Pondok Indah. Saya yang sedang mengendarai motor dalam perjalanan pulang menuju Depok adalah bagian dari kendaraan-kendaraan tersebut. Padat dan merayap.
Kelebihan naik motor adalah bisa berkelit ke kiri dan kanan di antara kendaraan lain untuk mengatasi kemacetan. Dan selagi saya berkonsentrasi mencari ruang kosong di antara kendaraan terutama mobil, kedua mata saya menangkap pemandangan yang sangat kontras. Sebuah gerobak pemulung merayap di antara motor dan mobil-mobil mewah.
Gerobak itu ditarik oleh seorang laki-laki yang saya pastikan adalah sang kepala keluarga. Menurut penilaian saya (biasanya sering salah) setelah sekilas melihat wajahnya, mungkin berusia antara 35 – 40 tahun. Sementara di dalam gerobak, berdiri seorang balita laki-laki yang ditemani ibunya yang sedang duduk sambil memangku anak keduanya yang mungkin masih berumur kurang dari satu tahun.
Pemandangan seperti itu membuat hati saya langsung berdesir. Pemandangan yang demikian lebih menyentuh perasaan saya dibanding melihat seorang pengemis yang meminta-minta meskipun sambil menggendong anak.
Saya coba memanggil istri saya untuk memberitahukan apa yang saya lihat. Tapi mungkin karena suara bising kendaraan mengaburkan suara panggilan saya sehingga tak sampai ke telinganya. Tapi beberapa saat kemudian, istri saya memberitahu hal yang sama kepada saya. Rupanya dia melihat juga apa yang saya lihat.
Optimis. Kata itulah yang tertulis di belakang gerobak tersebut. Meski tidak lagi terlihat dengan jelas tapi cukuplah tulisan tesebut mengingatkan saya bahwa optimis itu harus ada dalam setiap situasi dan kondisi, di setiap jejak langkah dan detik waktu dalam menjalani setiap episode kehidupan ini.
Sungguh besar rasa optimis yang dimiliki keluarga pemulung tersebut. Menembus ruas-ruas jalan yang penuh kendaraan bermotor dengan ‘kereta kencana’ untuk menjemput rezeki yang sudah Allah sediakan bagi setiap makhluknya di bumi. Jika tak ada rasa optimis, mungkin mereka hanya berdiam diri saja, menunggu rembulan muncul di siang hari, atau langsung mengambil jalan pintas, mengemis.
Beberapa waktu yang lalu, mungkin sekitar dua atau tiga tahun yang lewat, sepertinya saya pernah melihat keluarga pemulung tersebut di jalan yang sama. Kala itu hari sudah menjelang malam, mungkin sudah lewat waktu Isya. Saya melihat keluarga tersebut sedang beristirahat di tepi jalan. Sang suami sedang menyeka keringat yang membasahi wajahnya. Sementara sang istri sedang menggendong seaorang anak yang mungkin masih berusia beberapa bulan. Malam itu, saya bertemu lagi dengan keluarga tersebut, kini anggota keluarga mereka sudah bertambah satu. Apakah itu suatu bentuk optimis lain dari keluarga tersebut bahwa setiap anak punya rezeki masing-masing? Sementara keluarga lain yang tergolong jauh lebih mampu, termasuk mungkin saya, masih berpikir seribu kali untuk memiliki anak lagi? Wallahu a’lam.
—-ooo000ooo—-
Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87).
http://jampang.multiply.com/
([email protected])