Malam itu, jalan di depan rumah saya yang biasanya ramai di waktu berangkat atau pulang sekolah/kerja, sudah mulai menyepi. Hanya ada beberapa gelintir saja kendaraan atau orang yang lalu lalang. Beberapa penjaja makanan pun sudah mulai berkurang. Tidak jauh dari rumah, nampak beberapa pedagang nasi goreng, serempak berhenti di warung indomie dengan meninggalkan gerobak di pinggir jalan. Mereka berhenti sekedar minum kopi atau menikmati gorengan setelah sekian lama berjalan menjajakan dagangan. Pemandangan itu adalah pemandangan yang sering saya lihat setiap malam, ketika hendak memasukkan kendaraan ke dalam rumah atau menutup pintu pagar.
Jalan di depan rumah saya adalah jalan yang tidak pernah sepi. Tidak jauh dari rumah ada pasar tradisional yang beroperasi 24 jam. Sementara banyak penduduk di sekitar rumah yang berprofesi sebagai pedagang di pasar atau pedagang di tempat lainyang memerlukan bahan-bahan baku dari pasar tradisional itu. Maka lalu lintas orang dan barang pun tidak pernah berhenti melewati depan rumah menuju atau pulang dari pasar. Lalu lintas kendaraan di jalan utama pun tidak pernah sepi. Banyak para pedagang di pasar tradisional itu mengambil barang kulakan dari sebuah pasar induk yang ditempuh dengan satu rit angkottrayekPondok Gede-Kampung Rambutan. Karena sumber pasokan barangberasal dari sana, maka ritme pasar tradisional itu pun mengikuti ritme pasar induk yang juga beroperasi 24 jam.
Malam itu sekitar pukul sepuluh malam, saya menyaksikan pemandangan yang cukup membuka mata dan hati saya. Beberapa orang tetangga yang baru saya kenal, berparade menentang bungkusan plastik dan beberapa barang yang tidak saya ketahui persis apa isinya. Semula saya berpikir mereka habis berbelanja “besar-besaran” untuk kebutuhan rumah tangga karena tidak jauh dari rumah memang banyak bertebaran pusat perniagaan yang menjajakan aneka barang kebutuhan. Hatipun jadi terusik dan bertanya karunia apakah gerangan yang menjadikan mereka bisa membeli barang demikian banyak itu.
Saya hanya menyapa singkat ketika mereka melewati depan rumah dan tidak begitu memperhatikan apa yang mereka bawa. Namun pemandangan yang terpotret sekilas itu menimbulkan beberapa kejanggalan atas dugaan saya yang pertama. Bungkusan yang mereka bawa itu bukanlah bungkusan plastik putih yang biasanya berlabel nama toko atau swalayan. Mereka juga tidak mengenakan pakaian sebagaimana layaknya untuk mendatangi tempat belanja. Saya bersangka baik, mereka bukan habis berbelanja dari pusat perbelanjaan melainkan habis berbelanja dari pasar tradisional itu. Toh untuk pergi ke sana tidak harus menggenakan pakaian yang bagus atau teramat sopan. Mengenakan kaos dan celana setinggi lutut pun jadi. Terlebih jika suasana hujan, tentu bagi mereka lebih praktis menggunakan busana yang ala kadarnya dan terkesan kumal karena harus berjibaku dengan tanah pasar yang becek dan kotor.
Ketika saya berjumpa, wajah mereka terpancar menyiratkan rona penuh suka cita. Belakangan saya menyadari bahwa mereka baru pulang dari memulung gelas/botol air mineral yang berserakan di sekitar pasar atau plaza. Saya mengetahuinya ketika pada suatu hari, ada mobil dengan perlengkapan timbangan gantung parkir di depan rumah. Banyak orang mengerumuni mobil dengan timbangan itu. Mereka menimbang karung berisi gelas/botol air mineral, kardus, koran atau barang loakan lainnya. Setelah dilakukan penimbangan, barang-barang itu langsung dimuat ke mobil dan ada seorang yang menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang dibeli dan diangkutnya itu.
Nuansa ceria mewarnai suasana setelah transaksi itu dilakukan. Barulah saya menyadari ternyata mereka habis bertransaksi atas barang-barang hasil pulungan, termasuk barang-barang yang mereka bawa setiap malam sehabis “berbelanja” itu. Hati saya jadi tercekat. Sungguh, mereka telah memberikan pelajaran yang berharga bagi saya.
Tidak sulit bagi Allah untuk membukakan jalan-jalan rezeki. Allah menyediakan beribu jalan rezeki bagi seseorang yang mau berusaha dan mau menjemputnya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan makhluk, tentu menyediakan pula bagi mereka takaran rezekinya masing-masing. Para tetangga yang berprofesi sambilan sebagai pemulung itu, adalah salah satu contoh saja. Betapa barang-barang itu yang bagi orang lain terasa jijik untuk menyentuhnya atau menjadi barang yang terbuang sia-sia, ternyata mendatangkan keberkahan tersendiri bagi mereka. Darinya mereka bisa mempertahankan hidup, darinya mereka bisa memenuhi kebutuhan, dan darinya mereka bisa merasakan nikmatnya bersyukur. Subhanallah.
Kadang timbul rasa malu diri ini kepada mereka. Mereka yang tidak memiliki ketrampilan apa-apa, tidak makan bangku sekolahan, tidak terdidik layaknya kita, tetapi mereka lebih yakin akan jaminan rezeki dibanding kita. Banyak dari kita yang kadang stress memikirkan sumber penghasilan, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu. Banyak pula di antara kita yang kehilangan akal sehingga terpaksa menempuh cara-cara yang tidak sesuai dengan norma agama. Andai kita tahu, sebenarnya kita hanya diperintahkan untuk berusaha atau bekerja saja. Sedangkan hasilnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Banyak atau sedikit hendaknya diterima dengan ridha. Masalah sering muncul tatkala kita menginginkan jumlah yang banyak, padahal jumlah yang banyak itu belum tentu terbaik bagi kita.
Para “pemulung” tetangga rumah saya itu, hidup tenang dan tentram karena tidak mempersoalkan kesulitan rezeki dan menyambut karunia Allah itu dengan sikap ridha. Tidak mempersoalkan rezeki bukan berarti tidak mempersoalkan berusaha. Ia adalah sebuah keharusan, dan menjadi prosedur wajib bagi datangnya rezeki. Kita dianjurkan untuk berfokus pada ketaatan dan ibadah, sebab misi itulah yang kita sandang sebagai manusia dalam kehidupan ini. Rezeki adalah otoritas Allah. Dengan berfokus pada ketaatan, maka secara otomatis, rezeki akan mengalir sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Mencari kerja (bagi mereka yang masih nganggur) adalah sebentuk ketaatan dan ibadah, mereka yang pergi berniaga ke pasar, pergi ke kantor, berkeliling menjajakan barang dagangan adalah juga sebentuk ketaatan dan ibadah, dan segala macam ikhtiar yang diniatkan kepada Allah adalah sebentuk ibadah.
Manusia yang berfokus pada ibadah dan ketaatan (berfokus pada proses) tentu beda dengan orang yang berfokus pada hasil. Mereka yang berfokus pada proses, tentu akan menjaga agar proses yang dijalani adalah benar sesuai ketentuan Allah. Sedangkan mereka yang berfokus pada hasil, boleh jadi upaya-upaya terpuji akan dike sampingkan demi meraih apa yang diimpikan.
Mereka yang berfokus pada ibadah dan ketaatan, ketika mendapat rezeki melimpah pun, mereka tetap terkendali dan tidak takabbur. Sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, adalah orang-orang yang dikaruniai kekayaan dan keagungan harta oleh Allah. Namun demikian, mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Rasulullah Saw karena keagungan akhlaknya. Mereka juga dicintai orang-orang miskin karena mereka tidak takabbur dengan hartanya dan membelanjakan sebagian besar kekayaannya untuk kepentingan dakwah dan ummat.
Bila harta itu jatuh kepada mereka yang memang berorientasi kepada kekayaan semata, tentu akan lain hasilnya. Boleh jadi ia akan takabbur dan menjauh dari ibadah dan ketaatan kepada Allah. Kisah Tsa’labah di masa Rasulullah Saw dan kisah Qorun di masa Nabi Musa, adalah salah satu bukti tentang akibat dari orang-orang yang berfokus pada kekayaan semata bukan kepada ibadah atau ketaatan. Pada akhirnya mereka akan tumbang karena berdiri di atas pijakan yang lemah.
Sungguh banyak hikmah yang saya peroleh dari para “pemulung’” itu. Allah sanggup memberikan rezeki tanpa batas kepada hamba-Nya. Kaya atau miskin adalah ujian kehidupan. Jika kita berfokus pada ibadah atau ketaatan maka status itu pun menjadi kurang relevan karena bagi orang beriman baik dalam kondisi kaya atau pun miskin tetap harus mencurahkan pengabdiannya kepada Allah SWT. Kenapa bisa demikian? Karena bagi orang beriman, rezeki tanpa batas yang sebenarnya adalah bukan yang di dunia melainkan di akhirat, yaitu ketika ia dimasukkan ke dalam surga karena ibadah dan ketaatannya di dunia.
Ya Allah karuniakan kami dengan Iman, karuniakan kami dengan rezeki-Mu yang tanpa batas. Amin.
Waallahua’lam bishshawaab [[email protected]]