Akhirnya, tanpa kusadari, bulir-bulir air mata mulai membasahi wajahku. Aku sudah tidak ingat lagi, kapan terakhir aku menangis di atas sajadahku. Aku sering sekali merindukan hadirnya malam-malam seperti ini, malam dimana Engkau hadirkan cintaMu dalam relung hatiku. Ketika cinta itu begitu mengelora, dia berwujud menjadi tetesan-tetesan air mata, membentuk sungai kecil, mengalir perlahan sebelum akhirnya jatuh dan membasahi tempat aku bersujud padaMu. Namun entah mengapa cinta yang mengelora tadi cepat berlalu seakan dia tidak ingin menyatu dan menetap di hatiku.
Tuhan leraikanlah dunia
Yang mendiam di dalam hatiku
Kerana di situ tidak ku mampu
Mengumpul dua cinta
Hanya cinta-Mu
Ku harap tumbuh
Dibajai bangkai nafsu yang kubunuh
( diantara dua cinta, Raihan)
Di usiaku yang hampir empat puluh, mengapa cintaMu tak jua mau menetap di relung hatiku? Ataukah memang tidak mungkin mengumpulkan dua cinta dalam satu hati? Ketika aku masih berharap pujian dan aplausan tepuk tangan manusia, cinta-Mu pergi. Ketika aku berharap jabatan dan gengsi kedudukan di hadapan manusia, cinta-Mu segera meninggalkanku. Ketika aku menunda urusanKu padamu karena urusan duniaku yang tiada mengenal waktu, cinta-Mu tidak lagi mau menunggu. Ketika pandanganku terpesona dengan mahluk ciptaanMu padahal kutahu pandangan itu tidak sah bagiku, cinta-Mu meninggalkanku terburu-buru. Ketika tanganku masih terasa agak berat melepaskan lembaran-lembaran merah untuk berinfaq dijalanMu, padahal kutahu bahwa lembaran-lembaran itu juga pemberianMu, cinta-Mu segera berpaling dariku.
Laa ilaaha illa anta
subhaanka inni kuntu minaz zaalimeen
Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau
Maha suci Engkau,
Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim
( Al-Qur’an, surah Al-Anbiyaa’ 87)
Ku yakin, Engkau hadir malam ini, sebagaimana Engkau hadir pada setiap malam yang telah Engkau ciptakan. BagiMu, apalah artinya gelap malam ruangan tempatku bersujud dibandingkan gelapnya perut ikan yang berada di lautan yang dalam di tengah malam yang gelap saat utusanMu Yunus mengiba belas kasihMu? Ketika kekasihMu Yunus mengharap ampunan dan cintaMu dengan Laa ilaaha illa anta
subhaanka inni kuntu minaz zaalimeen, dan Engkau mengabulkannya, mengapa Engkau tidak hadirkan hal yang sama padaku ketika aku berucap yang sama dalam rukuk dan sujudku. Walau kusadar bahwa diriku jarang mengingatMu dan banyak bermaksiat kepadaMu, bukankah aku jua hambaMu, yang hadir di dunia ini atas seizinMu, yang saat ini duduk bersimpuh juga atas sepentahuanMu.
Maka kalau sekiranya dia
tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,
niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu
sampai hari berbangkit.
( Al-Qur’an, surah Ash-Shaaffaat ’143-144)
Tanpa terasa, tetes-tetes air mata menjadi hujan deras yang tiada terbendung. Sungai kecil di lekuk wajahku yang tidak halus, kini mulai melebar, membentuk anak-anak sungai, yang mengalirkan terus air mata sebelum tumpah ruah jatuh di tempat aku menumpu. Betapa malu aku aku padaMu, karena mengharap cintaMu menetap di diriku sementara aku sendiri dalam banyak waktu tidak mencintaiMu.
Satu tahun barusan saja berlalu, namun sangat jarang aku bersamaiMu di sepertiga malam saat malaikat-malaikatMu turun mencari hamba-hambaMu yang tunduk, rukuk dan sujud karena mencintaiMu. Satu tahun telah berlalu, namun tidak banyak siang hariku dimana aku menahan lapar dan dahaga semata-mata agar aku bisa lebih mensyukuri rezeki yang Engkau alirkan kepadaku yang jumlahnya tiada kuasa aku menghitungnya. Satu tahun telah berlalu, namun sering aku tidak rindu padaMu dan tidak tergesa-gesa ke rumahMu ketika panggilan azan mencapai dua daun telinga ciptaanMu.
Satu tahun telah berlalu, dua kaki sempurna yang telah Engkau ciptakan kepadaKu, sedikit sekali dia melangkah munuju majelis dimana hamba-hambaMu duduk melinggar dalam liqoat panjang mengingatMu. Satu tahun telah berlalu, dua mahluk manis dan mungil yang Engkau titipkan kepadaku, namun hari-hariku jauh lebih banyak membersamai rekan kerjaku dibandingkan membersamai mereka, kalaupun aku membersamai mereka, itupun dengan waktu dan energi sisa yang sudah terkuras oleh pekerjaanku. Satu tahun telah berlalu, betapa banyak aku menyaksikan beberapa hambaMu ditandu oleh orang-orang dan dimasukkan ke bumi ciptaaMu, namun jarang sekali hatiku bergetar mengingat hari dimana aku kembali padaMu.
Telah berapa hari engkau hidup
dalam lumpur yang membunuh hatimu
sehingga getarannya tak terasa lagi..
Usia berkurang banyak tanpa jenjang
kedewasaan ruhani bertambah tinggi.
Malu kepada Allah
dan hati nurani tak ada lagi.
(Kematian hati, (alm)KH Rahmat Abdullah)
Hembusan angin perlahan menerobos diantara tirai besi jendela mengusik sejenak perhatianku. Ku menoleh ke arah jendela yang pandangannya terbatas, di luar sana ada satu bintang mengantung di langit selatan. Kuberanjak ke luar, kusaksikan ternyata ada banyak bintang di ufuk timur, utara dan ada lebih banyak lagi bintang di langit tepat di atas kepalaku. Di ufuk barat, bulan sangat purnama, seolah ingin mengalahkan sang mentari yang sebentar lagi menampakkan dirinya bersebrangan di ufuk timur. Malam ini sangat indah. Dia menghiasi langit pertama ciptaanNya di hari pertama di tahun yang baru dengan perpaduan kerlipan bintang-bintang dan purnamanya sang rembulan. Aku ingin sekali malam ini tidak pergi berlalu sebagaimana aku ingin cinta-Mu yang sempat singgah dan mendamaikan hatiKu sejenak di malam ini, tidak akan pergi lagi selamanya. Ya, Allah, aku rindu padaMu dan aku ingin cintaMu.
Wallahu’alam bishowab.
Sleman, menjelang subuh, 15 Muharam 1431, 1 Januari 2010
[email protected]