Berangkat sore menuju ke kantor, macet di sekitar Jl Wonokromo dan Jl A. Yani, Surabaya, menjadi pemandangan yang biasa bagi saya. Namun, saya bersyukur bahwa macetnya Surabaya tak separah seperti Jakarta. Bisa saya bayangkan betapa tingkat depresi orang-orang Jakarta begitu tinggi karena faktor macetnya jalan. Bahkan, saya pernah mendengar dari seorang rekan bahwa jalan tikus di Jakarta pun bisa macet.
Meski demikian, jalanan yang macet bukan satu-satunya hal yang bisa bikin orang stres. Makin tak menentunya situasi ekonomi negeri ini pun bisa menyebabkan depresi. Tentu saja, lagi-lagi rakyat turut merasakan stres karena faktor ekonomi.
Harga kebutuhan pokok kian melambung, sedangkan pendapatan kadang tak sepadan dengan pengeluaran. Sudah 63 tahun Indonesia merdeka. Namun, kita secara tak sadar masih dijajah. Bukan dijajah negara lain, tapi korupsi! Korupsi kini tidak hanya dilakukan oleh para pejabat. Tapi, orang miskin pun bisa berbuat korupsi. Orang kini makin minim mengenal kata jujur. Segala hal bisa dimanipulasi.
Orang bilang ini zaman edan. Yen ora melu edan, ora keduman (Kalau tidak ikut-ikutan edan, tidak kebagian). Begitu kata pujangga Jawa Ronggowarsito. Seorang karyawan dengan pendapatan dua juta lebih per bulan bisa defisit karena kian mahalnya kebutuhan pokok dan BBM. Belum lagi dia harus mengatur keuangan rumah tangga untuk bayar listrik, air, telepon, biaya anak sekolah, dan lain-lain.
Karena itu, saya tak bisa membayangkan bagaimana dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan? Faktor ekonomi memang rawan terhadap tindak korupsi.
Kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan beberapa pengusaha seakan menjadi menu yang biasa kita santap di media massa dan elektronik. Ketidakjujuran melanda di berbagai sektor dan elemen masyarakat. Akibatnya, jangan heran bila ada seorang pedagang yang mengurangi timbangannya. Jangan kaget pula bila ada anak yang mengambil keuntungan setelah membohongi orang tuanya.
Indonesia sekarang benar-benar krisis. Utang negara yang menumpuk belum tentu bisa terbayar hingga 30 tahun ke depan. Sedangkan gaya hidup hedonis kian menggila di negeri ini. Kekayaan alam dieksplositasi habis-habisan demi kepentingan suatu golongan, sementara rakyat dipaksa menderita karena bumi Indonesia kian ramah dengan bencana.
Masya Allah. Lihatlah derita warga di Porong yang menderita karena lumpur Lapindo tak kunjung menampakkan tanda akan surut. Sementara, di saat lain ada pernikahan mewah yang menembus angka puluhan miliar rupiah. Tidakkah mereka punya kepekaan sosial dan solidaritas terhadap sesama? Para figur publik pun tak lagi bisa dijadikan anutan.
Hari-hari tak pernah surut dengan berita kawin cerai, selingkuh, pacaran remaja, dan hal-hal yang tak pantas dikonsumsi oleh anak-anak kita. Suatu kali, saya mendapati nenek saya membeli tempe di gang kampung. Beliau mengeluhkan harga tempe yang makin mahal. Dulu, beli seribu rupiah sudah dapat tempe yang bisa dimakan oleh kami bertiga (saya, nenek, dan kakek saya). ”Sak iki, beli tiga ribu cuma dapat tempe sak uprit, ” tutur nenek saya.
Kalau tempe sampai tak terbeli, bisa-bisa orang miskin akan makan nasi basi yang dikeringkan dan digoreng kembali. Ini pun sudah terjadi di beberapa daerah yang penduduknya tergolong sangat miskin. Masya Allah. Jika ditelaah, kesulitan pangan dan terpuruknya ekonomi Indonesia bermuara pada satu hal: korupsi!
Suara kaum miskin dan lemah sulit didengar oleh pemerintah. Mereka baru mau turun ke bawah ketika ada pemilihan kepala daerah atau negara, berkampanye ke sana kemari mencari dukungan dengan embel-embel janji yang entah bisa diwujudkan atau tidak.
Malam ini di ruang kerja saya duduk termenung. Redaksi telah lengang. Langit di atas Surabaya bertabur bintang. Dalam kesendirian saya bergumam lirih, ”Negara ini telah menjadi Republik Korupsi.” Mudah-mudahan Ramadhan nanti bisa mencerahkan hati para pemimpin, mencerahkan kita, mencerahkan bangsa ini dari sifat ketidakjujuran yang mengakibatkan terjadinya korupsi.
Marhaban yaa Ramadhan… [email protected]