Kursi dengan tiga tempat dudukan disebelah bagian kanan badan bis menjadi pilihan kami malam itu. Hampir lepas jam sembilan malam, namun sepertinya Jakarta belum sedikitpun lelah untuk memejamkan mata. Puluhan bahkan mungkin ratusan lampu-lampu mobil masih menyorot dan menambah gemerlapnya ibu kota di minggu malam itu.
Berangkat jauh lepas Isya menjadi pilihan kami bertiga. Menempuh perjalanan dari ujung bagian barat hingga ke hampir ujung bagian timurnya kota Jakarta mengusik kami untuk sedikit berharap bisa menikmati perjalanan tanpa harus dilengkapi dengan kemacetan yang biasanya selalu saja memenuhi gambaran hampir di setiap sudut ibukota setiap harinya.
Separuh perjalanan diawal, kamipun dapat melaluinya dengan suka cita, setidaknya dengan bisa duduk dan memandang tenang hamparan cahaya di kiri kanan badan jalan, cukup mampu menghibur dan menenggelamkan penat kami setelah sepekan ini berjibaku dengan aktivitas-aktivitas yang ada.
Namun, betapa tercekatnya kami, sesaat ketika dua orang pemuda dengan gitarnya mulai mengiringi alun nyanyian seorang remaja putri, mnyenandungkan lagu-lagu gereja didalam bis kota yang kami tumpangi saat itu.
Kami terdiam …
Ada pedih dihati ini. Ada luka lama yang seakan terbuka kembali setelah sekian lama waktu berselang.
Ya, ini memang bukan yang pertama kalinya aku mendapati mereka yang biasa bersenandung menyanyikan lagu-lagu itu, apalagi ketika akhir pekan menjelang. Namun, keberadaan mereka kini justru mengingatkan akan kisah lama kami bertiga beberapa tahun yang silam ketika masih menjadi bagian di LDK, dimana kami harus berlomba untuk bisa mempertahankan aqidah mereka, saudara-saudara kita yang telah menempatkan jalanan seakan menjadi surga dalam kehidupannya, yang menempatkan jalanan seakan menjadi taman-taman yang akan selalu menghias hari-harinya, dan yang menjadikan jalanan sebagai satu pilihan pasti dalam menyambung kisah-kisah hari mereka hingga waktu berganti masa.
Dan kini …
Kami teringat kembali pada mereka …
Ada tangis sedih dalam hati ini yang tak mampu keluar dari ujung mata namun terasa membakar hingga ke sudut jiwa.
Meski mungkin anggapan kami atas mereka yang kini sedang bersenandung disamping kami itu bisa saja salah karena mungkin memang mereka telah menganut agama itu sejak dulu, namun justru bukanlah tidak mungkin pula kami mengira dan takut merasa bahwa mereka juga menjadi bagian dari saudara-saudara kita yang tak mampu bertahan dalam memegang erat panji-panji Islam hingga kemudian longgar dan jatuh. Dan terhunus dalam kesesatan dalam mengabdikan keimanan.
Malam itu, bis masih melaju menyusuri jalanan tol dalam kota yang membelah kota Jakarta. Bahkan lampu-lampu masih benderang menyinari sepanjang perjalanan kami. Namun mengapa justru kehidupan seakan tiba-tiba terhenti bagi mereka saudara-saudara kita? Dan cahaya-cahaya iman pun seakan hilang, lepas, sirna dan gelap hingga tak ada lagi mampu membuat mereka untuk menjadikannya melangkah menuju hidayah-Nya.
Kami termangu,
Kami membisu …
Dan kami tak tahu lagi harus bagaimana kami berbuat saat itu, selain berkata seraya berdo’a lirih memohon kepada-Mu yaa Rabb, wahai Engkau yang membolak-balikkan hati, kami mohonkan untuk Engkau meneguhkan hati kami dan meneguhkan hati saudara-saudara kami agar mampu senantiasa memegang teguh agama-Mu, serta mampu pula untuk senantiasa taat dalam menjalankan segala kebaikan yang ada padanya.
Yaa muqallibal quluub, tsabit qalbii ‘ala diinik …
Yaa musharifal quluub, sharif qalbii ‘ala tha’atik …
Aamiin yaa robbal’alamiin