Ternyata apa yang kami khawatirkan di rapat kemarin terjadi juga. Hujan deras mengguyur Berlin sejak pagi sekaligus membawa berita menakutkan pada kami semua panitia “Sate Somay“ hari ini.
Sate Somay ini ibarat “kenduri rutin“ masjid Al-Falah Berlin. Acara ini dilaksanakan untuk mencari biaya operasional rumah Allah satu-satunya milik jamaah Indonesia di Jerman. Menu utama yang sudah populer ditawarkan di acara ini seperti namanya: sate dan somay, juga pempek Palembang dan aneka kue-kue khas tanah air yang bisa menggoyang lidah kita yang jauh dari tanah air. Seluruh uang keuntungan acara ini seratus persen masuk kas masjid.
Khusus kali ini, kami pengurus masjid juga sangat memerlukan uang karena Ramadhan segera tiba. Kami perlu biaya transportasi mendatangkan ustad dari Indonesia serta konsumsi untuk buka puasa dan sholat tarawih.
Sebelum Ramadhan kami juga berencana memperindah masjid kami melayani tamu-tamu Allah yang datang di rumah Nya. Bayar sewa apartemen, bayar listrik dan air adalah uang bulanan yang pasti harus kami bayar, dan itu semua tidak kurang dari seribu dua ratus euro.
Belum lagi kami perlu membayar biaya Rechtsschutz Versicherung, yakni asuransi untuk bantuan bantuan hukum yang kami perlukan dalam berinteraksi dengan mayoritas non-muslim. Kami perlu juga membayar “Haftplicht Versicherung“ untuk asuransi kerusakan apartemen kami dari hal-hal yang mungkin tidak disengaja, seperti kebakaran, kebanjiran air dari kran yang bisa merusak lantai kami dan lantai tetangga, dan sebagainya. Ini juga konsekuensi hidup di negeri yang perusahaan asuransinya banyak untung dari mengeksploitasi ketakutan warganya yang minim tawakkal dan selalu khwatir mendapat musibah.
Tapi “Sate Somay“ kali ini sempat membuat goyah akar keyakinan kami akan rizki Allah. Logika sehat penduduk yang tinggal di Jerman pasti tidak membenarkan pelaksanaan acara masal seperti Sate Somay di taman terbuka dalam cuaca dingin. Di tempat ini tidak ada Heizung (penghangat) seperti di apartemen-apartemen umumnya di Berlin. Yang ada justru angin dingin berhembus cukup kencang mengeriputkan kulit-kulit kami. Tanah tempat kami berdiri becek tergenang air. Bila seharusnya kami mensyukuri turunnya hujan dan menikmati bau tanah dan rerumputan disiram hujan, tapi naluri nakal kami saat ini justru seakan memprotes takdir Ilahi. Hujan yang berbunyi gemericik disertai guruh yang berbunyi semakin meneror telinga-telinga kami.
Tempat tetap dari tahun ke tahun acara “Sate Somay” mudah dikenal karena persis terletak di depan istana Belvue, istana tempat tinggal Presiden Jerman Hoerst Kohler. Tempat ini memang sangat strategis untuk sebuah garten party atau sekedar kumpul-kumpul menikmati keindahan taman di Berlin yang terawat sangat rapi. Tapi keputusan ini pula yang menambah berat ujian Allah kali ini.
Sebuah klub olahraga kota Berlin memusatkan kegiatan sepatu roda di depan taman ini sehingga membuat tempat ini diisolasi. Semua kendaraan umum tidak bisa melintas taman ini dan tidak ada tempat parkir kendaraan pribadi di sekitar lokasi. Halte terdekat berjarak sekitar satu kilometer, dan itu berita buruk buat pengunjung, terutama buat ibu-ibu yang mambawa bayi dengan kereta dorong dan para orang tua. Hal yang tidak kami ketahui jauh-jauh hari sebelum acara kami rancang acara ini.
Kini kami telah berkumpul dalam bayangan kegagalan acara “Sate Somay“. Kali ini kami sedih bukan karena menangisi sejarah kegagalan pertama “Sate Somay“ dalam sejarah Masjid kami. Kami murung bukan karena bayangan dua-tiga ribu euro akan hilang, karena kami tidak punya kepentingan dengan semua uang sebanyak itu dan tidak ada sepeser pun uang dari acara “Sate Somay“ ini masuk kantong-kantong kami. Korupsi Sate Somay betapun masih jauh dari korupsi BLBI, tapi tetap saja merupakan pelajaran moral penting yang ingin kami tekadkan untuk terus dijauhi. Penyakit terparah negeri ini adalah sering mentoleransi korupsi hal-hal sepele dan akhirnya menggurita ke semua sektor.
Yang kami takutkan adalah bila kami tidak mendapatkan uang dari penjualan acara ini, maka sama artinya mengulang kembali sejarah ditutup masjid kami, persis seperti dua tahun lalu, tapatnya tahun 2006.
Tahun 2007 lalu kami bagun kembali masjid Al-Falah dengan segala kesederhanaannya. Kami menyewa ruangan yang sebenarnya adalah dua buah apartemen yang kami rombak jadi satu. Dengan ruangan sekitar 140 meter persegi ini cukup buat kami melayani hak tamu-tamu Allah di masjid ini dengan ruangan sholat, ruang bermain anak-anak, ruang sekertariat, ruang perpustakaan yang berjejer ratusan buku dan dua buah tempat wudhu putra-putri yang dilengkapi toilet untuk tiga orang. Namun sesederhananya ruangan ini, alhamdulillah masjid ini sudah berfungsi menjadi menara ukhuwah buat lebih dari 300 muslim yang hadir tiap tarawih bulan Ramadhan. Dan tahun ini, kami ingin Ramadhan bisa memberikan sesuatu yang spesial, karena Ramadhan tahun ini bagian dari kontribusi rangkaian 100 tahun kebangkitan negeri kami tercinta.
Kami juga sebenarmya bersiap merancang SOP (Standard Operational Procedure) yang ingin kami tularkan untuk seluruh masjid Indonesia di seluruh dunia yang didirikan di tengah mayoritas non-muslim. Dan itu akan kami release di bulan yang penuh barokah supaya usaha lemah kami mendapat kekuatan Zat Yang Maha Kuat. Bagi kami, dakwah di negeri mayoritas perlu ”fikih” sendiri supaya muslim tidak bimbang berada di antara ”hebatnya” lifestyle Barat dengan indahnya nilai-nilai Islami.
Maka ketika ternyata hujan turun justru semakin lebat, saat itu pula harapan kami untuk masjid kami tercinta sudah tidak bersisa. Hujan yang turun sekaligus membenam rencana-rencana besar kami hingga jauh ke pusat bumi. Tepat jam dua belas lebih seperempat, tanda-tanda tak akan datang pengunjung hampir jadi sebuah kepastian, yang berarti Ramadhan tahun ini kami tak ada biaya. Bahkan, tanpa uang ”Sate Somay” kali ini, sesudah Ramadhan bisa jadi kami kembali kehilangan masjid seperti yang pernah kami alami.
Tapi tak lama dari kejauhan muncul Juergen, muallaf Jerman jamaah masjid kami berlari-lari kecil. Tubuh kurusnya yang dibalut kulit yang mulai kendur tidak bisa menyembunyikan usianya yang lebih dari 70 tahun. Tapi kekuatannya berlari membuktikan fisiknya tidak kalah dengan kami yang masih muda. Kami mengenalnya dari Badminton yang dikemudian hari mempertemukannya dengan hidayah Allah.
“Wir haben Glueck gehabt. Es zwar regnet, aber nicht schneidt!“ (Kita masih beruntung. Saat ini memang hujan, tapi kan tidak beku bersalju!)
Tuturnya ringan, mencoba menerka ketegangan yang menempel di wajah kami. Kalimat sederhana dari senyum di mulutnya itu membuat terasa berbobot di relung hati kami seolah kembali membakar optimisme kami akan rizki Allah. Api optimisme itu menghangatkan tubuh-tubuh menggigil panitia yang berdiri kedinginan sejak pagi. Subhanallah, muallaf yang belum sebeberapa lama mengenal hidayah ini telah mengajari kami pelajaran penting sebelum memasuki Ramadhan: Allah yang memiliki rumah Nya, pasti Allah tahu bagaimana mengundang hati-hati makhluknya untuk datang di tempat becek dan dingin ini.
Betul saja, beberapa menit berselang, muncul gerombolan manusia berduyun-duyun menuju tempat kami berdiri. Ada yang berlarian menghindari hujan, ada yang berjalan mendorong kereta bayi dan ada juga yang saling berangkulan dalam payung. Tua – muda, pria dan wanita bukan hanya dari beragam suku, tapi bahkan juga dari negara yang berbeda-beda. Merekalah jamaah masjid kami yang meskipun separuhnya datang dalam keadaan basah tapi tetap membawa senyum di wajah. Subhanallah. Rizki Allah tidak pernah beku dan masih mengalir hingga menyapa kami hari ini.
Hari ini, gabungan kekuatan persaudaraan, keikhlasan dan keyakinan akan datangnya rizki telah Allah turunkan bersamaan butir-butir air hujan yang dingin. Dinginnya tetesan air hujan ini sesungguhnya bila Allah menginkan mampu membekukan darah di vena kami. Tapi siang ini, kekuatan persaudaraan menghangatkan kami yang bernaung di pepohonan di depan istana Belvue.
Berlin, Agustus 2008