Seorang penatar kader muballigh di Satu Masjid terkemuka di Jakarta belum lama ini bertanya kepada hadirin: Kalian pernah dengar ceramah bahwa Ramadhan artinya membakar?
Pernah, jawab para kader muballigh.
Lalu apakah penceramah menjelaskan bahwa maksudnya membakar dosa?
Ya, jawab para kader da’i itu lagi.
Tahukah kalian, itu dasarnya dari mana ?
Para kader da’i tampak diam saja. Tidak ada yang menjawab.
Lalu penatar menjawabnya sendiri, ya memang itu tidak ada dasarnya. Tetapi pemaknaan seperti itu justru telah tersiar ke mana-mana. Padahal itu hanya otak atik gatuk (mengait-ngaitkan seolah nyambung), jelas penatar.
Kenapa ? tanya penatar.
Para kader muballigh masih diam saja, dan hanya siap mendengarkan jawaban berikutnya.
Lalu penatar itu menjawabnya sendiri pula. Ya, itu hanya dikait-kaitkan. Kita lihat saja sejarahnya, kapan puasa Ramadhan mulai diwajibkan. Ternyata puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun 2 Hijriyah. Sedang sebelum diwajibkannya puasa, nama bulan Ramadhan itu sudah ada.
Buktinya?
Ayat Al-Qur’an,
{شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah: 185).
Dalam ayat itu disebutkan, bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran; itu dapat difahami secara sejarah bahwa Al-Qur’an mulai diturunkan di Bulan Ramadhan, yakni 13 tahun sebelum hijrahnya Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Sedang mulai diwajibkannya puasa Ramadhan baru pada tahun kedua setelah hijrahnya Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, nama bulan Ramadhan itu 15 tahun sebelum diwajibkannya puasa pun sudah bernama Ramadhan. Maka walau Ramadhan punya arti membakar, namun tidak ada kaitannya dengan membakar dosa. Dan kalau mau dikaitkan dengan arti membakar, harusnya dikaitkan dengan awal penamaan bulan Ramadhan, kenapa dinamakan Ramadhan. Bukan dikaitkan dengan puasa yang tidak jadi penyebab dinamakannya bulan itu.
Ada contoh untuk menjelaskan ini. Orang Jawa menyebut bulan Rabi’ul Awwal dengan Bulan Mulud (Maulud, waktu lahir). (Tidak percaya, lihat saja di kalender yang ada penanggalan Jawa-nya). Karena dikenal pada bulan itulah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Yang seperti ini baru bisa dikaitkan antara nama bulan dengan makna harfiyah lalu dikaitkan dengan peristiwa penyebab penamaan bulan itu. Lha kalau Bulan Ramadhan, dari mana pengaitan makna dengan membakar dosa?
Apabila mau menjelaskan tentang diampuninya dosa pada bulan Ramadhan, sudah ada dalil-dalil yang dapat dirujuk. Tidak perlu mengembalikan kepada nama bulan, lalu dikutak katik.
Di antara dalilnya:
Allah menjadikan puasa dan shalat yang dilakukan dengan keimanan dan mengharapkan (pahala) sebagai sebab diampuninya dosa. Sebagaimana telah terdapta riwayat shahih dalam dua kitab shahih; Shahih Bukhori, no. 2014, dan shahih Muslim, no. 760, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. (Shahih Bukhori, no. 2014, dan shahih Muslim, no. 760).
Juga dalam riwayat Bukhari, no. 2008, dan Muslim, no. 174, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ».
”Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 2008, dan Muslim, no. 174).
Umat Islam telah sepakat (ijma’) akan sunnahnya menunaikan qiyam waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah menyebutkan bahwa maksud dari qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Taraweh, Artinya dia mendapat nilai qiyam dengan menunaikan shalat Taraweh.
Dengan sudah adanya dalil tentang diampuninya dosa berkaitan dengan amaliyah di bulan Ramadhan seperti tersebut, sebenarnya tidak perlu menyeret-nyeret nama Ramadhan lalu diartikan harfiyahnya (membakar) kemudian ditempeli lafal dosa, jadilah membakar dosa.
Kenapa tidak perlu?
Karena Islam tidak memerlukan cara-cara kutak katik akal-akalan seperti itu.
Itulah salah satu contoh cara (kutak-katik gatuk, mengait-ngaitkan, akal-akalan) untuk memahami Islam yang tidak sesuai dengan cara yang benar menurut Islam, namun justru banyak ditempuh orang, hingga banyak hal yang masyhur di umat Islam, kelihatannya benar padahal tidak. Bahkan yang seperti itu kemungkinan disiarkan secara merata dan turun temurun tak pernah dikoreksi. Bila dibiarkan terus, maka kemungkinan akan banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan Islam namun merata di Umat Islam dan dianggap benar. Padahal yang semodel itu sudah banyak. Semoga saja Umat Islam menyadarinya dan kembali kepada rujukan yang shahih.
Selasa 3 Ramadhan 1435H/ 1 Juli 2014. Artikel ini ditulis di tengah perjalanan dari Jakarta via Pantura ke Jateng.