Ada kebiasaan manusia yang sulit untuk ditinggalkan, bahkan seakan telah menjadi jati dirinya. Hari ini orang menyebutnya penyakit hedonisme. Lebih keren dan memojokkan lagi anak-anak muda menyebutnya matre. Biasanya kata ini meluncur dari seorang bujangan kepada lawan jenisnya yang cendrung matrealistis. Segala sesuatu diukur dengan materi. Sehingga kebiasaan ini menjadi sebuah persaingan pesat pada akhirnya berbuah pada penyakit cinta dunia yang berlebihan. Selalu ingin lebih dari tetangganya, berlomba mengejar materi. Sampailah ia lupa akan tujuan utamanya tercipta. Yaitu mengabdi kepada Allah Swt.
Allah Swt. dalam firmanNya: “maka terimalah apa-apa yang telah aku berikan padamu dan jadilah kamu termasuk dari golongan yang bersyukur.”(al-A’raf: 144)
Allah Swt. telah memberikan ladang bagi kita berupa kehidupan dialam dunia. Darinya kita dituntut mendayagunakannya dengan sebaik mungkin. Sehingga segala potensi diri yang kita miliki dari Allah Swt. menjadi tersalurkan. Hal itu bisa kita lakukan dengan sikap ridha dengan apa adanya. Sehingga berkeinginan untuk menggunakan apa yang ada secara sungguh-sungguh.
Allah Swt. dalam firmanNya: “Kami telah berikan kepada mereka ladang kehidupan mereka dialam dunia.” (al-Zuhruf: 32)
Seorang penulis asal Mesir Mahmud Al-Mashri menuturkan: “ridha adalah ibarat sebatang pohon kebaikan yang senentiasa disiram dengan air ikhlas dikebun tauhid. Akarnya/pondasinya adalah iman. Dahan-dahannya adalah amal shaleh dan nantinya ia akan membuahkan buah yang matang dan manis.”
Ke-tidakridhaan dengan apa yang Allah berikan kepadanya menyebabkan kesesakan dihati yang sulit dibendungi. Rasa ke-tidakpuasan selalu menjadi bayang-bayang dilayar otak. Kenyamanan hidup seakan begitu jauh dari pandangan mata zahir. Indahnya panorama dunia berubah menjadi kegersangan menghantui.
Karenanya, tak heran kalau nanti siapa saja yang terhinggap penyakit ini jatuh stres, prustasi dan bahkan sampai melenyapkan nyawanya. Wal’azu billah. Ia terhelus semilir angin dunia, membuatnya terlelap. Aksesoris duniawi telah menggiringnya menjadi penghambanya. Padahal, meski kita juga dituntut aktif dalam kehidupan duniawi, berbuat yang terbaik untuk diri dan orang lain, namun kita juga mesti ingat ada kehidupan abadi diakhirat kelak yang menanti. Kita tidak tahu dikelompok mana kita akan dikumpulkan.
Ibarat penumpang kapal laut. Kita tergolong kelas mana, ekonomi, bisnis atau apa. Nah, alam dunia adalah ladang bagi kita untuk mendapat kelas-kelas tersebut. Dan kita mau kemana? Kejurang atau ketaman? Kalau ketaman disana terbentang lebar jalan. Kalau mau merintis menuju jurang juga disana tersedia jalan.
Mengakhiri tulisan ini mari kita simak penuturan Hasan Al-Bashri berikut ini:“sesungguhnya kehidupan duniawi adalah tempat transit, dunia ibaratkan racun, orang akan menyantapnya dengan lahap karena kejahilannya (kelalaiannya), tapi yang mengetahuinya ia akan menghindarinya (tidak terlalu menomorsatukan dunia).”
Jika demikian, masihkah kita berlomba mengejar ‘racun’? atau kita memilih ‘madu’ ridha dengan apa adanya yang nantinya berbuah ketentraman jiwa? Semoga.
Wallahu a’lam bisshawab
(Helio Polis-Roxi, 27 Aug 08)