Bagi saya, apa yang saya lihat sungguh menakjubkan. Saya belum pernah menyaksikan secara langsung bagaimana proses pembangunan jalan layang yang meliuk-liuk dan tumpang tindih satu sama lain yang ada di tanah kelahiran saya ini, Jakarta. Subhanallah! Maha Suci Allah yang telah mengaruniakan akal dan ilmu pengetahuan kepada manusia sehingga bisa membangun jalan-jalan tersebut.
Dari atas jalan layang tersebut, saya bisa melihat berbagai macam kendaraan melintas, mulai dari motor, mobil pribadi dengan berbagai tipe, bis angkutan umum, sampai truk-truk pengangkut peti kemas. Dari atas jalan layang tersebut juga saya dapat melihat aneka bangunan mewah, mulai dari mal-mal atau pusat perbelanjaan, hotel-hotel berbintang, hingga apartemen yang berdiri megah.
Tapi, apa yang terlihat dari atas jembatan layang akan sangat berbeda dengan apa yang terlihat dengan kehidupan yang berada di bawahnya. Jika dari atas kita bisa melihat aneka bangunan tinggi bertembok kekar atau pun berlapis kaca, tidak demikian dengan rumah-rumah yang sebenarnya juga tidak layak disebut rumah yang ada di bawah jembatan layang. Atapnya adalah jembatan layang itu sendiri. Dindingnya adalah kain atau terpal bekas. Lantainya adalah tanah. Penghuninya adalah golongan masyarakat yang sering disebut "orang pinggiran" yang profesinya tak jauh dari pemulung atau pengamen. Bahkan ada juga yang tak memiliki mata pencarian tetap.
Sebut saja salah seorang di antara mereka adalah Bu Eny. Seorang nenek yang tinggal hanya bersama seorang cucunya, Aris, yang berusia sekitar enam atau tujuh bulanan. Sumber kehidupan Bu Eny dan Aris adalah uang yang diberikan oleh ibu dan ayah Aris yang bekerja secara serabutan dan tidak bisa tinggal menentap bersama keduanya. Jika masih mencukupi, Bu Eny bisa memasak nasi dan Aris masih bisa menikmati bubur bayi dan susu. Namun, jika persediaan uang tersebut menipis, apalagi habis, maka nasi aking menjadi menu utama keduanya.
Tubuh yang sudah renta dan mulai diserang berbagai penyakit, menjadikan Bu Eny tidak dapat bekerja. Setiap harinya, ia berkeliling kampung. Berkunjung dari satu rumah ke rumah lain untuk mengumpulkan sebungkus nasi yang sengaja digantung oleh warga yang sudah mengetahui kebiasaan Bu Eny. Nasi-nasi sisa tersebut dikumpulkan oleh Bu Eny yang kemudian diolahnya menjadi nasi aking.
Begitulah keseharian hidup Bu Eny dan Aris. Kehidupan yang tersembunyi di bawah jembatan layang yang jauh berbeda dengan kehidupan yang terlihat di sekelilingnya yang sepertinya tak pernah tersentuh dengan yang namanya penderitaan dan kesusahan hidup.
Dari apa yang terlihat dan dari apa yang dipertontonkan layar kaca di sore itu sepertinya akan menghapus rasa egois dalam diri kita. Jika mungkin selama ini kita beranggapan bahwa diri kita sangat menderita dengan apa yang kita alami, ternyata, di bagian bumi yang lain masih banyak orang-orang yang kehidupannya tidak lebih baik dari kita. Sudah saatnya kita menghapus rasa egois tersebut.
Jika kita merasa diri ini berada dalam kesusahan, yakinlah bahwa manusia yang susah bukan hanya diri ini seorang. masih banyak orang yang mungkin kondisinya tidak sebaik diri ini. Waktunya untuk belajar dari semangat "orang-orang pinggiran" dalam menjalani hidup. Kehidupan ini ada untuk dihadapi. Tak ada waktu untuk menyerah dan berputus asa. Jika mereka yang kita anggap berada dalam kondisi kekurangan saja mampu menjalani kehidupan ini, mengapa kita tidak? Bukankah Rasulullah pernah menyatakan bahwa "Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Apabila mendapat kelapangan, maka dia bersyukur dan itu kebaikan baginya. Dan, bila ditimpa kesempitan, maka dia bersabar, dan itu kebaikan baginya". (HR. Muslim).
Wallahu a’lam.