Siang terik menyengat seperti lidah-lidah api. Daun kecoklatan berguguran di terpa angin musim kemarau yang kering. Kemarau yang aneh, karena sesekali hujan meningkahi barang satu dua kali dalam dua minggu. Setidaknya mendung memayung bergelayut di langit, menjadikan panasnya meningkat serupa bara api dari batok kelapa yang diletakkan tepat di ubun-ubun.
Namun untunglah kami memiliki seorang dewa penolong. Pak Gaul namanya. Aku bahkan tidak tahu siapa nama dia sebenarnya. Ia akan datang di saat yang genting itu dari ujung gang, kemudian lewat depan rumah. Suara teng-teng dari alat musik yang dia mainkan seperti bedug Maghrib yang mengundang orang untuk keluar menuju masjid. Tetapi, teng-teng Pak Gaul akan membuat seisi gang tempat tinggalku berhamburan keluar rumah dengan mangkok di tangan. Mereka akan rela antri untuk mendapatkan semangkok bakso lezat, yang akan mengobati kering tenggorokan, laksana manna dan salwa yang membuat Bani Israel tidak akan lapar selamanya.
Bakso Pak Gaul adalah bakso langganan seisi gang kami, bahkan seluruh komplek perumahan ini. Baksonya lezat, dijamin halal, bebas formalin, borax, dan campuran tikus. Rasanya menyantapnya setiap hari tak akan membuat bosan sedikitpun. Es kelapa mudanya juga ditanggung sedap dengan degan yang masih segar.
Saat ini bulan Sya’ban telah tiba. Dan siang itu, Pak Gaul telah berhenti di depan rumah. Kami memesan bakso dan degan segarnya.
“Ramadhan nanti tetap jualan, kan, Pak?” tanya isteriku. Berbuka dengan bakso dan es degan Pak Gaul rasanya akan membuat dahaga seharian sirna seketika.
“Ya, itulah masalahnya, Bu,” jawab Pak Gaul sambil mengupas sebutir kelapa muda.
“Apa masalahnya, Pak?” tanya ibunya anak-anak lebih lanjut.
“Kalau saya jualan siang hari, kan nggak enak?” kata tukang bakso itu. Setelah menuang air kelapa, ia kini menyerut daging kelapa muda dan memasukkannya ke dalam mangkok. “Malu, Bu! Orang-orang pada puasa, saya malah jualan makanan siang-siang.”
“Ya jualannya jangan siang, Pak. Sore saja menjelang orang berbuka.”
“Kalau sore hari pas orang berbuka, saya mesti lari-lari kalau mau shalat setelah melayani orang-orang beli bakso. Kadang saya terpaksa shalat di pos satpam, mushala, numpang di rumah orang. Terburu-buru lagi. Sama sekali nggak enak, Bu.”
“Ya juga sih. Lantas rencana Pak Gaul Ramadhan nanti apa?”
Laki-laki itu sejenak seperti berpikir. Tak lama sambil menyerahkan kelapa muda pesanan kami ia menjawab. “Saya rencana prei nggak jualan dulu, Bu.”
“Lho, pasti banyak yang protes tuh Pak!”
“Saya tahu, Bu,” sahut lelaki itu. Ia kini menyiapkan dua mangkok bakso pesanan kami. “Langganan saya di kampung sebelah malah bilang, kalau saya nggak jualan saat Ramadhan nggak bakal dapat sangu lebaran, lho! Begitu katanya.”
“Benar tuh, Pak! Memangnya Pak Gaul nggak bakal kerja apa-apa selama Ramadhan?”
“Ya, nggak sih, Bu,” Pak Gaul tersenyum. Ia lalu mengambil kuah bakso dari panci besar di rombongnya. Asap mengepul dengan aroma yang membuat air liur membanjir. “Saya rencana nanti mengantar anak-anak sekolah. Ada langganan di perumahan sebelah yang menawari saya mengantarkan anak-anaknya. Jadi, saya bisa mengantar mereka pagi dan menjemput pulang siang hari.”
Dua buah mangkok kini berpindah tangan.
“Lha, penghasilannya kan tetap berkurang dong, Pak?”
“Ya, nggak apa-apa, Bu,” sahut Pak Gaul tersenyum sambil menerima uang dari isteriku dan menyerahkan kembaliannya. “Meskipun penghasilan lebih sedikit, tetapi kan saya bisa lebih konsentrasi dalam beribadah di bulan Ramadhan nanti.”
“Wah, kalau memang rencananya seperti itu, kami dukung, Pak!”
***
Usia kita telah berbilang tahun. Telah berpuluh kali Ramadhan datang dan pergi dari kehidupan kita. Tetapi, saya yakin, seyakin-yakinnya bahwa kita tidak pernah mempersiapkan kedatangan bulan yang mulia itu dengan sebaik-baik menyambut tamu istimewa. Ia telah datang dan pergi dari sisi kita dengan begitu saja. Ia telah berulang kali menjadi bagian hidup kita, menjadi momen paling krusial untuk melebur dosa yang ada dan menjadikan kita serupa bayi kembali. Tetapi, kesempatan demi kesempatan itu seperti lewat sekadar kita jalani sebagai rutinitas belaka. Akibatnya, sebagaimana air di daun talas, ia tak memberi bekas mendalam dalam diri kita. Bukan apa. Itu semua karena kita sendirilah yang telah mengabaikannya begitu rupa.
Padahal Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa bergembira saja terhadap datangnya Ramadhan, tamu istimewa itu, Allah SWT mengharamkan jasad kita terjilat api neraka. Apalagi jika kita bisa menyikapinya lebih dari sekadar ‘bergembira’.
Jadi, apa rencana Anda pada bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi?
Apakah Anda akan mengurangi jam kerja, dari 8 jam menjadi 5 jam sehari, dari 6 hari kerja menjadi 4-5 hari saja? Apakah Anda akan meliburkan diri dari shift malam? Apakah Anda tak berniat lembur lagi selama sebulan? Apakah Anda akan berpindah atau berganti pekerjaan yang lebih ringan sehingga tak mengantuk ketika Tarawih? Ataukah Anda akan mengalihkan pekerjaan di kantor untuk dikerjakan di rumah saja? Apakah Anda akan mengajukan cuti pada 10 hari terakhir, 20 hari terakhir, atau kalau perlu, sebulan penuh untuk tidak bekerja?
Jika tak ada yang kita lakukan untuk menyambut Ramadhan kecuali hanya sekadar merasa gembira saja – dan untuk itu sangatlah mudah – maka sungguh kita kalah dengan Pak Gaul, tukang bakso yang biasa lewat di depan rumah kami. Ia, yang begitu sederhana itu, rela tidak berjualan bakso yang larisnya minta ampun selama bulan Ramadhan – dan untuk itu ia akan kehilangan penghasilan bakso sebulan. Ia rela berganti pekerjaan hanya untuk antar-jemput anak-anak sekolah. Itu semua semata-mata agar ia bisa berkonsentrasi melakukan ibadah selama Ramadhan.
Betapa pikiran yang begitu sederhana, bukan? Tetapi yang sederhana itu sebenarnya bermakna sangat dalam: Pak Gaul telah melampaui batas “sekadar gembira” saja menyongsong bulan penuh berkah ini. Ia telah menyambut Ramadhan, tamu agung itu, tak sekadar dengan sesungging senyum, hati berbunga atau persiapan yang ala kadarnya. Ia telah menyambut Ramadan dengan segenap cintanya yang sederhana; yang pada kenyataannya sungguh tidaklah sederhana.
Untuk rencananya itulah, kami tak perlu merasa kehilangan jika ia tak akan muncul di ujung gang dengan teng-teng-nya yang membahana selama sebulan penuh. Kami rela ‘puasa’ menyantap bakso Pak Gaul selama Ramadhan, karena kami tahu ia ingin menjamu tamu istimewa ini dengan among-tamu yang istimewa pula.
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah punya rencana Ramadhan seperti Pak Gaul?
***
Bahtiar HS
http://bahtiarhs.multiply.com
Ket.
1 prei = libur (jawa)
2 among-tamu = penyambutan dan penerimaan tamu (jawa)